Persoalan minyak dan gas (migas) di
Negara Sekedar Regulator
Dalam UU Migas ini kekuasaan negara atas migas benar-benar dikebiri. Peran dan kewenangannya dipangkas hanya sebatas sebagai regulator. Secara formal negara memang masih diakui sebagai pihak yang menguasai migas (pasal 4 ayat 1). Akan tetapi, penguasaan itu sekadar menjadikan Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan (pasal 4 ayat 2). Yang dimaksud dengan kuasa pertambangan adalah wewenang yang diberikan negara kepada pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi (Dalam pasal 1 ayat 5). Sebagai pemegang kuasa pertambangan, Pemerintah diberi kewenangan membentuk Badan Pelaksana (Pasal 4 ayat 3).
Kendati disebut sebagai badan pelaksana, fungsi dan tugasnya tidak melaksanakan kegiatan eksplorasi maupun eksploitasi secara langsung. Badan ini hanya berfungsi melakukan pengawasan terhadap kegiatan usaha hulu (Pasal 44 ayat 2). Di antara tugasnya adalah melaksanakan penandatanganan kontrak kerjasama, memonitor pelaksanaannya, dan menunjuk penjual migas (Pasal 44 ayat 3). Adapun pelaksana langsung kegiatan eksplorasi dan eksploitasi—disebut dengan kegiatan usaha hulu—adalah Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang didasarkan Kontrak Kerja Sama dengan Badan Pelaksana (Bab IV, pasal 11, ayat 1).
Ketentuan ini jelas sangat aneh dan tidak masuk akal. Jika negara diakui sebagai pihak yang menguasai migas, mengapa negara tidak diperkenankan melakukan penyelenggaraan eksplorasi dan eksploitasi dan dipaksa harus menyerahkan kepada pihak lain? Memang dalam pasal 9 ayat 1 disebutkan bahwa kegiatan usaha hulu bisa dilakukan BUMN atau BUMD. Akan tetapi, kedua badan usaha itu hanya berkedudukan sebagai pelaku usaha yang diletakkan sejajar dengan swasta, termasuk korporasi asing. Untuk bisa mendapatkan proyek penambangan migas, BUMN atau BUMD itu pun harus bersaing dengan semua perusahaan swasta.
Ketentuan serupa juga berlaku dalam sektor hilir yang meliputi pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga. Kewenangan Pemerintah hanya sebatas membentuk Badan Pengatur yang bertugas melakukan pengaturan dan pengawasan pada kegiatan usaha hilir (Bab I, pasal 1, ayat 24). Sebagaimana dalam sektor hulu, pelaku usaha pada sektor hilir ini juga berupa BUMN, BUMD, koperasi, usaha kecil, dan badan usaha swasta (Bab III, pasal 9, ayat 1). Jelaslah, dalam UU Migas negara hanya diposisikan sebagai regulator yang mengatur lalu lintas jalannya usaha migas.
Berdasarkan Mekanisme Pasar
Di samping mengebiri kepemilikan negara atas migas dan memangkas kewenangannya hanya sebagai regulator, UU Migas juga menjadikan seluruh kegiatan usaha migas, baik sektor hulu maupun hilir, semata berdasarkan pada mekanisme pasar. Realitas ini dapat ditemukan dalam banyak pasal-pasalnya. Dalam pasal 3a dinyatakan, bahwa untuk menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi dilakukan melalui mekanisme yang terbuka dan transparan.
Ungkapan ini jelas menjadikan mekanisme pasar dalam penyelenggaraan kegiatan usaha hulu. Untuk dapat memenangkan tender, semua pelaku usaha diharuskan menempuh mekanisme itu. Ketentuan ini juga berlaku bagi BUMN. Bertolak dari ketentuan ini, tak aneh jika Pertamina dibiarkan oleh Pemerintah bersaing bebas dengan ExxonMobil dalam memperebutkan Blok Cepu.
Mekanisme pasar bebas juga diberlakukan dalam kegiatan usaha hilir. Dalam pasal 3b dinyatakan, bahwa untuk menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian usaha pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga secara akuntabel yang diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan. Ungkapan yang sama kembali ditegaskan dalam pasal 7 ayat 2 yang berbunyi: Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 2 diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan.
Dengan ketentuan ini, liberalisasi migas merambah hingga ke sektor hilir. Jika sebelumnya hanya Pertamina yang diizinkan menguasai sektor ini, kini terbuka lebar bagi masuknya swasta, termasuk korporasi asing. Memang dalam pasal 9 ayat 2 disebutkan bahwa Bentuk Usaha Tetap hanya dapat melakukan kegiatan usaha hulu (Pasal 1 ayat 18: Bentuk Usaha Tetap adalah badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar wilayah NKRI yang melakukan kegiatan di wilayah Negara Kesatuan Republik
Mekanisme pasar juga berlaku dalam penentuan harga migas yang dijual kepada masyarakat. Dalam pasal 28 ayat 2 termaktub: Harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Dengan ketentuan ini, Pemerintah tidak lagi berhak mematok harga BBM seperti yang selama ini dilakukan, juga tidak boleh memberi subsidi BBM. Harga harus diserahkan kepada pasar. Memang oleh MK pasal ini telah dibatalkan. Namun, itu menunjukkan bahwa UU Migas dibuat untuk meliberasasi seluruh bisnis migas. Inilah yang dilakukan oleh Pemerintah selama ini. Dengan berbagai alasan, Pemerintah berusaha menghapus subsidi harga BBM di pasaran.
Melempangkan Jalan bagi Asing
Jika dicermati, berbagai ketentuan itu membuka peluang lebar bagi korporasi asing untuk menguasai bisnis minyak di
Tanpa pemihakan dari negara, tak sulit bagi korporasi-korporasi asing untuk melibas perusahaan-perusahaan domestik. Selama ini, korporasi asing sudah merajai migas di sektor hulu. Chevron Pacific Indonesia (CPI), TOTAL, Exspan, Conocophillips, Petrochina, Vico, ExxonMobil, dan korporasi asing lainnya menguasai sekitar 90% produksi minyak bumi di Indonesia. Adapun Pertamina hanya memproduksi 48.400 barel perhari atau 4,42% dari total produksi 1.094.500 barel perhari. Produksi gas bumi juga tak jauh berbeda. Pertamina hanya menyumbangkan sekitar 12,67% dari total produksi. Perubahan Pertamina menjadi Persero dan kedudukannya tak lebih dari koprorasi asing (pasal 60a dan pasal 61b) diperkirakan akan membuat korporasi asing semakin berjaya.
Kondisinya akan makin parah ketika korporasi asing juga diperkenankan ikut dalam sektor hilir yang selama ini dikuasai Pertamina. Mereka sudah antre untuk mendapatkan izin untuk bermain di sektor hilir migas, termasuk membuka stasiun pengisian BBM untuk umum (SPBU). Mereka akan mengusai semua bisnis migas, mulai dari eksplorasi dan eksploitasi hingga menjualnya kepada konsumen. Sebaliknya, perusahaan domestik akan tersingkir, termasuk Pertamina. Apalagi koperasi dan usaha kecil yang juga disebut dalam UU Migas bisa menyelenggarakan bisnis migas. Mereka hanya bisa gigit jari.
Sungguh, tidak dapat diterima nalar sehat; ada sebuah UU yang justru melemahkan kedaulatan negara, membatasi peran pemerintah, dan menyengsarakan rakyatnya sendiri. Lebih tragis, UU Migas ini secara eksplisit lebih berpihak pada kepentingan asing. Dalam Pasal 22 ayat 1 dinyatakan, “Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.”
Ketentuan ini jelas amat membahayakan ketercukupan migas dalam negeri. Bagaimana jika persediaan migas makin menipis sehingga produksinya tidak mencukupi kebutuhan dalam negeri? Apakah yang diserahkan hanya 25% saja? Bukankah kebutuhan dalam negeri harus lebih dulu tercukupi, sisanya baru diekspor? Pasal ini oleh Mahkamah Konstitusi telah direvisi, namun hanya dengan menghilangkan kata “paling banyak”. Penghilangan itu tetap saja bermasalah. Lalu apa makna kata 25% itu? Tidak jelas!
Pemihakan terhadap asing itu menunjukkan besarnya intervensi asing dalam pembuatan UU Migas itu. Pada tanggal 4 Februari 2000 Dewan Direksi IMF di Washington mengadakan pertemuan untuk menyetujui langkah dan jadwal reformasi “sektor energi” dengan kompensasi bantuan sebesar 260 juta dolar AS dan sebesar lima miliar dolar AS dalam tiga tahun berikutnya akan dikucurkan.
Intervensi asing itu kian jelas jika kita menyimak pernyataan USAID (United States Agency for International Development), ‘’USAID has been the primary bilateral donor working on energy sector reform (USAID telah menjadi donor bilateral utama yang bekerja pada reformasi sektor energi).’’ Khusus mengenai penyusunan UU Migas, USAID secara terbuka menyatakan, ‘’The ADB and USAID worked together on drafting a new oil and gas law in 2000‘ (ADB dan USAID telah bekerjasama untuk membuat draf undang-undang gas dan minyak yang baru pada tahun 2000.” (http:www.usaid.gov/pubs/cbj2002/ane/id/497-009.html).
Bertentangan dengan Syariah
Dilihat dari perspektif syariah, UU Migas itu jelas bertentangan. Menurut syariah, barang tambang yang depositnya melimpah menjadi milik umum. Dari Abyadh bin Hamal:
أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَقْطَعَهُ المِْلْحَ فَقَطَعَهُ فَلَمَّا وَلَّى قَاَل رَجُلٌ أَتَدْرِيْ مَا أَقْطَعْتَهُ لَهُ؟ إِنَّمَا أَقْطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ. قَالَ: فَرَجَعَهُ مِنْهُ
Ia datang kepada Rasulullah saw. meminta (tambang) garam. Beliau lalu memberikannya. Setelah ia pergi ada seorang laki-laki yang bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, tahukah apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir.” Lalu ia berkata: Kemudian Rasulullah saw. pun menarik kembali tambang itu darinya.” (HR Abu Dawud).
Dalam hadis ini Rasulullah saw. meminta kembali tambang garam yang telah diberikan kepada Abyadh bin Hamal setelah Beliau mengetahui bahwa tambang garam itu depositnya sangat banyak. Ini menunjukkan bahwa ‘illah (sebab disyariahkannya suatu hukum) larangan tambang garam itu dimiliki secara pribadi adalah karena jumlahnya yang tak terbatas. Larangan tersebut tidak terbatas pada tambang garam saja. Cakupannya bersifat umum, meliputi semua barang tambang, apa pun jenisnya, yang depositnya melimpah laksana air mengalir.
Semua barang tambang seperti itu menjadi milik umum sehingga tidak boleh dimiliki oleh seseorang atau beberapa orang. Tidak boleh diberikan kepada seseorang atau beberapa orang tertentu. Juga tidak boleh diberikan keistimewaan kepada seseorang atau lembaga tertentu untuk mengeksploitasinya. Akan tetapi, ia wajib dibiarkan sebagai milik umum bagi seluruh kaum Muslim, dan mereka bersekutu atas harta tersebut. Di samping itu, minyak dan gas bumi dapat dimasukkan ke dalam kategori api. Rasulullah saw bersabda:
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ فِيْ ثَلاَثَةٍ فِيْ الْمَاءِ وَالْكَلاَءِ وَالنَّارِ
Kaum Muslim itu bersekutu (bersama-sama memiliki) dalam tiga hal: air,
Kata asy-syurakâ’ merupakan bentuk jamak dari kata asy-syarîk, berasal dari kata asy-syirkah atau al-musyârakah yang berarti khilth al-milkayn (campuran dua kepemilikan) atau sesuatu yang dimiliki oleh dua orang atau lebih. Ini berarti, bersekutu meniscayakan kesamaan dan kesetaraan semua pihak pada perkara yang dipersekutukan.
Ketika dinyatakan ‘al-muslimûn syurakâ’ fî tsalâts’, maka kaum Muslim bersama-sama memiliki dengan kedudukan dan hak yang sama dalam tiga jenis benda yang disebutkan sesudahnya, yakni: air,
Karena diperlukan usaha keras dan biaya besar, semua jenis tambang itu harus dikelola negara. Dalam hal ini negara mewakili kaum Muslim. Oleh negara, harta tersebut dipisahkan dari harta-harta lain, dilebur, atau dijual atas nama kaum Muslim dan digunakan untuk kepentingan mereka.
Dengan demikian, memberikan pengelolaan tambang migas kepada swasta termasuk dalam tindakan yang diharamkan. Apalagi kepada swasta asing kafir yang dapat mengakibatkan kaum Muslim kian terjajah. Allah Swt. berfirman:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً
Allah tidak akan pernah memberikan jalan kepada kaum kafir untuk menguasai kaum Mukmin. (QS an-Nisa’ [4]: 141).
Walhasil, UU Migas wajib ditolak dan dibatalkan. WaLlâh a’lam bi al-shawâb.[Rokhmat S. Labib; Ketua Lajnah Tsaqafiyah HTI]