HTI

Muhasabah (Al Waie)

Arus Islam untuk 2009

Membangun arus Islam untuk menghadapi momentum Pemilu 2009?  Wacana itu tercuat dalam rapat bulanan FUI di ruang rapat Perguruan Asy-Syafi’iyyah yang dipimpin kyai terkemuka di Jakarta, KH Abdurrasyid Abdullah Syafii. Sayang, itu belum sempat dibahas karena rapat lebih fokus untuk memberikan tekanan kepada Pemerintah agar tidak ragu-ragu dalam membubarkan Ahmadiyah. Jadi, baru mukadimah saja dan rencananya akan dibahas secara khusus.

Saya memandang perlu mengangkat masalah ini karena Pemilu 2009 merupakan sebuah momentum politik yang harus disikapi, baik oleh yang ikut Pemilu maupun yang tidak.  Yang jelas, pasca Pemilu Legislatif maupun Pilpres, akan ada anggota-anggota DPR/DPRD baru—walau tidak sedikit yang masih muka lama—dan akan ada presiden baru.  Dari situ akan dimulai lagi jalannya pemerintahan lima tahun ke depan. 

Dalam konteks dakwah Islam, Pemilu tahun 2009 adalah momentum penting untuk meningkatkan upaya-upaya dakwah guna membina umat agar memiliki jiwa dan pemikiran Islam, wawasan politik Islam, dan aspirasi politik Islam serta menjadikan sistem ideologi Islam—baik dalam bidang ekonomi, politik maupun sosial—sebagai satu-satunya alternatif solusi yang ditawarkan kepada bangsa ini dalam menyelesaikan segala permasalahan dan krisis yang menimpanya.  Momentum tersebut sangat kondusif untuk melakukan konsolidasi umat agar seluruh perjuangan didedikasikan untuk dakwah mewujudkan kehidupan umat yang islami secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan.

Pandangan dakwah tersebut tentunya harus menjadi kesepakatan bersama berbagai ormas, lembaga maupun partai Islam atau yang berbasis massa Islam.  Khusus partai Islam, mereka harus yakin dengan ideologi Islam dan menjadikannya nyawa mereka.  Mereka juga harus mampu meyakinkan publik bahwa dengan hukum-hukum yang di-breakdown dari ideologi Islam—baik berkaitan dengan politik, ekonomi maupun sosial—masyarakat dapat hidup sejahtera penuh berkah dunia-akhirat. Dengan begitu, publik mendapatkan gambaran bagaimana kebijakan partai Islam yang akan dijalankan kepada warga negara.  Dengan itu pula publik yang mayoritas Muslim ini bisa mengerti dengan jelas apa bedanya partai Islam dengan partai sekular. Umat yang terbina dengan ideologi Islam tentunya akan berpihak pada partai Islam.

Kejelasan ‘jenis kelamin’ partai Islam—meminjam istilah seorang pengamat—ini penting. Sebab, dengan tidak begitu jelasnya perbedaan partai Islam dengan partai sekular, apalagi kalau perilaku politik para aktivis mereka tidak berbeda dari aktivis partai sekular, maka umat tidak bisa memilih partai dengan penuh kesadaran atas ideologi yang mereka pilih dan yakini.  Umat bisa mudah tertipu oleh semaraknya kampanye sesaat yang memukau maupun oleh money politic.  Dari sini kita bisa mengerti mengapa suara perolehan  partai-partai Islam pada Pemilu lalu tidak menggembirakan. 

Selama kondisi ketidakjelasan ini tetap berlangsung, yakni tidak jelas apa konsep dan program Islam yang ditawarkan partai Islam, maka opini publik bisa digiring oleh hasil survei yang dipublikasikan secara massif melalui media massa.  Padahal tidak sedikit dalam sosialisasi survei itu terkandung  opini dan propaganda yang menyesatkan. Sebagai contoh, sambil menyajikan hasil survei tentang kecilnya perolehan suara parta-partai Islam (kurang dari 5%) dan besarnya perolehan suara partai-partai sekular (sekitar 20%),  Direktur LSI Saiful Mujani di suatu stasiun TV beberapa waktu lalu mengatakan, “Kalau ingin dapat suara banyak, posisi partai harus semakin ke tengah. Sebab, menurut kurva normal, semakin ke pinggir, yakni ke titik ekstrem  ideologi—Islam, misalnya—perolehan suara akan semakin sedikit.” 

Jelas, ini adalah opini yang menyesatkan.  Sebab, hasil survei aspirasi masyarakat terhadap syariah Islam semakin meningkat.  Berdasarkan hasil survei kelompok nasionalis yang dilakukan pada tahun 2006 di berbagai kampus yang dikenal sebagai basis gerakan politik di Indonesia seperti UI, ITB, UGM, Unair, dan Unbraw, sebagaimana diberitakan Kompas (4/03/2008), sebanyak 80 persen mahasiswa memilih syariah Islam sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara, sebanyak 15,5 persen responden memilih aliran Sosialisme dengan berbagai variannya sebagai acuan hidup, dan hanya 4,5 persen responden yang masih memandang Pancasila tetap layak sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara.

Saya teringat beberapa hari setelah hasil Pemilu 2004 diumumkan, ketika ditanya oleh KH Abdurrasyid AS bagaimana hasil Pemilu ini, kok Islam kurang laku?” Saya katakan kepada beliau, “Kalau boleh menganalisis, Islam sebenarnya belum ditawarkan oleh partai-partai Islam dalam kampanye Pemilu 2004 sehingga tidak bisa dikatakan Islam kurang laku.”

Ketidakjelasan identitas program dan ketidakjelasan sikap partai Islam ini tampak pada diskusi bertajuk “Partai Islam Terpuruk” di suatu media massa beberapa waktu lalu. Partai-partai Islam yang hadir tidak menjelaskan secara tegas dan lugas bagaimana pandangan syariah Islam tentang boleh-tidaknya seorang wanita menjadi kepala negara. Mungkin para aktivis partai Islam tersebut menganggap tidak strategis berbicara tentang hal itu.  Namun sayang, mereka tidak secara ofensif menyampaikan bagaimana pandangan-pandangan syariah tentang politik, ekonomi dan sosial. Artinya, pandangan stereotip selama ini terhadap Islam, syariah Islam, dan partai Islam yang seolah-olah hanya berkaitan dengan kepala negara wanita, hukum cambuk dan potong tangan tidak dikoreksi dan diberi pencerahan dengan pemaparan konsep-konsep Islam tetang bagaimana menjalankan pemerintahan dan kebijakan negara dalam pemenuhan kebutuhan pokok individu warga negara berupa sandang, pangan, dan papan maupun pemenuhan kebutuhan kolektif masyarakat berupa pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Yang juga perlu dipaparkan adalah bagaimana kebijakan syariah Islam dalam pengelolaan keuangan negara dan kekayaan alam serta sektor-sektor ekonomi seperti industri, perdagangan, pertanian, dan jasa.

Karena itu, dalam rangka membuat arus Islam menyongsong momentum Pemilu 2009 dan dalam upaya memenangkan Islam pada momentum tersebut, perlu disusun bersama agenda bersama umat Islam. Untuk itu, pertemuan para ulama yang bervisi politik Islam, para tokoh pimpinan pusat ormas, dan para pimpinan partai Islam dalam merumuskan agenda memenangkan syariah Islam  agar berdaulat di negeri ini menjadi sangat urgen.  Wallâhu a‘lam. [KH. M. Al-Khaththath]

8 comments

  1. memang betul!!momentum pemilu 2009 untuk lebih gencar dakwahkan “Kembali kepada islam yang sebenarnya bukan hanya islam sebagai fikrah tapi juga thoriqoh,bukan cuma islam sebagai ibadah ritual tapi islam yang kaffah”.fakta memperlihatkan pergantian persiden berulangkali keadaan umat semakin menderita,yang katanya wakil rakyat malah membikin umat mengelus dada.umat terabaikan.bagaimana pertanggung jawabannya kepada yang bikin hidup ini.adakah hati kita tidak merintih hidup didunia menderita belum juga di akherat nanti.Wahai pemuda bangkitlah!tinggalkan kesia-siaan.sudahkah kita merasakan islam kaffah itu?

  2. Atas nama strategi..parpol islam menyembunyikan keislamannya dengan bermuka lembut dan manis agar tidak dikatakan ekstrem…padahal memaparkan konsep islam sangat perlu untuk menegaskan jati diri parpol islam di depan publik yang nota bene Islam. Ummat akan faham atas kelebihan konsep islam jika dibenturkan dengan konsep kapitalis yang dijalankan saat ini.

  3. semua harakah islam dalah saudara mereka patut dibela, dilindungi, ditutupi segala kelemahannya dari musuh-musuh islam.cobalah kita baca kembali bagaimana perjalanan islam dalam sirah nabawiyah.bermimpi boleh tp jangan jadi pemimpi selamanya.semua ada tahapannya, tinggal bagaimana kita menjalaninya sabar atau tidak.

  4. Assalamu’alaikum Wr. Wb.
    Pak Ustadz M. Khaththath , saya punya beberapa pertanyaan untuk topik artikel di atas:
    Adakah Islam membolehkan kaum muslim untuk menggunakan pemilu (baca: pesta demokrasi) untuk mencapai tujuan perjuangannya?
    Jika jawabannya tidak, adakah cara lain selain dgn pemilu yg harus dilakukan kaum muslim untuk mencapai tujuan da’wahnya ?
    Dengan kata lain, bentuk partisipasi politik macam manakah yg seharusnya dilakukan oleh kaum muslim, tanpa melanggar rambu2 shar’i, di dalam sistem politik non-islami yg sekarang sedang berlaku di masyarakat ?
    Adakah demokrasi itu identik dengan sistem Syura ?
    Topik2 di atas saya sarankan untuk dibahas oleh ahli fikih dalam edisi Al-Wa’ie mendatang.
    Semoga Allah SWT memberikan petunjukNya dan menguatkan kesabaran para pengemban da’wah Islam dimanapun dia berada.
    Wassalam,

  5. muttaqin el_babaty

    2009: Either you’re strugle for Islam
    or
    You’re destroyed with secularists

  6. MUHAMMAD SHOFWAN

    Saudara2 ku masalah umaat tidak selesai hanyaa dengan mengobral opini. Ayo segera tegakan Khilafah Islam. Majulah wahai tokoh islam yang amanah untuk menjadi presiden 2009 lewat calon independen. Tawarkan hukum potong tangan untuk koruptor, tawarkan hukum rajam atau cambuk untuk para pezinah, terapan zakat ata migas yan gpotensil untuk mensejahterakan rakyat, tawarkan layanan kesehatan dan pendidikan gratis zero coruption di semua bidang kehidupan. Saya pribadi mewakafkan hidup dan mati serta keluarga untuk menjalankan pemerintahan khilafah islamiah. Amin. semoga Allah Ridho dengan niat koita bersama. Wa Allaahu a’lm bi shawab.

  7. anang_Hafiz_adul

    Dukung Sepenuhnya buat tegaknya Khilafah Islam

  8. islam sudah menang dalam dirinya sendiri…tak perlu dipertarungkan dengan ideologi2 lain… wallah a’lamu bi muradihi…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*