Dunia kesehatan Indonesia saat ini seperti ‘jalan di tempat’. Produsen obat dalam negeri seolah mengalami upaya ‘pengkerdilan’ secara sistematis. Akibatnya, selain makin besarnya ketergantungan terhadap bahan baku obat dari luar negeri juga ada upaya sistematis ‘menumbuhkan’ industri farmasi dengan kapital besar yang tidak lain adalah industri farmasi asing. Apa yang sebenarnya terjadi dengan dunia farmasi kita? Untuk menjawab pertanyaan di atas, wartawan kami, Gus Uwik, mewawancara Direktur Utama PT Infar Arifpharma, Industri Farmasi di Medan. Berikut petikan wawancaranya.
Saat ini, berapa persen obat-obatan yang beredar di masyarakat yang diproduksi oleh industri farmasi dalam negeri ?
Sebenarnya hampir semua obat yang beredar di masyarakat diproduksi oleh industri di dalam negeri, cuma produsennya saja yang beda-beda. Ada Penanam Modal Asing (PMA), Penanam Modal Dalam Negari (PMDN), BUMN, dan Industri Menengah dan Kecil. Dari sisi jumlah, industri farmasi di Indonesia sekitar 280 perusahaan. Memang sebagian besar, hampir 80% adalah perusahaan farmasi yang penanam modalnya milik dalam negeri, dan industri kecil dan menengah. Namun, sekitar 20 pabrik, yang ini milik asing, menguasai 80% kapital dan penguasaan atas pasar. Jadi sebenarnya, ya asinglah yang menguasai industri farmasi.
Dari sisi bahan baku, apakah semuanya lokal atau sebagian besar impor?
Dari bahan baku hampir sebagian besar (95%) kita impor, apakah bahan berkhasiat atau yang sifatnya sebagai bahan pembantu. Padahal pada masa era Soeharto sebenarnya telah ada UU yang mewajibkan setiap industri farmasi PMA memproduksi bahan baku di Indonesia. Namun, aturan ini sampai hari ini tidak pernah berjalan. Saya tidak tahu persis, apakah ini memang disengaja oleh mereka (asing, red.) agar Indonesia tidak bisa mandiri dalam penyediaan bahan baku. Padahal ini adalah mutlak harus kita punyai untuk menghadapi persaingan global pada industri farmasi.
Bagaimana perdagangan obat impor selama ini?
Mengenai obat impor ada yang berjalan apa adanya berdasarkan hukum permintaan dan kebutuhan. Namun, ada juga yang perdagangannya sangat terkait dengan nuansa politis. Terlepas dari itu semua, yang jelas adalah mencari keuntungan. Padahal dalam perdagangan obat ada tiga dimensi utama yang harus kita lihat: Pertama, dimensi ekonomi. Kedua, dimensi teknologi, Ketiga, dimensi sosial. Seharusnya yang nomor tiga ini yang dikedepankan oleh negara. Kenyataannnya, dimensi ekonominya justru lebih kuat. Artinya, negara lebih mengedepankan hitung-hitungan untung-rugi dalam penyediaan obat-obatan bagi masyarakat.
Jika demikian apakah dunia farmasi di Indonesia mengalami pertumbuhan?
Kondisi dunia farmasi di Indonesia saat ini sedang menghadapi tantangan persaingan global yang didesain oleh kapitalis. Tahun 2008 ini industri farmasi Indonesia, mau tidak mau, suka tidak suka, karena sudah menjadi ‘keputusan bersama’ menghadapi AFTA (Asean Free Trade Area) yaitu obat dari negara ASEAN akan leluasa masuk ke Indonesia. Begitu juga sebaliknya dari Indonesia bebas masuk ke negara ASEAN yang lain. Jargon yang dikedepankan adalah agar industri farmasi Indonesia dapat lebih efisien sehingga bisa berkembang. Masalahnya, apakah industri farmasi di Indonesia sudah siap? Begitu juga dengan birokrasi kita? Pasalnya, untuk industri farmasi berlaku ketentuan cGMP (current Good Manufacturing Practice) yang terdiri dari dua persyaratan utama: (1) ACTD (Asean Common technical Dosier); (2) ACTR (Asean Common Technical requirements).
Kedua hal ini sebenarnya merupakan persyaratan standar kualitas obat dan kemasan yang diberlakukan sama di semua negara. Pertanyaannya, apakah negara dan pelaku usaha kita telah siap? Yang lebih saya maksud adalah industri farmasi kecil dan menengah, lho. Kalau industri yang besar mungkin PMA atau PMDN kelas kakap bisa jadi dapat dengan mudah mengikuti persyaratan ini. Pemerintah berpikir sederhana saja, kalau tidak sanggup, diusulkan untuk Toll Manufacturing. Artinya, pabrik yang tidak memenuhi syarat bisa memproduksikan obatnya ke perusahaan yang memenuhi syarat. Ini memang kelihatan sederhana. Namun, sebenarnya di sinilah letak ‘kerumitannya’. Harga produksi ‘titipan’ ini ternyata setiap 3 bulan sekali mengalami kenaikan. Lha, kalau naik terus tiap tiga bulan, matilah kita. Lama-lama cost produksi kita lebih besar daripada harga jual kita. Yang lebih menyedihkan lagi, perusahaan yang mendapat ‘durian runtuh’ ini adalah perusahaan farmasi yang memenuhi syarat. Jika dilihat, perusahaan yang memenuhi syarat ini tidak lain adalah perusahaan yang mempunyai kapital besar. Siapa dia? Tentu, pihak asing. Artinya, kebijakan Toll Manufacturing ini sebenarnya, ‘mengerdilkan’ industri kecil dan menengah dan membesarkan Industri besar (baca: asing). Sebagai perbandingan saja, di Singapura dan Malaysia yang sudah melaksanakan cGMP banyak industri yang gulung tikar. Di Singapura 100% tutup dan di Malaysia 50% tutup. Kita bisa bayangkan di Indonesia apabila negara tidak melindungi pelaku industri farmasi. Sebab, minimal untuk memenuhi cGMP ini memerlukan dana yang tidak sedikit.
Dengan adanya cGMP ini, akhirnya banyak sekali persyaratan yang tidak rasional. Padahal yang penting adalah keamanan dari mulai proses produksi sampai hasil akhir pengemasan. Memang dalam perkembangan penyakit, dinamika dalam kesehatan akselerasinya begitu tinggi Cuma selama ini kita selalu terprovokasi oleh opini kapitalis untuk bisnis mereka. Hal ini bisa kita lihat bagaimana sewotnya Menteri Kesehatan dengan kasus ‘Flu Burung’ dan lain-lain. Ini bisa kita maklumi karena Ibu Menteri melihat dengan jelas ada kepentingan di balik suatu masalah.
Jadi, ada upaya asing untuk ‘memukul’ industri farmasi nasional?
Tentu ada. Hanya saja, memang nuansanya terlihat jelas bagi orang-orang yang mau berpikir.
Seperti apa contohnya?
Contohnya, mereka mengemasnya dengan cukup elegan. Tidak bisa saya terangkan satu-persatu. Yang jelas begini. Terkait dengan aturan-aturan di atas dan masih banyak lagi aturan yang dikeluarkan oleh WHO, WTO atau Globalisasi, mereka semua berada di belakangnya, menuju pada satu titik, yakni privatisasi dan kapitalisasi industri farmasi. Mereka mengemas sedemikian rupa sehingga kita tidak merasa kalau kita dimanfaatkan oleh mereka (kapitalis) untuk meraup keuntungan dari negeri kita. Mereka tahu bahwa kita adalah pasar terbesar di ASEAN. Dari 500 juta penduduk ASEAN Indonesia 230 juta. Jadi, kelihatan betul AFTA ini dibuat agar mereka bisa masuk ke pasar kita dengan mulus.
Menurut kacamata Bapak, apakah ini berjalan secara sistematis?
Ya. Kelihatan sistematis banget bagi orang-orang yang mau berpikir. Ini adalah sebuah penjajahan yang sifatnya tidak fisik. Apalagi kita berbicara tentang obat, seharusnya sosial-kemanusiaan kan yang lebih didahulukan. Namun, kapitalis justru meraup keuntungan yang sebesar-besarnya. Kita juga sudah terkontaminasi dengan sistem kapitalis itu. Bisa kita lihat dengan jelas. Orang yang makan obat, dan tentunya mereka sedang sakit, harus dibebani pajak PPn 10%, belum lagi aturan yang lain-lain. Seharusnya negara menghapuskan pajak yang 10% ini agar masyarakatnya menjadi sehat. Kalau rakyatnya sehat, tentu negara akan menjadi kuat. Inilah gunanya negara, melindungi masyarakat.
Dulu pemerintah menggulirkan program obat generik. Apa yang menyebabkan program ini hanya bertahan sebentar?
Program obat generik dan penggunaan obat nasional memang digulirkan oleh Pemerintah karena negara-negara maju sudah mulai mengkonsumsi obat generik. Kesadaran masyarakat menggunakan obat generik cukup tinggi. Apalagi bagi mereka yang kesehatannya di tangani oleh asuransi. Dari satu sisi asuransi lebih suka pakai obat murah (generik) dimana khasiatnya sama dengan obat branded (obat paten). Kalau di Indonesia, konsumsi obat generik masih rendah jika dibandingkan dengan obat branded (obat paten).
Permasalahannya: Pertama, walaupun harga generik ini murah, ternyata ketersediaanya tidak merata. Selanjutnya dari kacamata konsumen seorang pasien, mereka tidak bisa memilih atau meminta obat generik, karena dia sangat bergantung pada penulis resep, yakni dokter. Walau, Pemerintah telah menjelaskan bahwa pasien bisa meminta kepada dokter untuk diberi obat generik dan dokter tidak boleh menolak permintaan pasien, fakta di lapangan sungguh sangat berbeda. Sebab, penulisan resep obat sangat dipengaruhi promosi perusahaan farmasi yang sering menggunakan cara-cara yang menyimpang dari etika. Di sini Pemerintah, masyarakat dan dokter harus lebih aktif mempromosikan obat generik.
Kedua, tidak ada insentif dalam berbisnis obat generik bagi industri farmasi yang memproduksinya dan bagi apotik yang memasarkannya. Mengapa demikian? Sebab, dalam distribusi obat generik, tidak ada keuntungan yang wajar. Produk generik tidak profitable. Sebab, volumenya harus tinggi, namun marginnya rendah. Tentu, industri farmasi tidak ‘meliriknya’ sama sekali.
Ketiga, ini memang kultur kita yang tidak bagus. Dokter selaku penulis resep dan masyarakat Indonesia sendiri kurang percaya kualitas obat generik. Mereka percaya opini, kalau obat murah khasiatnya pasti tidak baik.
Saat ini pemerintah kembali mengkampanye-kan obat murah seharga Rp 1.000, apakah harga tersebut betul-betul murah?
Obat murah yang Anda tanyakan Rp 1.000 ini sebenarnya tidak murah. Sebab, obat yang Rp 1.000 (6 kaplet) sebenarnya ini bisa Anda beli di pasaran yang ada dengan harga Rp 500. Hal seperti ini juga merupakan ‘pembodohan’ kepada masyarakat.
Jadi ‘obat murah’ itu justru menghasilkan untung besar?
Kalau di pasaran bisa kita beli Rp 500,- lalu dijual Rp 1000,- tentu untung besar lah.
Di masyarakat beredar rumor bahwa dokter banyak yang ‘berselingkuh’ dengan industri farmasi dalam upaya menjual merek obatnya. Apakah benar?
Ini bukan rumor lagi, tetapi sudah menjadi rahasia umum. Benar adanya.
Lalu apa solusi fundamental atas semua problem di atas?
Akar masalahnya adalah ketika negara tidak memfungsikan dirinya sebagai negara, yakni melayani masyarakatnya. Negara kita saat ini justru ‘merusak’ masyarakat atau lebih pasnya adalah berdagang dengan rakyatnya. Semuanya dijual dan dipajakin; bukan pelayanan. Lebih parahnya lagi malah negara melayani pihak asing (kapitalis). Karena itu, solusinya negara ini harus diubah paradigma dan aturannya sehingga berparadigma melayani dan mengurusi kemaslahatan masyarakatnya. Yang saya tahu, sistem pemerintahan yang berdasarkan Islamlah, yakni Khilafah Islamiyah, yang akan mampu menyejahterakan rakyatnya. [H. Azwir Ibnu Aziz]
jika pemasukan barang impor dri luar itu di tanggulangi … bisa kali…ya
Farmasis juga butuh Khilafah.