I’thâ’u adalah mashdar dari a’thâ–yu’thî–i’thâ’[an] yang artinya memberi sehingga i’thâ’ artinya pemberian. Dengan demikian i’thâ’u ad-dawlah artinya adalah pemberian negara. Dalam hal ini sesuatu yang diberikan adalah harta dari Kas Negara (Baitul Mal). Pihak yang diberi harta itu adalah rakyat. Pemberian itu dilakukan agar rakyat yang diberi harta itu bisa memenuhi kebutuhan mereka atau agar bisa memanfaatkan, mengaktifkan atau memproduktifkan apa yang mereka miliki.
Praktik demikian dilakukan oleh Rasulullah saw. sebagaimana yang dinyatakan di dalam sirah. Abu Yusuf dan Abi Dawud meriwayatkan dari Amru bin Dinar, bahwa ketika sampai di Madinah pasca hijrah, Nabi saw. memberikan tanah kepada Abu Bakar dan Umar; sebagaimana Nabi saw juga memberikan tanah yang luas kepada Zubair, yaitu tanah mati Naqi’, dan di atasnya terdapat pepohonan dan kurma. ‘Alqamah bin Wail dari bapaknya menceritakan, bahwa Nabi saw. memberinya tanah di Hadramaut. Ahmad dan Abu Dawud dari Ibn ‘Abbas juga menceritakan, bahwa Nabi saw. memberikan tanah al-Qabaliyah, bukit dan lembahnya, kepada Bilal bin al-Harits al-Muzni. Amru bin Syu’aib dari bapaknya menceritakan, bahwa Nabi saw. memberikan tanah kepada orang-orang Juhainah atau Muzainah. Adi bin Hatim pun menceritakan bahwa Nabi saw. memberikan kepada Furat bin Hayan al-‘Ajali tanah di Yamamah.
Nafi’ Abu Abdillah, penduduk Bashrah, pernah meminta tanah di Bashrah kepada Umar bin al-Khaththab dan beliau memberikannya. Katsir bin Abdullah dari bapaknya dari kakeknya, menuturkan bahwa pada tahun 17 H Umar bin al-Khaththab memberikan tanah yang terletak di antara Mekah dan Madinah kepada penduduk al-Miyah untuk mereka dirikan bangunan di atasnya. Abu Ubaid meriwayatkan dari jalur ‘Athiyah bin Qays, bahwa Umar bin al-Khaththab memberikan tanah kepada orang-orang dari Andarkisan di Damasqus sebagai tempat menambatkan kuda-kuda mereka.
Nabi saw. dan para Khalifah sesudah Beliau bukan hanya memberikan tanah. Mereka juga memberikan harta dalam bentuk lain baik uang, pakaian, bahan makanan dan lainnya kepada individu-individu rakyat. Harta itu diberikan dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Mereka juga memberikan kepada individu rakyat harta sebagai modal untuk menjalankan usaha produktif. Misalnya, Nabi saw. memberikan kapak kepada seorang dari kaum Anshar agar digunakan untuk mencari nafkah. Khalifah Umar memberikan bantuan uang kepada para penduduk Irak agar mereka bisa menanami tanah mereka.
Penggunaan kata i’thâ’ dalam konteks ini adalah dalam makna bahasa maupun syar’i. Dalam makna bahasa, yaitu sebagai pemberian. Dalam makna syar’i (secara fikih) i’thâ’ tersebut statusnya sama dengan hibah, yaitu dalam makna tamlîkan bi lâ ’iwadh (pemindahan kepemilikan tanpa disertai kompensasi). Karenanya, i’thâ’ itu memiliki konsekuensi hukum, yaitu terjadinya perpindahan kepemilikan harta kepada individu rakyat yang mendapat pemberian tersebut.
I’thâ’ sebagai sebuah tamlîk (pemindahan pemilikan) juga mengikuti ketentuan syariah dalam hal muamalah tamlîk (pemindahan kepemilikan). Di antaranya bahwa pemindahan kepemilikan itu harus dilakukan oleh pemilik harta atas harta yang memang menjadi miliknya. Pemindahan pemilikan itu tidak bisa dilakukan atas harta milik pihak lain. Demikian juga dalam konteks i’thâ ad-dawlah. Negara (Khalifah) tidak boleh memindahkan kepemilikan harta yang bukan milik negara, baik itu milik umum maupun milik individu.
Memang betul, harta milik umum dan harta milik negara sama-sama dikelola oleh negara. Namun, syariah memberikan ketentuan pengelolaan yang berbeda atas kedua jenis harta tersebut. Jika harta milik negara maka negara (Khalifah) secara syar’i boleh memindahkan kepemilikan atas harta itu baik manfaat maupun sumbernya. Adapun harta milik umum bukanlah milik negara. Karena itu, secara syar’i negara tidak boleh memindahkan kepemilikan atas sumber harta itu kepada individu maupun kelompok. Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah menyatakan, “Meski negara yang menjalankan pegelolaan kepemilikan umum dan kepemilikan negara, terdapat perbedaan dalam dua jenis kepemilikan ini. Terkait dengan semua yang termasuk dalam kepemilikan umum seperti—minyak bumi, gas, tambang dengan deposit yang besar, laut, sungai, mata air yang besar, lapangan umum, hutan, padang rumput, masjid, dsb—Khalifah tidak boleh memindahkan kepemilikannya kepada seorang pun baik individu maupun kelompok; karena harta itu adalah milik kaum Muslim umumnya. Khalifah harus menjalankan pengaturan tertentu agar memungkinkan semua orang memanfaatkan kepemilikan umum itu, sesuai dengan hasil ijtihadnya dalam rangka mengatur segala urusan (ri’âyah asy-syu’ûn) mereka dan memenuhi kemaslahatan mereka.
Adapun harta yang termasuk kepemilikan negara—berupa tanah, bangunan, dan sebagainya—maka Khalifah boleh memindahkan kepemilikannya kepada individu, baik zat maupun manfaat harta itu ataupun manfaatnya saja tanpa zatnya. Khalifah juga boleh mengijinkan rakyat untuk menghidupkannya dan memilikinya. Hal itu dijalankan oleh Khalifah sesuai dengan pandangannya bagi kemaslahatan dan kebaikan kaum Muslim.”
Jadi, dalam konteks harta kepemilikan umum yang didistribusikan oleh negara kepada rakyat—baik dalam bentuk tunai atau dalam bentuk pembiayaan bagi pelayanan dan fasilitas umum—maka hal itu bukan merupakan pemberian negara kepada rakyat. Dalam hal ini, negara hanya mewakili masyarakat mendistribusikan harta milik masyarakat kepada mereka sendiri. Hal itu agar distribusi dan pemanfaatan harta milik umum itu bisa dijamin berlangsung secara adil dan demi kemaslahatan dan kebaikan masyarakat.
I’thâ’u ad-Dawlah dan Keseimbangan Ekonomi di Masyarakat
Islam telah mewajibkan berputarnya harta di antara seluruh individu rakyat dan melarang harta itu hanya berputar di antara sebagian anggota masyarakat saja. Allah Swt. berifman:
…كَيْ لاَ يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ اْلأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ…
Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. (QS al-Hasyr [59]: 7).
Kesenjangan bisa terjadi baik karena kurang berjalannya mekanisme ekonomi atau karena terjadi kelalaian dan penyepelean hukum-hukum syariah. Jika kesenjangan itu terjadi, negara harus mengatasinya dengan mewujudkan kembali keseimbangan ekonomi di masyarakat. Caranya adalah dengan memberikan harta dari harta milik negara kepada orang yang tidak mampu. Dengan itu, rakyat bisa memenuhi kebutuhannya dan keseimbangan dalam pemenuhan kebutuhan di antara anggota masyarakat bisa terealisasi. Negara harus memberikan harta bergerak dan tidak bergerak. Sebab, maksud pemberian harta itu bukan untuk memenuhi kebutuhan secara temporal saja, tetapi untuk menyediakan sarana-sarana pemenuhan kebutuhan. Hal itu dilakukan dengan memberikan pemilikan kekayaan yang bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan.
Hal itu telah dijalankan oleh Rasul saw. Ketika membagi fai’i Bani Nadhir, Nabi saw. hanya membagikannya kepada kaum Muhajirin saja dan tidak memberikannya kepada kaum Anshar kecuali dua orang, yaitu Abu Dujanah Samak bin Khursyah dan Sahal bin Hanif. Hal itu karena kondisi keduanya sama seperti kaum Muhajirin dari sisi kemiskinannya. Kejadian tersebut menjadi sebab turunnya QS al-Hasyr di atas.
Khalifah Umar bin al-Khaththab juga pernah memberikan bantuan finansial kepada para petani di Irak agar mereka bisa menanami tanah mereka. Khalifah Umar bin Abdul Aziz pun pernah memberi bantuan finansial kepada orang-orang yang dililit utang untuk melunasi utang mereka. Beliau juga memberikan bantuan finansial berupa pinjaman tanpa riba kepada ahl adz-dzimmah untuk menjadi modal pertanian mereka dan baru diminta dikembalikan minimal setelah dua tahun.
Jadi, Khalifah wajib mewujudkan keseimbangan ekonomi dengan memberi orang miskin harta dari harta milik negara yang ada di Baitul Mal. Dengan itu terwujud keseimbangan perekonomian di tengah masyarakat. Hanya saja hal itu tidak dianggap sebagai pengeluaran Baitul Mal yang bersifat kontinu, melainkan sebagai solusi bagi kondisi tertentu dan diambil dari harta-harta tertentu saja, yaitu dari harta milik negara. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]