Pendiri Hizbut Tahrir, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, dalam Mafahim Siyasah li Hizb at-Tahrir menjelaskan kepada kita tentang tiga penyebab malapetaka dunia:
Pertama: Ilusi Keluarga Internasional (PBB dan UU Internasional). Keluarga Internasional, yang berawal dari komunitas negara-negara Kristen Eropa, menjelma menjadi PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa). PBB kemudian menjadi semacam ’Supra-State’ yang menjadi alat kepentingan negara-negara kapitalis.
Tugas PBB yang pertama adalah melakukan ’kapitalisasi’ sistem dunia dalam berbagai aspek. Muncullah apa yang disebut dengan hukum atau undang-undang internasional, yang seakan-akan merupakan kesepakatan internasional. Klaim itu sebenarnya dusta. Sebab, pada faktanya apa yang disebut sebagai hukum internasional adalah hukum yang dibuat oleh—dan berdasarkan kepentingan—negara-negara kapitalis, khususnya komunitas negara Kristen Eropa.
Hukum internasional kemudian menjadi rezim otoriter. Ketika dianggap sebagai undang-undang internasional yang wajib diterapkan, maka harus ada satu kekuasaan untuk menerapkannya. Muncullah ’GlobalCop’ dengan kekuatan militer. Itulah AS dan negara-negara sekutunya.
Negara itu dengan seenaknya menghukum negara lain, baik dalam bentuk sanksi ekonomi maupun militer ketika dianggap melanggar hukum internasional. Padahal AS menggunakan PBB dan hukum internasional hanya untuk kepentingan politiknya. Resolusi PBB kemudian menjadi alat legalitas menyerang Irak dan Afganistan, juga atas nama hukum internasional.
PBB sejak awal memang diciptakan untuk kepentingan negara-negara besar. Ini sudah tampak dari hak veto yang dimiliki oleh 5 anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Lewat kekuatan veto ini terjadilah tirani minoritas atas mayoritas. Meskipun semua negara setuju untuk memberikan sanksi atas suatu negara, misalnya, kalau salah satu anggota tetap DK PBB itu tidak setuju, maka resolusi itu batal. Logika ini secara telanjang bertentangan dengan prinsip suara mayoritas dalam demokrasi yang dibanggakan Barat.
Berkali-kali AS menggunakan vetonya setiap kali ada resolusi yang mengancam kepentingan negara bonekanya, Israel. Sebaliknya, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi No. 1483, tanggal 22 Mei 2003, yang memberikan legitimasi hukum dan undang-undang internasional bagi pendudukan Amerika dan Inggris atas Irak.
Di bidang politik, negara lain di dunia dipaksa mengadopsi sistem nilai kapitalis seperti HAM, Demokrasi, dan Pluralisme. Di bidang ekonomi, kapitalisasi dunia dilakukan dengan membentuk badan internasional seperti IMF, World Bank dan WTO. Dunia pun dipaksa tunduk dengan kebijakan neoliberal seperti privatisasi, pasar bebas, HAKI, dll. Isu jender dan kependudukan pun digulirkan di bidang sosial.
Kedua: Cengkeraman dan dominasi negara-negara adidaya dalam segala aspek. Negara-negara adidaya ini membagi-bagi dunia untuk kepentingan mereka sendiri. Negeri-negeri Islam pasca runtuhnya Khilafah Ustmaniyah, dibagi-bagi layaknya rampasan perang oleh negara-negara Barat, lalu diberi kemerdekaan semu dengan pemimpin yang menjadi boneka Barat. Akhirnya, lahirlah negara-negara bangsa (nation state) di negeri-negeri Islam, yang pemimpinnya tunduk pada kepentingan Barat.
Negara-negara Barat lalu mengekploitasi kekayaan alam negeri-negeri Islam. Dibuatlah perangkap dan jebakan internasional seperti pemaksaan mata uang dolar, perangkap utang, pasar bebas berikut organisasi dunia seperti Bank Dunia dan IMF. Semuanya bergerak secara sistematis untuk merampok negara-negara lain.
Kerakusan untuk menguasai aset ekonomi dunia membuat Barat menghalalkan segala cara untuk merampok. Yang paling kasatmaka, Irak dijajah dan dirampok atas nama demokrasi, freedom dan perang melawan terorisme. Menurut Alan Greenspan, mantan Dirut Bank Federal AS, motif AS sesungguhnya menyerang Irak adalah demi minyak. Negara preman ini, tidak peduli bahwa akibat penjajahannya di Irak sekitar 1 juta orang penduduk sipil terbunuh.
Ketiga: Imperialisme dan monopoli. Imperialisme atau penjajahan merupakan metode baku negara-negara kapitalis. Karena itu, imperialisme tidak akan pernah benar-benar hilang. Yang terjadi adalah perubahan bentuk: ekonomi, politik, budaya dan militer.
Yang paling memprihatinkan, imperialisme juga dilakukan di bidang kesehatan yang menyangkut nyawa manusia. Barat memanfaatkan WHO sebagai organ PBB untuk mengokohkan imperialisme ini. Negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim dipaksa membeli vaksin yang diproduksi negara-negara maju dan dilarang membeli produk dari negara-negara Muslim sendiri. Praktik monopoli kotor ini berlangsung lama tanpa dapat dicegah oleh Dunia Ketiga. Pasalnya, karena negara-negara maju selalu menggunakan lembaga internasional seperti WHO.
Dalam soal vaksin, misalnya, 90 persen pasar vaksin dunia dikuasai hanya oleh sedikit perusahaan di negara maju. Salah satu perusahaan vaksin terbesar saat ini ternyata milik Donald Rumsfeld (mantan menteri pertahanan AS).
Perusahaan-perusahaan besar dunia menguasai pasar obat internasional karena berlindung di balik hak kekayaan atas intelektual atau hak paten. Biasanya perusahaan ini mendapatkan hak paten obat selama 20 tahun. Artinya, tidak boleh ada perusahaan lain yang memproduksi obat sejenis, kecuali membeli lisensinya. Obat pun menjadi mahal dan rakyat miskin di Dunia Ketiga semakin menderita.
Ironisnya, Pemerintah di Dunia Ketiga, termasuk negeri Muslim, tunduk saja atas penindasan ini; bahkan melegalkan penjajahan di bidang kesehatan dengan mengadopsi privatisasi di bidang kesehatan. Selain obat mahal, biaya kesehatan pun semakin mahal, sementara Pemerintah lepas tangan.
Menghadapi ini, berkali-kali kita mengingatkan keberadaan Khilafah menjadi sangat relevan. Tidak ada yang bisa menghentikan penderitaan ini kecuali Negara Khilafah. Khilafah pula, yang menerapkan syariah Islam, yang akan memberikan kebaikan kepada semua manusia dan mendakwahkan Islam sebagai rahmatan lil ’alamin. [Farid Wadjdi]