Dunia kesehatan Indonesia ’bergejolak’. Ibu Menteri Kesehatan ’melawan’ dominasi dan intervensi asing. Bagaimana sebenarnya yang sedang terjadi dalam dunia kesehatan Indonesia? Apakah ada intervensi asing? Dalam bentuk apa intervensinya? Apa yang ’dilawan’ oleh Bu Menteri? Siapa di balik intervensi kesehatan? Apa targetnya? Untuk menjawab itu semua, reporter kami, Agustina S, secara khusus mewawancara Ibu Menteri Kesehatan RI, Ibu Siti Fadilah Supari. Berikut petikan wawancaranya.
Dalam buku Ibu ada satu semangat untuk perubahan. Perubahan seperti apa yang diharapkan?
Ini saya menceritakan pengalaman saya setelah buku itu di-launching. Saya diundang beberapa Perguruan Tinggi untuk orasi ilmiah. Dari pengalaman saya di beberapa universitas, saya melihat mereka tersemangati. Sudah terlalu lama bangsa kita tidak memikirkan pentingnya berbangsa dan bernegara. Menurut saya, ini sangat berbahaya.
Pragmatisme dan sekularisme melanda bangsa ini. Bahkan banyak yang malu menjadi bangsa Indonesia. Itu sangat memprihatinkan saya. Dengan adanya buku itu, saya kemudian berkeliling kepada mereka. Saya menceritakan betapa cinta saya pada negeri ini. Saya melihat banyak yang menangis, bahkan dosen-dosennya juga. Mereka sebenarnya membutuhkan, tapi tidak tahu dan tidak pernah diajari. Mereka diajari bahwa hidup ini sangat mudah. Menurut saya ini, pendidikan yang sangat tidak baik bagi pembangunan bangsa dan negara agar gemilang di masa datang. Karena itu, saya ingin memberikan harapan. Saya tidak melihat hasilnya. Saya hanya minta tolong kepada Allah.
Semua orang yang ada di pemerintahan bisa dihitung dengan jari yang benar-benar memikirkan bangsa ini. Semua memikirkan partainya.
Saya mengharapkan buku saya memberi inspirasi kepada kaum muda untuk berubah; berani berubah. Persoalannya, jarang orang yang berani berubah. Jarang orang yang berani berbeda dengan yang lain. Saat ini sangat dibutuhkan keberanian untuk berbeda dengan orang lain; tentunya perbedaan yang masuk di akal dan yang menyejahterakan orang lain.
Ada kelembagaan kesehatan secara internasional (WHO, WHA dsb), dengan tekanan-tekanannya. Lalu bagaimana bisa melakukan perubahan?
Kalau saya naik gunung, gunung itu tinggi sekali, lalu saya selalu melihat, aduh berapa meter ya, saya nggak akan berani berjalan. Karena itu, saya berjalan dengan kekuatan diri, bahwa saya yakin bisa mencapai puncak gunung itu. Maksudnya, kalaulah Anda melihat organisasi-organisasi dunia ini, andai ’awang-awangen’ (ragu-ragu, red.) deh saking banyaknya dan mereka itu saling berkaitan. Misalkan, saya sedang ’menyerang’ dunia ini, yang nyumbang ada (ambassador Amerika untuk imunisasi anak-anak, dsb), Ibu diminta untuk membuka, emoh (tidak mau, red.) saya. Selalu seperti itu. London Oxford University minta untuk bedah buku saya dan ambassador-nya nyumbang 15 miliar, padahal negaranya sendiri sedang kesulitan, tapi nyumbang-nyumbang. Tidak tahu, tapi disumbang, beneran apa tidak. Tapi di-declare, tidak tahu nyumbang benar apa tidak.
Terakhir Ibu bertemu dengan Menkes AS?
Menkes itu sebenarnya saya undang. Di Amerika sendiri sebetulnya ada konflik antara Departemen Kesehatan dan Departemen Pertahanan. Virus ditempatkan di Dephan. Ini kan lucu. Di Pertahanan harusnya kan senjata. Menkes AS tidak setuju virus ditempatkan di pertahanan dan dari dulu agak pro dengan kita. Tapi, yang resmi dari pemerintah justru yang dari pertahanan. Itu musuh saya itu. Maka saya mengundang yang tidak resmi (Menkes). Mengundangnya pun tidak melalui ambassador. Ambassador-nya marah, kemudian bilang ke Amerika kalau Menkes RI dan Pak Ical (Aburizal Bakrie) tidak mau nerima dia dan pertemuannya dipotong oleh ambassador-nya sendiri. Menkes tidak dijadwalkan ketemu saya, hanya dijadwalkan ketemu Pak Ical, tapi Pak Ical tidak mau kalau tidak sama saya.
Bagaimana dengan NAMRU sendiri?
Saya sedang berusaha menutup, untuk tidak melanjutkan. Tapi, yang berwenang untuk menutup itu negara, bukan saya. Tapi, cantolan-nya kan di Depkes, dan sudah 30 tahun lebih. Kalau kita flashback, apa yang kita peroleh selama 30 tahun itu? Wong nyatanya malaria masih tinggi. Obatnya juga selama 30 tahun sama. Ahli malaria juga sama saja. TBC, ya begitu-begitu saja. Trus, dia ke sini gunanya apa, dong? Namru sebenarnya MoU-nya sudah selesai.
Mengapa AS mudah sekali melakukan tekanan-tekanan terhadap Indonesia?
Mereka takut kehilangan
Jadi, pertama, kaya SDA. Kedua, nasionalismenya mudah digoyang dengan materialisme dan sekularisme karena kita ini bangsa yang minder. Ketiga, karena mayoritas umat Islam. Kekuatan umat Islam sangat menakutkan mereka kalau solid; seperti ketika umat Islam di Masjidil Haram. Masalahnya, kenapa di Masjidil Haram kita bisa bersatu, tetapi di luar Masjidil Haram tidak? Apa yang kurang? Umat Islam ini mayoritas, tapi kok kita tertindas? Kenapa kita tidak bisa bersatu? Seperti waktu saya di YTKI. Ketika masuk dan mendengar teriakan Allahu Akbar, saya sangat terharu. Kenapa kita mayoritas, tapi tidak bersatu?
Amerika ngoyo banget. Saya heran, emang virus berapa rupiah, vaksin juga cuma 300 triliun. Dia ngebom Irak habis 3.000 triliun dolar. Kata Stiglitz pemenang Nobel, bangkrutnya Amerika bukan cuma karena property saja (subprime mortgage), tapi karena kerugian Perang Irak. Jadi, persoalannya lebih dari hanya sekadar uang.
Menurut saya kalau uang kok terlalu sedikit. Politik digunakan untuk menekan yang lain, gampang sekali. Tinggal disebarin (virusnya) aja. Apalagi kalau kita suka minta-minta, merendahkan diri. Kita suka menjual umat, suka menjual rakyat. Apalagi kalau melihat penyebaran penyakit itu paling efektif, lebih efektif daripada ngebom. Cara Irak tidak akan diulang lagi karena high cost dan keliatan. Kenapa saya berpikir begitu? Karena waktu peristiwa di Kairo, kenapa dia cepet-cepet ngomong di CNN kalau ini human transmission (virus flu burung di Indonesia sudah menyebar melalui manusia). Kebetulan saya galak. Kebetulan saya tidak mau. Waduh ini (Indonesia) mau dikurung. Terpaksalah minta tolong. Biasanya dia (AS) mau jadi pahlawan. Jadi, kalau masalah uang kok terlalu enteng, tapi uranium kita kan…?
Jadi, ada target yang lebih luas dari hanya sekadar vaksin. Ada sesuatu di balik itu. Ada hidden agenda.
Kalau Pemerintah, merasakan tidak ditekan AS?
Nggak (merasa, red.). Saya kalau ngomong begitu dibilang parno, paranoid. Itu istilah adalah dimana Anda berpikir uncredible, terlalu curiga. Kalau melihat moralnya (mereka akan ngomong begitu).
Kalau Pemerintah sendiri, dalam hal ini, Presiden?
Kalau Presiden menganut politik bebas-aktif.
Tetapi kalau begini kan tidak bebas, Bu, karena ditekan?
Secara hitam di atas putih bebas. Ditekan kan nggak keliatan ditekannya. Tapi sebenarnya, kalau kita mau melihat kita bisa ditekan atau tidak dari bagaimana perdagangan, bagaimana pertambangan, yakni siapa sebenarnya yang paling banyak menguasai (pertambangan kita). Utang kita dari mana? Mau tidak mau, orang yang punya andil besar di negara ini pasti bisa mengungkapnya, kecuali kalau kita tidak takut dan berusaha melawan.
Kembali ke virus flu burung, berarti terkait dengan aspek politik?
Salah satu kemungkinan. Setiap apapun bisa menjadi tekanan politik. Menurut saya, virus itu sangat efektif dan murah.
Isu kesehatan sekarang di-blow up lagi. Tanggapan Ibu?
Kalau kita analisa di atas meja, kita lihat negara kita ini harganya berapa. Vaksin ini harganya berapa? Mosok hanya untuk itu. Yang ini harganya 300 triliun. Yang ini harganya misalnya 30.000 triliun. Ini bisa untuk mengambil ini, tapi yang ini hanya dapat ini saja. Hayo pilih mana?
Menurut saya, kita harus melihat moralitas politik hegemonik yang pasti mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Sebab, liberalisme tidak ada pembagian. Liberalisme itu pokoknya yang kuat menang, yang kalah silakan mati saja. Kalau begitu, apakah benar hanya masalah uang saja?
Apa langkah yang harus dilakukan untuk melawan liberalisasi secara bersama-sama?
Saya hanya Menteri Kesehatan, hanya bisa melakukan di bidang kesehatan. Di bidang kesehatan sendiri saya harus semaksimal mungkin.
Kesehatan hanya salah satu bagian. Bagaimana perubahan besar bisa dilakukan?
Kesehatan merupakan bagian yang penting. Untuk mengubah, ubah jalan pikirannya, bukan obatnya dll. Yang mesti dilakukan, pertama, kita harus waspada. Kedua, kita harus menentukan ini by design atau natural; kita perkuat intelligent kesehatan; kita perkuat surveillance kita benar apa tidak. Ketiga, kita harus hati-hati dengan bantuan-bantuan. Saya sudah lama menolak technical assistance. Dulu banyak sekali bule di sini (Depkes). Hampir 4 tahun ini sudah tidak ada. Dulu brebal-brebel (keluar masuk). Kita paham kan, bagaimanapun negara punya rahasia. Karena banyak lho yang mengatakan saya bodoh. Saya dikejar-kejar Bank Dunia (World Bank). Saya nggak mau saya dibilang bodoh; wong dikasih duit kok nggak mau. Enak aja wong yang membayar saya umat, kok.
Selain World Bank juga GTZ. Saya bikin Askeskin dibilang gila. Saya tidak mau ngutangin, katanya. Eh, siapa yang minta bantuan. Kita harus hati-hati dengan utang. Yang jelas kita sekarang sudah ndheyek-ndheyek (terseok-seok) menanggung utang. Itu kan melemahkan ketahanan nasional, membuat bargaining-bargaining.
Berarti sebelumnya ketika ada utang, tekanan-tekanan masuk ke kesehatan?
Mereka kalau ngutangin maunya ngatur. Bikin UU ini, ya. Kalaupun ada dana tidak boleh dipakai yang lain. Yang mereka tuju juga data, takutnya spesimen-spesimen DNA-nya.
Bagaimana keterkaitan Depkes dengan kesmavet-Deptan?
Kesehatan hewan harusnya di Depkes, bukan Deptan, karena semua penyakit dari hewan. Kalau sekarang saya teriak-teriak restrukturisasi peternakan, yo ora iso, wong itu di bawahnya Pak Anton. Malaria dari binatang, antraks dari binatang, pes juga binatang.
Selama ini ada koordinasi?
Bukan koordinasi yang penting, tapi visi. Kalau kesehatan hewan di pertanian tugasnya menyehatkan hewan untuk peternakan supaya bisa dikonsumsi. Kalau di kesehatan bagaimana hewan tidak menulari penyakit kepada manusia. Sangat berbeda.
Maksud saya, kalau tidak ada kesatuan setiap kelembagaan ini, berarti liberalisasi bisa masuk ke masing-masing bagian untuk saling menekan?
Itu pasti. Penghancuran bangsa ini dari organisasi, pemerintahan, UU-nya. Nomor satu, kalau mau menguasai suatu bangsa, UU-nya dulu yang diotak-atik. Dia masukin UU yang bisa menguntungkan dia, yang membuka pintu dia.
Bagaimana dengan tekanan internasional di bidang kesehatan selain flu burung?
Belum ada yang tampak sangat nyata. Baru flu burung.
Terakhir. Bagaimana program Menkes untuk menyehatkan masyarakat Indonesia yang secara ekonomi sekarang tertekan?
Alhamdulillah, semuanya pro rakyat. Dalam membuat program dan perencanaan, kita harus mengikuti 5 strategi: pro rakyat; cepat dan tepat; teamwork yang solid; integritas yang tinggi; akuntabilitas yang tinggi. Pro rakyat yang nomor satu. Setiap kali membuat perencanaan, tanyakan apa untungnya bagi rakyat.
Alhamdulillah, sekarang programnya sangat banyak dan saya mempunyai grand stategy 4. Nomor satu adalah pemberdayaan masyarakat. Saya memberdayakan masyarakat untuk berkiprah, mengikuti dan berperan dalam program-program kita, minimal perilaku hidup bersih dan sehat; PHBS sampai sekolahan, pesantren. Saya ingin memberdayakan santri-santri yang sedang belajar dan kyai-kyainya. Mereka kan grassroot, tapi mereka tidak pernah tersentuh program-program kesehatan yang nyata. Jadi, saya membuat pos-pos kesehatan pesantren untuk memberdayakan santri dan umat Islam yang mayoritas di Indonesia. Itu mewujud langsung. Saya datang dengan bukti kecintaan saya pada umat dan sebagai seorang Muhammadiyah. Saya berusaha untuk menjadi lokomotif dan akhirnya betul, Menteri Agama juga ikut dalam merangkul umat.
Yang nomor dua, meningkatkan pelayanan kualitas dan kuantitas untuk mendekatkan akses masyarakat, akses geografis, akses pengetahuan, dan akses ekonomi. Ada ide untuk gratis dengan dana dari Pemerintah sekitar 4.2 triliun. Tapi, ada saja yang marah-marah, kan menciptakan ketergantungan. Wong ini untuk dhuafa, lho. Dalam Islam kan zakat itu bukan karena kebaikan hati, tapi wajib. [Mentri Kesehatan Siti Fadilah Supari]