مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِنَ اللهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي اْلإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih-sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, lalu tunas itu menjadikan tanaman itu kuat, kemudian menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokokny. Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan kaum Mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal salih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar (QS al-Fath [48]: 29).
Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Muhammad[un] Rasûlullâh wa al-ladzîna ma’ahu (Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia). Ayat ini diawali dengan penyebutan nama Nabi Muhammad saw. yang disertai dengan kedudukannya sebagai rasul-Nya; bahwa Beliau benar-benar seorang rasul tanpa ada keraguan sedikit pun.
Disebutkan pula orang-orang yang bersama Beliau: wa al-ladzîna ma’ahu. Menurut pendapat jumhur, kata tersebut menunjuk kepada seluruh Sahabat Nabi saw.1 Pendapat ini lebih tepat dibandingkan dengan pendapat sebagian mufassir yang membatasi hanya Sahabat yang hadir dalam Perjanjian Hudaibiyah.2
Kemudian dijelaskan beberapa sifat mereka yang menonjol. Mereka semua, yakni Nabi Muhammad saw dan para Sahabatnya, memiliki sifat yang sama,3 yakni: asyiddâ’u ‘alâ al-kuffâr ruhamâu baynahum. Kata asyiddâ’u merupakan bentuk jamak dari kata syadîd, maknanya al-ghalîth al-qâsî (keras, tidak belas kasihan).4 Para mufassir menggambarkan sifat keras kaum Muslim terhadap kaum kafir itu laksana singa terhadap mangsanya.5 Sifat ini mereka miliki lantaran memang diperintahkan Allah Swt. (Lihat: QS at-Taubah [9]: 73; at-Taubah [9]: 123; at-Tahrim [66]: 9).
Sebaliknya, terhadap sesamanya mereka bersikap ruhamâ’u. Kata tersebut berasal dari kata ar-rahmah yang berarti ar-riqqah wa ta’aththuf (perasaan iba dan belas kasihan).6 Menurut ar-Raghib al-Asfahani, ar-riqqah itu mengharuskan tindakan ihsân terhadap pihak yang dirahmati. Oleh karenanya, kata rahmah kadang digunakan untuk menunjukkan perasaan belas kasihan, kadang juga untuk menunjukkan tindakan ihsân.7
Kasih-sayang di antara mereka digambarkan para mufassir seperti kasih sayang orangtua kepada anaknya.8 Demikian eratnya ikatan dan kasih-sayang mereka hingga mereka ditetapkan sebagai saudara (lihat QS al-Hujurat [49]: 10). Rasulullah saw. juga mengumpamakan mereka laksana satu tubuh, yang jika ada salah satu organ yang sakit, seluruh tubuh turut demam dan berjaga (HR Muslim).
Sifat lainnya adalah: tarâhum rukka’[an] sujjad[an] (Kamu melihat mereka rukuk dan sujud). Ibnu Katsir menjelaskan, itu menunjukkan bahwa mereka banyak beramal dan mengerjakan shalat, dan itu adalah sebaik-baiknya amal.9 Al-Baidhawi dan al-Zuhaili menyatakan, mereka menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk shalat.10
Semua sifat mereka yang tampak—baik keras terhadap kaum kafir, saling kasih-sayang sesama Mukmin, dan ketekunan mereka dalam beribadah—dilakukan bukan karena riya atau ingin dilihat manusia. Allah Swt. yang mengetahui rahasia yang tersimpan dalam hati manusia berfirman: yabtaghûna fadhl[an] minaLlâh wa ridwân[an] (mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya). Kata fadhl[an] berarti ziyâdah (keutamaan). Dalam konteks ayat ini, kata tersebut bisa berarti tsawâb (pahala) atau al-jannah (surga). Adapun ridwân[an] berarti ridha Allah ‘Azza wa Jalla.11 Dengan demikian, ayat ini memastikan bahwa ketaatan mereka benar-benar dilandasi niat ikhlas, semata-mata mencari pahala dan ridha-Nya.
Selain kedua sifat itu mereka juga dapat dikenali dengan sebuah tanda, yakni: sîmâhum fî wujûhihim min atsar al-sujûd (Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud). Kata sîmâhum berarti ‘alâmatuhum (tanda-tanda mereka).12 Terdapat beberapa pendapat mengenai maksud bekas sujud dalam wajah mereka. Sebagian mufassir berpendapat, bekas sujud itu sudah terlihat di dunia sekarang. Asy-Syaukani, al-Qinuji, dan Ibnu Juzyi menuturkan, tanda itu terdapat di kening mereka disebabkan karena banyak melakukan sujud siang dan malam.13 Az-Zamakhsyari memberikan catatan, apabila bekas sujud itu dihasilkan dengan sengaja agar terlihat tanda di keningnya, maka hal itu terkategori sebagai riya’ dan nifak.14
Menurut Atha’, bekas itu tampak pada wajah mereka yang bersinar karena shalat tahajud.15 Mujahid dan lainnya menjelaskan, bekas itu tercermin dalam sikap mereka yang khusuk dan tawaduk.16 Tak mengherankan jika shalat mereka melahirkan sikap demikian. Sebab, shalat yang benar dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar (lihat QS al-Ankabut [29]: 45).
Sebagian lainnya menjelaskan, bekas itu akan terlihat di akhirat kelak. Abu Ali al-Fadhl meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa pada Hari Kiamat kelak bagian tubuh yang digunakan untuk sujud akan terlihat paling putih.17 Dalam QS Ali Imran [3]: 106 memang diberitakan bahwa penghuni surga wajahnya putih berseri.
Sifat-sifat mulia mereka itu tidak hanya diberitakan dalam al-Quran, namun dalam kitab-kitab sebelumnya. Allah Swt. berfirman: Dzâlika matslahum fî at-Tawrah. Kata al-matsal di sini bermakna ash-shifah (sifat). Sifat-sifat mereka yang agung itu telah diberitakan dalam Taurat, yakni kitab yang diturunkan kepada Nabi Musa as. Berita yang sama juga diberitakan kepada Nabi Isa as. dan umatnya, yakni dalam kitab Injil. Allah Swt, berfirman: wa matsaluhum fî al-Injîl. Pemberitaan ini mengisyaratkan betapa agungnya sifat-sifat yang mereka miliki.
Selanjutnya ayat ini menggambarkan perkembangan dengan sebuah perumpamaan dalam firman-Nya: kazar’[in] akhraja syath’ahu faazarahu fa[i]staghlazha fa[i]stawâ ‘alâ sûqihi (yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, lalu tunas itu menjadikan tanaman itu kuat, kemudian menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya). Perumpamaan ayat ini menggambarkan permulaan Islam dan perkembangannya. Awalnya mereka sedikit dan lemah, terus berkembang hingga menjadi kuat dan berkuasa.18 Perkembangan tersebut juga diceritakan dalam QS al-Anfal [8]: 26.
Pada awalnya Rasulullah saw. diutus hanya sendirian. Kemudian diikuti oleh orang-orang yang mengimani Beliau dan menjadi Sahabat Beliau. Beliau ibarat tanaman (al-zar’) yang mengeluarkan tunas-tunasnya (al-syath’). Para Sahabat itu tidak tinggal diam. Setelah beriman, mereka juga turut berjuang dan berdakwa. ‘Tunas-tunas’ yang tumbuh di samping kiri dan kanannya itu kian lebat dan saling menguatkan. Ayat ini menyebutnya faazarahu (menguatkannya) yang bermakna a’ânahu wa qawâhu (membantu dan menguatkannya).19
Kian lama, jumlah mereka kian banyak. Tubuh mereka juga semakin besar dan kuat hingga terjadi: fa[i]staghlazha, yakni ‘berubah, dari lembut menjadi keras’.20 Sebagai entitas, mereka semakin kokoh dan sempurna. Meskipun demikian, itu tidak membuat mereka lupa. Sebaliknya, hati mereka semakin tertancap dalam akidah Islam. ‘Tanam-tanaman’ itu dinyatakan: fa[i]stawâ ‘alâ sûqihi (tegak lurus di atas pokoknya). Menurut as-Sa’di, kata fa[i]stawâ berarti kuat dan lurus.21
Perkembangan spektakular itu mempesona penanamnya. Allah Swt. berfirman: yu’jibu al-zurrâ (Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya). Mereka adalah para pengemban dakwah yang menebarkan ‘benih’ Islam di tengah kehidupan. Mereka merasa puas dengan hasil yang mereka dapatkan. Kesempurnaan, keadilan, dan keunggulan dan kekuatan kaum Muslim benar-benar menyenangkan hati para pengemban dakwah itu.
Perasaan sebaliknya terjadi pada kaum kafir. Mereka amat benci dengan perkembangan tersebut. Allah Swt. berfirman: liyughîzha bihim al-kuffâr (karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir). Hal itu tentu tak mengherankan. Sebab, mereka menolak Islam dan menentangnya. Mereka juga melakukan berbagai upaya untuk melenyapkan tunas Islam yang baru tumbuh. Akan tetapi, semua upaya mereka sia-sia. Atas pertolongan Allah Swt., Islam yang mereka benci bertambah subur, besar dan kuat. Sebagaimana dijanjikan dalam ayat sebelumnya (QS al-Fath [48]: 28), agama ini akan dimenangkan-Nya atas seluruh agama. Hal itu dimaksudkan untuk membuat jengkel hati mereka.
Ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: Wa’adallâh al-ladzîna âmanû wa amilû ash-shâlihât minhum maghfirat[an] wa ajr[an] ‘azhîm[an] (Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar). Kata min dalam minhum bermakna li al-bayân (untuk menjelaskan) sebagaimana kata min dalam QS al-Hajj [22]: 30.22 Berarti, janji itu ditujukan kepada semua orang yang beriman dan beramal salih. Makna tersebut sejalan dengan banyak ayat lainnya, seperti QS al-Baqarah [2]: 25, Ali Imran [3]: 57, an-Nisa’ [4]: 57, dan lain-lain.
Mereka akan mendapatkan magfirah (ampunan) atas dosa-dosa yang telah terlanjur mereka kerjakan. Ampunan itu hanya berlaku bagi kaum Mukmin dan tidak bagi kaum kafir. Sebab, ampunan Allah Swt. terbuka bagi semua dosa yang dikerjakan manusia, kecuali dosa perbuatan syirik (QS a-Nisa’ [4]: 4).
Selain ampunan, amal kebaikan kaum Mukmin juga diterima Allah Swt. Mereka pun diberi ajr[an] ‘azhîm[an] (pahala besar) atas iman dan amal salih yang mereka lakukan. Demikian besarnya hingga pahala yang diberikan itu terus mengalir tak terputus, ajr[un] ghayr mamnûn (lihat QS Fushilat [41]: 8, al-Insyiqaq [84]: 25, dan al-Tin [95]: 6). Wajar saja, sebagaimana disebutkan sebelumnya, karena mereka memang melakukan berbagai amal salih itu untuk mencari pahala dan ridha-Nya.
Resep Kemenangan
Di antara perkara yang diberitakan ayat ini adalah kemenangan yang diraih Rasulullah saw. dan para Sahabatnya. Awalnya mereka adalah umat yang sedikit dan lemah. Kemudian mereka bertambah banyak dan kuat. Mereka pun berhasil meraih kekuasaan, menjadi umat yang disegani, dan menjengkelkan kaum kafir. Sejarah mencatat, dalam waktu singkat mereka berhasil menguasai wilayah yang amat luas. Imperium Persia, negara adidaya saat itu, dengan mudah dapat ditaklukkan. Sebagian wilayah imperium Romawi juga berhasil direbut.
Menarik sekali, berita keberhasilan itu didahului dengan pemaparan sifat-sifat mereka. Seolah mengisyaratkan, sifat-sifat itulah yang menjadi resep untuk mengantarkan keberhasilan mereka. Jika kaum Muslim kini ingin mendapatkan kemenangan serupa, mereka pun harus memiliki sifat-sifat itu sebagaimana pendahulu mereka. Sifat-sifat itu antara lain:
Pertama, memahami benar siapa yang menjadi kawan atau lawan mereka, serta bagaimana memperlakukannya. Dalam pertarungan, pemahaman ini sangat penting dimiliki. Kesalahan dalam mengidentifikasi kawan atau lawan, pasti akan berakibat fatal. Betapa bahayanya jika ada seorang lawan, namun dianggap kawan. Tentulah dia diperlakukan sebagai kawan. Perlakuan itu jelas akan memudahkan bagi lawan untuk menikam dan mengalahkan musuhnya. Demikian pula jika ada seorang kawan tetapi dianggap sebagai lawan. Kawan itu pasti akan diperlakukan sebagai musuh yang dibenci dan dicurigai. Akibatnya bisa telak. Kawan yang seharusnya menjadi bagian dari kekuatan itu akan berubah menjadi lenyap berganti menjadi musuh. Hal ini tentu akan melemahkan kekuatan.
Generasi awal kaum Muslim jelas memahami sikap demikian. Terhadap kaum kafir yang senantiasa memusuhi Islam dan memerangi umatnya, mereka bersikap keras, asiddâ’u. Sikap keras itu amat diperlukan untuk menghentikan permusuhan kaum kafir itu sehingga takut melakukan perlawanan. Sikap sebaliknya mereka terapkan terhadap sesama kaum Mukmin. Terhadap orang-orang yang memiliki kesamaan akidah dan berada dalam satu barisan perjuangan Islam, generasi awal Islam mengembangkan sikap ruhamâ’ (lembut dan kasih sayang). Sikap demikian akan memperkuat soliditas barisan mereka.
Kedua, ketekunan mereka dalam beribadah. Demikian tekunnya hingga seolah hidup mereka dihabiskan untuk beribadah: tarâhum rukka’[an] sujjad[an]. Taqarrub mereka terhadap Allah Swt. tak berhenti dalam ibadah mahdhah, namun memberikan pengaruh besar dalam kehidupan mereka.
Patut dicatat, dalam memenangkan agama-Nya dan mengalahkan musuh-musuh-Nya, mereka tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik dan menempuh sebab-sebab material. Mereka juga ber-taqarrub kepada Allah Swt. seraya memohon pertolongan-Nya. Allah Swt. pun mengabulkan permohonan mereka. Ketika berhadapan dengan kaum kafir di Badar yang jumlahnya jauh lebih besar, Allah memberikan pertolongan kepada kaum Muslim (lihat QS Ali Imran [3]: 123). Demikian juga pada Perang Khandaq (lihat QS al-Ahzab [33]: 9).
Ketiga, keikhlasan mereka dalam beramal. Niat yang ikhlas akan menjadikan pelakunya istiqamah dan pantang menyerah dalam berjuang, juga tak takluk dengan ancaman dan celaan. Kerinduan mereka akan surga dan ridha-Nya membuat mereka tak tergiur dengan godaan dunia. Bahkan mereka rela mengorbankan aneka kenikmatan dunia demi meraih surga dan ridha-Nya. Wajarlah jika mereka mendapatkan pertolongan-Nya. Sebab, mereka telah bersungguh-sungguh menolong agama-Nya (lihat QS Muhammad [47]: 7, al-Mukmin [40]: 51). Tak hanya kemenangan di dunia, mereka juga sukses di akhirat. Mereka berhasil mendapatkan surga-Nya. Telah maklum, selain shawâb (sesuai dengan syariah), ikhlâsh (ikhlas karena Allah Swt.) juga menjadi syarat diterimanya suatu amal. Kedua syarat itu telah mereka penuhi.
Wallâh a’lam bi al-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, MEI]
Catatan kaki:
1 Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 140 ; al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 69; Ibnu Juzyi al-Kalbi, At-Tashîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 353.
2 Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5, 140; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 13 (Qathar: Idarah Ihya’ al-Turats al-islami, 1989), 119.
3 Pendapat ini dikemukakan oleh banyak mufassir seperti Ibnu Juzyi al-Kalbi, At-Tashîl, vol. 2, 353. Ada pula yang berpendapat bahwa bahwa sifat itu hanya merujuk kepada Sahabat. Rasulullah saw. tidak tercakup ke dalamnya seperti pendapat Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5, 140. Tampaknya, pendapat pertama lebih dapat diterima.
4 Mahmud Hijazi, At-Tafsîr al-Wâdhih,vol. 3 (Zaqaziq: Dar al-Tafsir, 1992), 495; al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 69; al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Nahr al-Khair, 1993), 117.
5 Al-Baiqai, Nazhm ad-Durar, vol, 7 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 215; al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 69; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 13 , 118; al-Wahidi al-Naisaburi, Al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 146 ; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 185; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 121.
6 Abu Bakr al-Razi, Tartîb Mukhtâr al-Shihah (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), 294
7 Ar-Raghib al-Asfahani, Mu’jam Mufradât Alfâdz al-Qur’ân (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 196.
8 Al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 13 , 118; al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 4, 185; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl, vol. 4, 121; al-Zuhaili, at-Tafsîr al-Munîr, vol. 16 (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), 205; al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5, 117
9 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 4 (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1997), 240.
10 Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988), 314; al-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 16, 205
11 Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr,vol. 5, 117.
12 An-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâ’iq at-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 578; al-Baiqai, Nazhm ad-Durar, vol, 7, 216; al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 69; al-Qasimi, Mahâsin al-Ta’wîl, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 510.
13 Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 5, 69; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 13 , 118; Ibnu Juzyi al-Kalbi, at-Tashîl, vol. 2, 353.
14 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 338.
15 Nizhamuddin al-Naisaburi, Tafsîr Gharâib al-Qur’ân, vol. 6 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996), 153.
16 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 4, 240; al-Qasimi, Mahâsin at-Ta’wîl, vol. 8, 510.
17 Abu Ali al-Fadhl, Majma al- Bayân, vol. 8 (tt: Dar al-Ma’rifah, tt), 192. Pendapat senada juga disampaikan al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr,vol. 5, 117
18 Dengan ungkapan yang agak berbeda, demikianlah yang disampaikan para mufassir ketika menjelaskan perumpaaan dalam ayat ini, seperti Ibnu Juzyi al-Kalbi, al-Tashîl, vol. 2, 354; al-Syinqithi, Adhwâ’ al-Bayân,vol. 4 (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), 398; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 13 , 121; al-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr, vol. 28 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 94; al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân,vol. 16 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 194
19 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 13 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), 278.
20 An-Nasafi, Madârik at-Tanzîll, vol. 2, 576; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 13, 280; Nizhamuddin al-Naisaburi, Tafsîr Gharâib al-Qur’ân, vol. 6 153.
21 Abdurrahman al-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân,vol. 5 (Beirut: ‘Alam al-Kutub, 1993), 66.
22 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 338; al-Nasafi, Madârik at-Tanzîll, vol. 2, 578; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 102; al-Samin al-Halbi, Ad-Durr al-Mashûn, vol. 6 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), 167.