Pengantar
Istilah subsidi sangat akrab di telinga kita. Namun, meski akrab, kata ini kurang bersahabat. Masalahnya, yang sering kita dengar justru Pemerintah akan mencabut subsidi suatu barang atau jasa dengan macam-macam dalih sehingga harganya naik. Walhasil, rakyat tidak makin sejahtera, tetapi malah makin sengsara.
Mengapa pencabutan subsidi menjadi kebijakan favorit Pemerintah untuk mengurangi beban anggarannya? Bagaimana pandangan Islam seputar subsidi? Tulisan ini mencoba menjawabnya.
Pengertian dan Fakta Subsidi
Subsidi adalah suatu bentuk bantuan keuangan (financial assistance; Arab: i’anah maliyah), yang biasanya dibayar oleh pemerintah, dengan tujuan untuk menjaga stabilitas harga-harga, atau untuk mempertahankan eksistensi kegiatan bisnis, atau untuk mendorong berbagai kegiatan ekonomi pada umumnya. Istilah subsidi dapat juga digunakan untuk bantuan yang dibayar oleh non-pemerintah, seperti individu atau institusi non-pemerintah. Namun, ini lebih sering disebut derma atau sumbangan (charity). (http://en.wikipedia.org). Subsidi dapat juga berbentuk kebijakan proteksionisme atau hambatan perdagangan (trade barrier) dengan cara menjadikan barang dan jasa domestik bersifat kompetitif terhadap barang dan jasa impor (ibid.)
Dalam sistem Kapitalisme, subsidi merupakan salah satu instrumen pengendalian tidak langsung. Grossman dalam Sistem-Sistem Ekonomi (1995) menerangkan bahwa dalam sistem Kapitalisme terdapat dua macam pengendalian ekonomi oleh pemerintah, yaitu pengendalian langsung dan tidak langsung. Pengendalian langsung adalah kebijakan yang bekerja dengan mengabaikan mekanisme pasar, contohnya embargo perdagangan dan penetapan harga tertinggi suatu barang. Adapun pengendalian tidak langsung adalah kebijakan yang bekerja melalui mekanisme pasar, misalnya penetapan tarif serta segala macam pajak dan subsidi. (Grossman, 1995).
Subsidi dapat dikategorikan dengan berbagai macam cara, bergantung pada alasan di balik subsidi, pihak penerima, dan sumber pembiayaan subsidi (bisa dari pemerintah, konsumen, penerimaan pajak, dll). (http://en.wikipedia.org).
Dalam RAPBN-P 2008, secara garis besar ada dua subsidi, yaitu subsidi energi dan subsidi non-energi. Subsidi energi meliputi subsidi BBM dan listrik. Subsidi non-energi meliputi delapan jenis subsidi, yaitu subsidi pangan (beras untuk orang miskin), subsidi pupuk, subsidi benih, subsidi public service obligation (untuk PT Kereta Api Indonesia, PT Pelni, dan PT Pos Indonesia), subsidi bunga kredit program (bunga dibayar pemerintah), subsidi bahan baku kedelai, subsidi minyak goreng (operasi pasar), dan subsidi pajak (pajak ditanggung pemerintah). (Nota Keuangan & RAPBN-P 2008, III-4)
Subsidi dalam Kapitalisme
Subsidi terkait dengan persoalan peran negara dalam ekonomi, terutama dalam pelayanan publik (public service). Karenanya, sikap Kapitalisme terhadap subsidi berbeda-beda, bergantung pada konsep peran negara menurut aliran Kapitalisme yang dianut. Secara sederhana dapat dikatakan pandangan Keynesian yang pro-subsidi berbeda dengan pandangan aliran neo-liberal yang anti-subsidi.
Sejak pertengahan hingga akhir abad ke-19, di Barat diterapkan Kapitalisme klasik/liberal (Ebenstein & Fogelman, 1994). Slogannya adalah laissez faire, yang didukung Adam Smith dalam bukunya, The Wealth of Nations (1776). Slogan berbahasa Prancis itu Inggrisnya adalah leave us alone. Artinya, “Biarkan kami (pengusaha) sendiri, tanpa intervensi pemerintah.” Walhasil, peran negara sangat terbatas, karena semuanya diserahkan pada mekanisme pasar. Kapitalisme liberal ini terbukti gagal, ketika tahun 1929-1939 terjadi Depresi Besar (Great Depression) di Amerika Serikat akibat keruntuhan pasar modal di Wall Street tahun 1929. (Adams, 2004).
Sejak 1930-an, Kapitalisme berganti aliran. Kapitalisme liberal yang anti intervensi pemerintah kemudian berganti menjadi Kapitalisme Keynesian, dengan momentun program The New Deal oleh Presiden Franklin D. Roosevelt tahun 1933. Disebut Kapitalisme Keynesian karena mengikuti ide John Maynard Keynes (1883-1946) yang mendorong intervensi pemerintah dalam bukunya, The General Theory of Employment (1936).
Antara 1930-an hingga 1970-an, Kapitalisme Keynesian ini menjadi basis dari welfare state (negara kesejahteraan) yang memberikan porsi besar pada intervensi pemerintah dalam kegiatan ekonomi (termasuk subsidi dari pemerintah). Karena itu, Kapitalisme Keynesian dapat dikatakan bersikap pro-subsidi.
Namun, tahun 1973 ketika harga minyak dunia naik, timbul persoalan ekonomi di Barat yang tidak dapat diatasi oleh Kapitalisme Keynesian, yaitu stagflasi. Ini kombinasi antara pengangguran (stagnasi) dengan kenaikan harga (inflasi). Menurut doktrin Keynesian, kedua problem ini tidak mungkin terjadi bersamaan. Masyarakat dapat mengalami salah satunya, tetapi tidak kedua-duanya. Kekecewaan terhadap Keynesian inilah yang mendorong upaya pencarian solusi baru.
Lahirlah Kapitalisme aliran neo-liberal (neoliberalisme/neokonservatisme), dengan penggagas utamanya, Friedrich Hayek dan Milton Friedman.
Neoliberalisme adalah versi liberalisme klasik yang dimodernisasi, dengan tema-tema utamanya adalah: pasar bebas, peran negara yang terbatas dan individualisme. Karena peran negara terbatas, maka neoliberalisme memandang intervensi pemerintah sebagai “ancaman yang paling serius” bagi mekanisme pasar. (Adams, 2004).
Dari sinilah kita dapat memahami, mengapa pencabutan subsidi sangat dianjurkan dalam neoliberalisme, sebab subsidi dianggap sebagai bentuk intervensi pemerintah. Ringkasnya, sikap neoliberalisme pada dasarnya adalah anti-subsidi. Ini karena menurut neoliberalisme, pelayanan publik harus mengikuti mekanisme pasar, yaitu negara harus menggunakan prinsip untung-rugi dalam penyelenggaraan bisnis publik. Pelayanan publik murni seperti dalam bentuk subsidi dianggap pemborosan dan inefisiensi. (http://id.wikipedia.org).
Dalam skala internasional, neoliberalisme ini kemudian menjadi hegemoni global melalui tiga aktor utamanya: WTO, IMF dan Bank Dunia. Bank Dunia dan IMF terkenal dengan program SAP (Structural Adjustment Program) yang berbahaya, yang salah satunya adalah penghapusan subsidi. (Wibowo & Wahono, 2003; The International Forum on Globalization, 2004).
Hegemoni neoliberalisme inilah alasan prinsipil yang dapat menjelaskan mengapa Pemerintah kita sering mencabut subsidi berbagai barang kebutuhan masyarakat, seperti subsidi BBM dan listrik. Alasan ideologis inilah yang akhirnya melahirkan alasan-alasan lainnya yang bersifat teknis-ekonomis, misalnya alasan bahwa subsidi membebani negara, subsidi membuat rakyat tidak mandiri, subsidi mematikan persaingan ekonomi dan sebagainya. Ini semua bukan alasan prinsipil. Alasan prinsipilnya adalah karena Pemerintah tunduk pada hegemoni neoliberalisme, atau telah mengadopsi neoliberalisme, yang berpandangan bahwa subsidi adalah bentuk intervensi pemerintah yang hanya akan mendistorsi mekanisme pasar.
Subsidi dalam Islam
Islam berbeda dengan Kapitalisme. Jika Kapitalisme memandang subsidi dari perspekstif intervensi pemerintah atau mekanisme pasar, Islam memandang subsidi dari perspektif syariah, yaitu kapan subsidi boleh dan kapan subsidi wajib dilakukan oleh negara.
Jika subsidi diartikan sebagai bantuan keuangan yang dibayar oleh negara maka Islam mengakui adanya subsidi dalam pengertian ini. Subsidi dapat dianggap salah satu cara (uslub) yang boleh dilakukan negara (Khilafah), karena termasuk pemberian harta milik negara kepada individu rakyat (i’tha’u ad-dawlah min amwaliha li ar-ra’iyah) yang menjadi hak Khalifah. Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah memberikan harta dari Baitul Mal (Kas Negara) kepada para petani di Irak agar mereka dapat mengolah lahan petanian mereka. (An-Nabhani, 2004: 119).
Atas dasar itu, boleh negara memberikan subsidi kepada individu rakyat yang bertindak sebagai produsen, seperti subsidi pupuk dan benih bagi petani, atau subsidi bahan baku kedelai bagi perajin tahu dan tempe, dan sebagainya. Boleh juga negara memberikan subsidi kepada individu rakyat yang bertindak sebagai konsumen, seperti subsidi pangan (sembako murah), atau subsidi minyak goreng, dan sebagainya.
Subsidi boleh juga diberikan negara untuk sektor pelayanan publik (al-marafiq al-’ammah) yang dilaksanakan oleh negara, misalnya: (1) jasa telekomunikasi (al-khidmat al-baridiyah) seperti telepon, pos, fax, internet; (2) jasa perbankan syariah (al-khidmat al-mashrifiyah) seperti transfer, simpanan, dan penukaran valuta asing; dan (3) jasa transportasi umum (al-muwashalat al-’ammah) seperti kereta api, kapal laut, dan pesawat terbang. (Zallum, 2004: 104)
Subsidi untuk sektor energi (seperti BBM dan listrik) dapat juga diberikan negara kepada rakyat. Namun perlu dicatat, bahwa BBM dan listrik dalam Islam termasuk barang milik umum (milkiyah ‘ammah). Dalam distribusinya kepada rakyat, Khalifah tidak terikat dengan satu cara tertentu. Khalifah dapat memberikannya secara gratis, atau menjual kepada rakyat dengan harga sesuai ongkos produksi, atau sesuai harga pasar, atau memberikan kepada rakyat dalam bentuk uang tunai sebagai keuntungan penjualannya, dan sebagainya. Di sinilah subsidi dapat juga diberikan agar BBM dan listrik yang didistribusikan itu harganya semakin murah dan bahkan gratis jika memungkinkan. (Zallum, 2004: 83).
Semua subsidi yang dicontohkan di atas hukum asalnya boleh, karena hukum asal negara memberikan hartanya kepada individu rakyat adalah boleh. Pemberian ini merupakan hak Khalifah dalam mengelola harta milik negara (milkiyah al-dawlah). Khalifah boleh memberikan harta kepada satu golongan dan tidak kepada yang lain; boleh pula Khalifah mengkhususkan pemberian untuk satu sektor (misal pertanian), dan tidak untuk sektor lainnya. Semua ini adalah hak Khalifah berdasarkan pertimbangan syariah sesuai dengan pendapat dan ijtihadnya demi kemaslahatan rakyat. (An-Nabhani, 2004: 224).
Namun, dalam kondisi terjadinya ketimpangan ekonomi, pemberian subsidi yang asalnya boleh ini menjadi wajib hukumnya, karena mengikuti kewajiban syariah untuk mewujudkan keseimbangan ekonomi (at-tawazun al-iqtishadi) (Thabib, 2004:318; Syauman, t.t.: 73). Hal ini karena Islam telah mewajibkan beredarnya harta di antara seluruh individu dan mencegah beredarnya harta hanya pada golongan tertentu:
كَيْ لاَ يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ اْلأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian. (QS al-Hasyr [59] : 7).
Nabi saw. telah membagikan fai‘ Bani Nadhir (harta milik negara) hanya kepada kaum Muhajirin, tidak kepada kaum Anshar, karena Nabi saw. melihat ketimpangan ekonomi antara Muhajirin dan Anshar. (An-Nabhani, 2004: 249). Karenanya, di tengah naiknya harga minyak mentah dunia sekarang, subsidi BBM tidak sekadar boleh, tetapi sudah wajib hukumnya, agar ketimpangan di masyarakat antara kaya dan miskin tidak semakin lebar.
Khusus untuk sektor pendidikan, keamanan dan kesehatan, Islam telah mewajibkan negara menyelenggarakan pelayanan ketiga sektor tersebut secara cuma-cuma bagi rakyat (Abdul Ghani, 2004). Karena itu, jika pembiayaan negara untuk ketiga sektor tersebut dapat disebut subsidi maka subsidi menyeluruh untuk ketiga sektor itu adalah wajib hukumnya secara syar’i. Wallahu a’lam. [KH Shiddiq al-Jawie]
Daftar Pustaka
Abdul Ghani, Muhammad Ahmad, Al-’Adalah al-Ijtima’iyah fi Dhaw‘ al-Fikr al-Islami al-Mu’ashir, www.saaid.net, 2004.
Adams, Ian, Ideologi Politik Mutakhir (Political Ideology Today), Penerjemah Ali Noerzaman, (Yogyakarta: Penerbit Qalam), 2004.
An-Nabhani, Taqiyuddin, An-Nizham Al-Iqtishadi fi al-Islam, Cetakan VI, (Beirut: Darul Ummah), 2004.
Ebenstein, William & Fogelman, Edwin, Isme-Isme Dewasa Ini (Today’s Isms), Penerjemah Alex Jemadu, (Jakarta: Penerbit Erlangga), 1994.
Grossman, Gregory, Sistem-Sistem Ekonomi (Economics Systems), Penerjemah Anas Sidik, (Jakarta: Bumi Aksara), 1995.
Neoliberalisme, http://id.wikipedia.org/wiki/Neoliberalisme.
Nota Keuangan dan RAPBN-P 2008.
Subsidy, http://en.wikipedia.org/wiki/Subsidy.
Syauman, Naimah, Al-Islam bayna Kaynaz wa Marks wa Huquq al-Insan fi al-Islam, (t.tp : t.p), t.t.
Thabib, Hamad Fahmiy, Hatmiyah Inhidam Ar-Ra‘sumaliyah al-Gharbiyah, (t.tp: t.p), 2004.
The International Forum on Globalization, Globalisasi Kemiskinan dan Ketimpangan (Does Globalization Help the Poor?), Penerjemah A. Widyamartaya & AB Widyanta, (
Wibowo, I. & Wahono, Francis (Ed.), Neoliberalisme, (
Zallum, Abdul Qadim, Al-Amwal fi Dawlah al-Khilafah, Cetakan III, (