Pengantar
Telaah Kitab kali ini akan mengupas buku berjudul, Accountability in the Khilafah (Akuntabilitas dalam Negara Khilafah), karya Abdul-Karim Newell (www.khilafah.com). Akuntabilitas di sini artinya adalah muhasabah, yaitu tindakan mengkritik atau mengoreksi penguasa.
Buku itu memang layak ditelaah karena tema sentralnya, yaitu akuntabilitas, masih menjadi utopia atau setidaknya barang mewah untuk Dunia Islam. Di satu sisi, Dunia Islam banyak dicengkeram oleh rejim otoriter yang kejam dan anti-kritik, seperti rejim Mesir, Pakistan, dan Uzbekistan. Di sisi lain, demokrasi yang dipaksakan Barat di Dunia Islam, seperti di Irak dan Afganistan, hanyalah tawaran gila yang tak patut diterima oleh manusia waras. Pada dua sisi tersebut, akuntabilitas menjadi angan-angan melangit yang jauh dari bumi tempat berpijak.
Karena itu, umat harus tahu bahwa akuntabilitas bukanlah barang haram, melainkan suatu hak yang telah diberikan oleh Islam kepada mereka. Buku ini menjelaskan bagaimana hak politik ini diberikan dan diatur oleh Islam, khususnya ketika umat hidup dalam Negara Khilafah, yang akan berdiri sebentar lagi, insya Allah.
Latar Belakang
Newell mempersembahkan bukunya untuk umat Islam yang tengah berjuang mewujudkan sistem kehidupan idaman, yaitu Negara Khilafah. Perjuangan ini dilakukan untuk membebaskan diri dari dua kondisi yang menyengsarakan. Pertama: adanya pemerintahan diktator atau represif di Dunia Islam. Kedua: adanya kegagalan demokrasi di Dunia Islam.
Mengenai rejim diktator, Newell mencontohkan rejim Mesir, Pakistan, dan Uzbekistan. Di Mesir, seorang lelaki bernama Imad Kabir telah mengalami penyiksaan brutal dan pelecehan seksual saat diinterogasi polisi. Bahkan penyiksaan itu disyuting lalu disiarkan di internet. Di Pakistan, Presiden Pervez Musharraf memecat Jaksa Agung yang menentang kebijakan-kebijakannya. Di Uzbekistan, Presiden Islam Karimov menyiksa aktivis dakwah secara biadab, yakni merebusnya hidup-hidup dalam air mendidih. (hlm. 4).
Kegagalan demokrasi Dunia Islam dicontohkan Newell dengan menunjukkan payahnya eksperiman demokrasi Irak. Setelah menginvasi Irak tahun 2003, Washington melalui Condoleeza Rice berkomitmen menjadikan Irak sebagai model demokrasi ideal di Timur Tengah. Proyek ini gagal secara spektakuler dan memalukan. Model demokrasi Irak ini, kata Newell, “is a model no-one wants to follow.” (suatu model yang tiada seorang pun yang ingin mengikutinya). (hlm. 4).
Dua kondisi itulah yang mendorong umat bersemangat menapaki langkah menuju sistem alternatif, yaitu Khilafah. Namun, jalan yang ditempuh ini ternyata amat terjal dan tak mudah, karena Barat dan antek-anteknya selalu berusaha menghalang-halanginya; antara lain dengan propaganda hitam bahwa Khilafah adalah negara otoriter yang non-akuntabel (anti-kritik), atau negara utopia yang hanya bisa dijalankan oleh orang suci (ma’shum, saints). George Bush dalam pidatonya di Capital Hilton Hotel 5/9/2006 berucap, “Khilafah akan menjadi sebuah imperium Islam totaliter yang meliputi semua negeri Muslim yang dulu dan sekarang, mulai dari Eropa sampai Afrika Utara, Timur Tengah, dan Asia Tenggara.”
Abdel Wahhab El-Affendi dalam bukunya Who Needs an Islamic State? (1991) menulis secara ngawur bahwa Khilafah hanya akan dapat berjalan jika Khalifahnya adalah orang suci. (hlm. 5-6).
Propaganda hitam semacam itu ingin membuktikan bahwa Khilafah adalah negara yang tidak menghargai akuntabilitas (muhasabah). Khilafah dianggap sistem totaliter atau hanya bisa dijalankan oleh orang suci yang tidak lagi memerlukan nasehat ataupun kritik. Inilah yang melatarbelakangi lahirnya buku karya Abdul-Karim Newell. Penulisnya ingin membuktikan bahwa akuntabilitas bukanlah utopia, sebaliknya merupakan hak umat yang dijamin secara penuh oleh Islam dalam Negara Khilafah.
Tiga Jaminan Akuntabilitas
Newell menjelaskan bahwa akuntabilitas ini dijamin melalui 3 (tiga) mekanisme:
1. Melalui institusi-institusi negara, yaitu Majelis Umat dan Mahkamah Mazhalim.
2. Melalui partai politik.
3. Melalui individu warga negara (hlm.6).
Uraian-uraian Newell terutama didasarkan pada kitab Masyru’ Ad-Dustur (RUUD Khilafah) dan kitab Muqaddimah Ad-Dustur (1964) karya Imam Taqiyuddin an-Nabhani, rahimahullah, khususnya pasal-pasal yang menyangkut muhasabah al-hukâm (akuntabilitas kepada Khalifah dan aparat negara lainnya).
1. Akuntabilitas melalui institusi negara.
Khalifah memang memegang kekuasaan yang besar seperti melegislasi UU, mengelola urusan dalam dan luar negeri, menjadi pemimpin tertinggi angkatan bersenjata, mengangkat dan menerima para duta besar, mengangkat dan memberhentikan para gubernur (wali), mengangkat dan memberhentikan para hakim, dan menetapkan APBN. (hlm. 12). Namun, kekuasaan Khalifah itu tidaklah absolut (mutlak), karena ada lembaga-lembaga negara yang mengimbangi kekuasaan Khalifah. Newell menyebut istilah counterbalance (perimbangan kekuasaan) yang berarti akan ada mekanisme akuntabilitas terhadap Khalifah dari lembaga-lembaga negara, yaitu Majelis Umat dan Mahkamah Mazhalim (hlm. 27-30). Misal: ketika Khalifah menjalankan kekuasaannya melegislasi UU (pasal 36 RUUD Khilafah), dia tidak boleh bertindak seenaknya. Di samping UU yang dilegislasi wajib bersumberkan wahyu, akan ada counterbalance terhadap otoritas Khalifah ini. Anggota Muslim Majelis Umat dapat memberikan kritik atau masukan terhadap RUU yang akan diadopsi Khalifah meski pendapat Majelis Umat ini tidak bersifat mengikat. (pasal 111 ayat 2 RUUD Khilafah). Mahkamah Mazhalim bahkan dapat membatalkan RUU itu jika RUU itu dianggap sebagai kezaliman (mazhlimah), karena Mahkamah Mazhalim berkewajiban menghilangkan segala bentuk kezaliman yang dilakukan oleh Khalifah atau aparat pemerintahan lainnya atas rakyat. (pasal 87 RUUD Khilafah).
Ketika UU sudah dilegislasi oleh Khalifah kemudian antara Khalifah dan umat timbul perbedaan penafsiran mengenai pengertian pasal-pasalnya, Khalifah tidak bisa memaksakan penafsirannya. Mahkamah Mazhalim sajalah yang berhak menentukan makna yang dimaksudkan oleh UU. (pasal 91 RUUD Khilafah).
Meski pun hakim-hakim Mahkamah Mazhalim diangkat dan diberhentikan oleh Khalifah, Khalifah tidak dapat memberhentikan mereka sesukanya. Sebabnya, Khalifah tidak boleh memberhentikan hakim Mahkamah Mazhalim ketika Khalifah menjadi tersangka atas kasus kezaliman yang dilakukannya. (pasal 88 RUUD Khilafah). (Newell, Accountability in the Khilafah, hlm. 27-30).
2. Akuntabilitas melalui partai politik.
Jaminan akuntabilitas kedua dalam Khilafah adalah akuntabilitas melalui partai politik (parpol), yang pendiriannya disyariatkan berdasarkan QS Ali Imran ayat 104. Jika dikelola secara baik, parpol akan dapat mengagregasikan pesan individu rakyat menjadi suatu tekanan yang masif lagi kuat bagi penguasa (hlm. 32).
Newell menyatakan, tindakan penguasa Dunia Islam yang kejam terhadap kelompok-kelompok Islam oposisi membuktikan betapa takutnya penguasa terhadap parpol. Newell mencontohkan yang terjadi di
Meski demikian, kebrutalan Presiden Islam Karimov itu tidak lantas memadamkan gelora api kelompok Islam tempat Muzafar berjuang. Kekejaman penguasa
3. Akuntabilitas melalui individu.
Akuntabilitas dalam Khilafah juga dijamin melalui aktivitas individu umat secara langsung. Jadi, meski sudah ada Majelis Umat yang berbicara atas nama umat, hak akuntabilitas masih ada di pundak masing-masing individu umat. Hal ini karena nas-nas syariah menunjukkan tugas amar makruf nahi mungkar bukanlah tugas parpol Islam semata, melainkan juga tugas setiap individu Muslim. Media
Keistimewaan Buku
Buku karya Newell ini memang tipis dan ringkas, hanya 41 halaman. Namun, buku ini mempunyai beberapa keistimewaan, di antaranya:
1. Banyak memberikan ilustrasi nyata (faktual).
Newell tak hanya berbicara pada dataran normatif (menerangkan norma syariah), namun juga berusaha menampilkan ilustrasi nyata. Dengan demikian, pencerapan pembacanya tidak berhenti pada tahap informasi (al-ma’lumat), tetapi dapat sampai pada mafhum (persepsi) berkat ilustrasi faktual (al-waqi’) yang disajikannya.
Sebagai contoh, Newell menerangkan norma syariah bahwa Qadhi Mazhalim (hakim Mahkamah Mazhalim) berhak melarang Khalifah yang akan memungut pajak tanpa alasan syariah. Newell mencontohkan, misalnya Khalifah akan memungut pajak untuk membangun sebuah masjid dalam rangka ulang tahunnya, seperti Raja Hassan II (
2. Membandingkan secara kontras dengan sistem demokrasi.
Newell sering membandingkan konsep Islam dengan konsep demokrasi dalam berbagai hal terkait akuntabilitas. Hal ini tentu sangat membantu kita yang hidup dalam sistem demokrasi yang kufur. Dengan begitu, kita dapat mengetahui dengan jelas perbedaan tajam antara sistem demokrasi dan sistem Khilafah. Misalnya ketika Newell menerangkan tugas dan fungsi Majelis Umat. Sekilas Majelis Umat mirip dengan parlemen dalam sistem demokrasi, karena keduanya beranggotakan orang-orang yang dipilih oleh rakyat. Namun, fungsi masing-masing berbeda. Dalam sistem demokrasi, parlemen mempunyai hak legislasi. Sebaliknya, Majelis Umat, tugasnya adalah menjalankan akuntabilitas (muhasabah) dan konsultasi (syura) terhadap Khalifah. Majelis Umat tidak mempunyai hak legislasi. Dalam Islam hak legislasi hanya ada di tangan syariah (as-Siyadah li asy-Syar’i), yang dalam praktiknya dilaksanakan oleh Khalifah saja. (hlm. 25).
Penutup
Pada bab Kesimpulan (hlm. 37), Newell menyimpulkan bahwa sistem pemerintahan yang layak dan akuntabel bagi umat hanyalah Khilafah, yang telah sukses diterapkan 1300 tahun lebih. Setelah hancurnya Khilafah tahun 1924, bermacam-macam sistem pemerintahan telah diterapkan umat. Namun, semuanya gagal. Sistem demokrasi yang terus dipaksakan Barat harus dibuang. Sebabnya, kata Newell, “Democracy is an alien, man-made system that has no place in the Muslim World.” (Demokrasi adalah makhluk asing, buatan manusia yang tidak punya tempat di Dunia Muslim). Wallâhu a‘lam. [KH. M. Shiddiq Al-Jawi]
Daftar Pustaka
An-Nabhani, Taqiyuddin, Masyru’ Ad-Dustur, www.khilafah.com.
—————, Muqaddimah Ad-Dustur wa Asbab Al-Mujibah Lahu, (t.tp.: Mansyurat Hizb Al-Tahrir), 1964.
The Khilafah is Not a Totalitarian State, www.khilafah.com.
Newell, Abdul Karim, Accountability in the Khilafah, www.khilafah.com.