HTI

Afkar (Al Waie)

Paradoks HAM

HAK Asasi Manusia (HAM) yang merupakan anak kandung dari ideologi sekular-kapitalisme terus dipuja-puja sebagai gagasan sempurna tanpa cela. Di mana-mana HAM dikumandangkan oleh para pemujanya sebagai ide brilian yang wajib dihormati dan dijunjung tinggi.

Dirumuskan melalui Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948, sejatinya HAM adalah ide usang. Belum seabad pelaksanaannya, HAM telah meninggalkan jejak-jejak kotor, penuh noda dan berlumur darah. Empat ide dasar HAM—(1) kebebasan beragama, (2) kebebasan berpendapat, (3) kebebasan kepemilikan dan (4) kebebasan berekspresi atau bertingkah laku—nyatanya hanya fatamorgana; tidak realistis, baik teori maupun tataran praktis; tidak memberikan jaminan kebebasan hakiki, kesejahteraan dan keadilan sebagaimana digembar-gemborkan.

1.   Kebebasan beragama.

Apa yang dimaksud dengan kebebasan beragama versi HAM? Apakah itu dimaknai sebagai “setiap manusia bebas untuk memeluk agama apapun atau bahkan tak beragama”? Ataukah dimaknai “pemeluk agama bebas menjalankan ajaran agamanya”? Kedua makna di atas, sama-sama tak selaras dengan realitas alias hanya mitos.

Jika yang dimaksud adalah definisi pertama, buktinya manusia tidak diberi kebebasan penuh dalam menjalankan misinya menyembah Tuhan. Setiap manusia memang membutuhkan agama karena mereka dengan kelemahannya selalu mencari siapapun yang layak diagungkan dan disucikan sebagai Tuhannya. Namun, setiap negara selalu memiliki batasan atas agama apa saja yang diakui. Bahkan di negara liberal sekalipun pun, sekte-sekte sesat diharamkan dan diberangus. Seperti sekte yang mengajak pengikutnya bunuh diri rame-rame di Amerika Serikat, tidak bisa diklaim sebagai agama yang lantas dibenarkan untuk eksis. Jadi, klaim kebebasan agama versi ini telah tereliminasi. Senyatanya beragama itu tetap ada dalam batasan, tidak bebas sama sekali.

Ironisnya, ketika agama itu mengacak-ngacak Islam, barulah para pembela HAM segera membela: itu sebagai wujud kebebasan beragama. Contohnya dalam kasus mencuatnya berbagai aliran sesat di Tanah Air seperti Ahmadiyah, Al-Qiyadah al-Islamiyah, dll.

Lantas, jika kebebasan beragama dimaknai sebagai “pemeluk agama bebas menjalankan ajaran agamanya”, maka di manakah letak kebebasan itu bagi umat Islam? Sekalipun agama resmi diakui suatu negara dan dianut mayoritas, jika agama itu adalah Islam, maka agama itu akan dikungkung hanya dalam wilayah ibadah ritual. Perintah-perintah agama Islam yang lain dikebiri, seperti penerapan hukum Islam, ekonomi Islam, dll. Bahkan berjilbab ke sekolah saja dilarang di berbagai negara. Dengan demikian, ide kebebasan agama adalah tipuan semata.

2.   Kebebasan berpendapat.

Di negara yang katanya menerapkan sistem demokrasi, terbukti orang tidak bebas berpendapat, kecuali sejalan dengan ide penguasa yang notabene pelaksana ideologi sekular-kapitalisme. Jika pendapat yang keluar bertentangan dengan pendapat penguasa, serta-merta pengusungnya akan dituduh subversif. Apalagi jika pendapat yang terlontar itu adalah pendapat Islam.

Penangkapan para aktivis Muslim yang lantang menyuarakan penerapan syariah Islam di Uzbekistan, Kazakhstan, Mesir dan di Indonesia adalah bertentangan dengan teori ‘menjamin kebebasan berpendapat’. Apalagi mereka baru sebatas mengeluarkan opini, wacana atau pendapat, dan bukan tindakan.

Sebagai contoh di Indonesia, sejak Orde Lama hingga Orde Reformasi, tercatat berbagai kasus pelanggaran ‘hak berpendapat’ dilakukan penguasa. Tahun 1970 ada larangan demo mahasiswa (tentunya demo dalam rangka penyampaikan aspirasi); 1974 peristiwa Malari (11 tewas dalam demo anti-Jepang), disusul pembredelan beberapa koran dan majalah; 1977 tuduhan subversif terhadap Suwito; 1978 kembali gerakan mahasiswa dibungkam plus pembredelan beberapa majalah; 1984 peristiwa Tanjung Priok dan tuduhan subversif terhadap Dharsono; 1985 pengadilan terhadap aktivis- aktivis Islam terjadi di berbagai tempat di Pulau Jawa; 1986 tuduhan subversif terhadap Sanusi, dan 1998 kerusuhan Mei.

Ironisnya, jika pendapat itu keluar untuk menyakiti Islam, para pendekar HAM segera berteriak lantang: itu adalah wujud kebebasan berpendapat. Gagasan-gagasan yang diusung Jaringan Islam Liberal (JIL) yang jelas-jelas menjungkirbalikkan ajaran Islam, misalnya, dianggap sebagai wujud kebebasan berpendapat. Sungguh absurd!

3.   Kebebasan kepemilikan.

Dalam konsepnya, setiap individu harus dijamin kebutuhannya, terutama kebutuhan pokok seperti sandang, pangan dan papan. Nah, untuk memenuhi itu, setiap individu dibebaskan memiliki apapun sekehendak hatinya. Hanya dengan cara itu kesejahteraan seluruh rakyat akan terwujud. Benarkah?

Jelas tidak. Ide kebebasan kepemilikan yang melahirkan konsep ekonomi kapitalis justru menyengsarakan rakyat. Akibat konsep ekonomi yang mengukur kesejahteraan dari pendapatan perkapita (GNP), pemerintah hanya mengejar tingginya GNP tanpa diikuti penyebaran pendapatan tersebut.

Penerapan sistem perbankan ribawi menyebabkan pertumbuhan sektor real terhambat sehingga lapangan kerja sempit dan rakyat kesulitan mendapatkan sumber afkah. Lalu adanya pasar modal/saham/valas sangat berpotensi terjadi spekulasi; orang-orang tertentu (para kapital) mampu mempermainkan sistem seenak perutnya sehingga berdampak pada roda perekonomian. Inilah yang menyebabkan yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.

Memang, sebagian negara pengemban demokrasi berikut HAM-nya, rata-rata maju secara ekonomi. Namun, kekayaan itu diperoleh dari hasil imperialisme yang jelas-jelas melanggar hak asasi manusia. Jaminan kesejahteraan ala HAM yang didengungkan Barat-Eropa tiada lain untuk membenarkan upaya kekuatan mereka menguasai bangsa-bangsa lemah, terutama Dunia Ketiga. Mereka menyerukan ‘penghapusan sekat-sekat ekonomi di antara bangsa-bangsa’ demi menghisab sumber kekayaan ekonomi bangsa-bangsa tersebut.

Pada saat Barat membangun peradaban dunia, bahkan menyebarkan peperangan atas nama menghapuskan perbudakan dan kezaliman, maka saat itu sesungguhnya mereka sedang memperbudak serta menzalimi bangsa-bangsa dan wilayah-wilayah lain melalui imperialisme modern. Akibatnya, di negara-negara Dunia Ketiga angka pengangguran menjulang tinggi dan ratusan juta rakyat jatuh ke jurang kemiskinan. Ini karena hak kepemilikan terhadap harta sebagaimana ide kebebasan kepemilikan bagi setiap individu-individu tersebut hanyalah sebatas konsep, tidak ada realitasnya. Orang kaya yang jumlahnya sedikit saja yang bebas menguasai mayoritas kekayaan alam. Adapun jaminan terpenuhinya hak dasar manusia berupa kebutuhan pokok (makan, minum, tempat tinggal) tidak terpenuhi.

Dengan berbagai realitas di atas HAM justru memunculkan masalah demi masalah. HAM meniscayakan pertentangan dan konflik tiada akhir.

4.   Kebebasan berekspresi dan bertingkah laku.

Gagasan ini telah meracuni umat manusia menuju proses dehumanisasi; seperti meruyaknya pornografi dan pornoaksi, homoseksualisme/lesbianisme, seks bebas, perselingkuhan, aborsi, dll. Dampak semua itu adalah kerusakan moral dan rusaknya tatanan kehidupan sosial. Lagipula, kebebasan berekspresi dan bertingkah laku itu hanya berlaku bagi pengusung liberalisme, tidak bagi Islam. Ketika seorang kafir menghina Rasulullah saw. melalui karikatur, film, artikel, dll, serta-merta dikatakan itu kebebasan berekpresi. Namun, ketika mayoritas masyarakat menghendaki pemberantasan pornografi yang jelas-jelas merusak generasi, sontak ditentang habis-habisan karena dianggap mengebiri hak berekspresi. Ketika seorang kiai berpoligami, langsung ‘dihabisi’ sebagai melanggar hak asasi perempuan. Namun, perselingkuhan yang menelikung seorang perempuan dianggap kebebasan bertingkah laku. Sungguh paradoks yang tidak ada ujung pangkalnya.


Khatimah

Demikianlah, telah nyata bahwa prinsip-prinsip HAM merupakan ide khayali yang mustahil terwujud di muka bumi. Kalau idenya saja tidak realistis, sungguh naif jika HAM masih diyakini sebagai mukjizat yang akan menghantarkan manusia pada kebahagiaan.

Wallâh a’lam bi ash-shawâb.[Kholda Naajiyah; Pemerhati Masalah Wanita dan Anak-anak]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*