HTI

Siyasah & Dakwah (Al Waie)

Standar Kemenangan Partai Islam

Memaknai Partai Islam

Secara bahasa, dalam kamus Al-Muhith, disebutkan: Sesungguhnya partai adalah sekelompok orang.   Partai adalah seseorang dengan pengikut dan pendukungnya yang mempunyai satu pandangan dan satu nilai.

Imam ar-Razi dalam tafsirnya Mafatih al-Ghayb berkata, “Partai adalah kumpulan orang yang setujuan. Mereka bersama-sama bersatu dalam kewajiban partai untuk mewujudkan tujuannya.” 

Adapun terkait makna politik (siyasah), dalam kamus Al-Muhith disebutkan bahwa as-siyasah (politik) berasal dari kata: sasa–yasusu–siyasat[an] bi ma’na ri’ayat[an] (pengurusan). Al-Jauhari berkata: Sustu ar-ra’iyata siyasat[an] (Aku memerintah dan melarangnya atas sesuatu dengan sejumlah perintah dan larangan). Wa as-Siyasah: al-qiyamu ‘ala syay’in bima yashluhuhu (Politik adalah melakukan sesuatu yang memberikan kemaslahatan padanya) (Ibn Madzur, Lisan al-‘Arab).  Dengan demikian, politik (siyasah) bermakna mengurusi suatu urusan berdasarkan suatu aturan tertentu yang tentu berupa perintah dan larangan. 

Rasulullah saw. menggunakan kata siyasah (politik) dalam sabdanya:

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ

Bani Israil itu diurus oleh para nabi.  Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain menggantikannya.  Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku dan akan ada para khalifah yang banyak. (HR al-Bukhari).

Di dalam kitab Fath al-Bari, syarah hadis ini, dijelaskan makna siyasah (politik):

 

Tasusuhum al-anbiya’ (Bani Israil itu diurus oleh para nabi) maknanya adalah jika tampak kerusakan pada mereka, Allah mengutus kepada mereka seorang nabi yang menegakkan urusan mereka dan menghilangkan hukum-hukum Taurat yang mereka ubah.  Di dalamnya terdapat isyarat bahwa harus ada di antara rakyat seseorang yang menjalankan urusan mereka dengan mengembannya di atas jalan yang baik serta mengentaskan kaum terzalimi dari pihak yang zalim. 

Berdasarkan makna hizbun (partai) dan siyasah (politik) di atas maka dapat disebutkan bahwa partai politik (hizb[un] siyasiy[un]) adalah suatu kelompok yang terorganisasi yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, cita-cita dan tujuan yang sama dalam rangka mengurusi urusan rakyat.  Partai politik Islam berarti partai yang ideologi, orientasi, nilai-nilai, cita-cita, tujuan dan caranya didasarkan pada ajaran Islam. 


Standar Kemenangan

Dilihat dari realitasnya, fungsi utama keberadaan partai politik adalah mengurusi urusan rakyat.  Hal ini dapat dilihat dari beberapa aspek.  Pertama: teoretisasi partai politik itu sendiri.  Secara teoretis, partai politik berfungsi menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat. Partai melakukan penggabungan kepentingan masyarakat (interest aggregation) dan merumuskan kepentingan tersebut dalam bentuk teratur (interest articulation). Partai politik juga memberikan sikap, pandangan, pendapat dan orientasi terhadap fenomena (kejadian, peristiwa, kebijakan) politik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Tujuannya untuk membela kepentingan rakyat. Partai politik yang tidak berupaya untuk mengurusi urusan rakyat telah kehilangan eksistensinya.  Kalaupun tetap disebut partai, ia hanyalah partai semu, atau bahkan sekadar nama belaka. 

Kedua: realitas perilaku partai politik sekarang. Di luar negeri ataupun di dalam negeri perilaku partai politik sama.  Partai sama-sama berupaya untuk meraih dukungan masyarakat. Karenanya, tidaklah aneh jika partai-partai politik dalam setiap kesempatan berupaya untuk meraih dukungan rakyat dengan janji-janji akan mensejahterakan rakyat; mulai dari slogan ‘demi rakyat’, ‘bersama kita bisa’, dll hingga kunjungan ke pasar atau makan nasi aking bersama mereka yang kelaparan. Semua itu acapkali dilakukan oleh para aktivis partai politik saat ini.  Di luar negeri pun kampanye partai politik banyak mengangkat isu-isu yang sensitif bagi rakyat.  Gambaran ini menunjukkan bahwa memang hakikatnya partai politik itu diadakan dalam rangka mewujudkan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan rakyat. 

Sayang, kebanyakan partai politik yang kini ada hanya menyapa rakyat saat Pilkada atau Pemilu. Setelah itu rakyat dilupakan.  Ketika rakyat susah, mereka menyetujui kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM); suap dan sogok pun merajalela di kalangan partai; undang-undang (UU) dibuat bergantung pada uang sehinga lahirlah UU yang melegalisasi penyerahan kekayaan sumberdaya alam milik rakyat kepada pihak asing.  Tentu, ini bukan karakter partai politik sejati.   

Ketiga: secara syar’i partai politik memang diperintahkan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat.  Di antara dalil perintah mendirikan partai politik Islam adalah firman Allah Swt.:

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan kebajikan dan melakukan amar makruf nahi mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung (QS Ali Imran [3]:104).

Dalam ayat itu dijelaskan bahwa kelompok (partai) itu memiliki dua fungsi: yaitu da’wah ila al-khayr (mendakwahkan kebaikan) dan amar makruf nahi mungkar.  Imam Jalalain memaknai al-khayr sebagai al-Islam. Imam Ibnu Katsir mengartikan al-khayr dengan ‘itba’ al-Qur’an wa as-Sunnah’ (mengikuti al-Quran dan as-Sunnah).  Pada sisi lain, amar makruf berarti memerintahkan segala sesuatu yang sesuai dengan Islam dan nahi mungkar berarti mencegah segala sesuatu yang bertentangan dengan Islam. Jadi, karakter partai yang dituntut al-Quran adalah menyerukan Islam secara keseluruhan, menyuruh menerapkan dan melaksanakan Islam, serta mencegah perbuatan mungkar. Menjadikan partai sebagai sarana untuk memperkaya diri dan kelompok dengan memanfaatkan uang rakyat dan negara jelas bertentangan dengan Islam. Membiarkan rakyat kelaparan, sementara wakil partai justru jalan-jalan ke luar negeri, tegas-tegas mengabaikan ajaran Islam. Membiarkan rakyat dirusak akidahnya melalui berbagai tayangan merupakan pengkhianatan terhadap Islam yang mengharuskan menjaga kemurnian akidah. 

Jelaslah, keberadaan partai sejak awal didedikasikan bagi dakwah Islam dan amar makruf nahi mungkar demi memenuhi kepentingan rakyat.  Karenanya, standar kemenangan suatu partai politik adalah keberhasilannya menyelesaikan problematika masyarakat.   Kemenangan partai politik bukan sekadar menang dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) maupun Pemilihan Umum (Pemilu).  Jika tolok ukur kemenangan itu hanyalah kemenangan dalam Pilkada dan Pemilu, lantas untuk apa kursi yang telah diraih itu? 

Banyak sekali nash-nash yang menegaskan bahwa jabatan, apapun termasuk jabatan yang diperoleh melalui partai politik, haruslah dalam rangka mengurusi dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Rasulullah saw. bersabda:

يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنَّكَ ضَعِيفٌ. وَإِنَّهَا أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا

Wahai Abu Dzar, sesungguhnya kamu itu lemah, sementara jabatan itu merupakan suatu amanah. Jabatan itu nanti pada Hari Kiamat merupakan suatu kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi yang dapat memanfaatkan haknya dan menunaikan kewajibannya dengan sebaik-baiknya (HR Muslim).

مَا مِنْ وَالٍ يَلِي رَعِيَّةً مِنَ الْمُسْلِمِينَ فَيَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لَهُمْ إِلاَّ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ

Tidaklah seorang pemimpin kaum Muslim mati dalam keadaan menipu rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan surga baginya (HR Bukhari-Muslim).


Perlu Syariah Islam

Pengurusan masalah masyarakat menyangkut banyak hal sesuai dengan maqashid asy-syar’iyyah.  Ada beberapa urusan masyarakat yang harus dipenuhi.  Pertama: memelihara keturunan (al-muhafazhah ‘alâ an-nasl).  Untuk memelihara keturunan diperlukan langkah-langkah seperti: (1) Mensyariahkan nikah dan mengharamkan perzinaan; (2) Tidak memberikan kebebasan berperilaku, kebebasan berhubungan seksual (freesex),  homoseks, lesbianisme, dan sebagainya;  (3) Menetapkan berbagai sanksi hukum terhadap para pelaku perzinaan.  Dalam sistem kehidupan sekular, hal tersebut justru tidak dapat terlaksana.  Sebab, apapun yang dilakukan seseorang terserah saja dengan dalih hak asasi manusia (HAM).

Kedua: memelihara akal (al-muhâfazhah ’alâ al-‘aqlu).  Ada beberapa langkah yang penting diterapkan, di antaranya: (1) mewajibkan upaya menuntut ilmu dengan dibiayai oleh negara (gratis bagi rakyat).  Itulah yang dilakukan oleh Nabi saw. dan para sahabat, bahkan para Khalifah; (2) mencegah dan melarang dengan tegas segala perkara yang merusak akal seperti minuman keras (muskir) dan narkoba (muftir); (3) menetapkan sanksi hukum terhadap para pelakunya.  Dalam sistem Kapitalisme, minuman keras dan narkoba dipandang sebagai barang ekonomi sehingga yang dilarang hanyalah yang tidak memiliki ijin atau yang mengedarkannya secara gelap. Sanksinya pun tidak dapat menghentikannya.

Ketiga: memelihara kehormatan (al-muhâfazhah ‘alâ al-karâmah).  Hal ini akan dicapai dengan: (1) memberikan kebebasan untuk melakukan apapun selama sesuai dengan syariah Islam; (2) melarang orang menuduh zina,  mengolok, meng-gibah, melakukan tindakan mata-mata, mengeksploitasi kehormatan perempuan berupa pornografi atau pornoaksi; (3) menetapkan sanksi-saksi hukum bagi para pelakunya. Kehormatan tidak terjamin dalam sistem sekular.  Acara-acara infotainment yang menggunjing, mengolok-olok, meng-gibah, melakukan spionase, mengeksploitasi pornografi dan pornoaksi dibiarkan. Bahkan UU Pornografi-Pornoaksi saja tidak kunjung disahkan.

Keempat: memelihara jiwa manusia (al-muhâfazhah ’alâ an-nafs).  Dengan syariah Islam setiap warga masyarakat apapun suku, ras dan agamanya dipelihara dan dijamin keselamatan jiwanya.  Sebaliknya, tanpa syariah Islam, realitas menunjukkan bahwa setiap hari media massa mewartakan selalu ada pembunuhan.  Keluarga korban pun tidak diperlakukan adil, sebab pelaku hanya dihukum penjara beberapa tahun.  Ini pun tidak membuat dia dan orang lain jera. Berbeda dengan Islam yang menetapkan hukum qishash. 

Kelima: memelihara harta (al-muhâfazhah ’alâ al-mâl).  Dalam Islam, bukan hanya harta pribadi yang dilindungi, melainkan kebutuhan pokok setiap individu pun dijamin.  Harta rakyat berupa sumberdaya alam pun benar-benar milik rakyat, dikelola oleh pemerintah untuk dikembalikan bagi kesejahteraan rakyat.  Sebaliknya, dalam sistem sekular kebutuhan pokok tidak dijamin, harta rakyat pun diserahkan kepada segelintir orang, termasuk asing melalui privatisasi. 

Keenam: memelihara agama (al-muhâfazhah ‘alâ ad-dîn).  Dalam sistem sekular, agama dibiarkan dilecehkan, bahkan diacak-acak.  Aliran sesat dipelihara.  Muaranya, akidah umat tidak terjaga.

Ketujuh: memelihara keamanan (al-muhâfazhah ‘alâ al-amn).  Tidak dibiarkan pihak asing menguasai keamanan negara.  Pasukan asing yang berkedok lembaga penelitian seperti Namru 2 AS pun tidak dibiarkan mengobok-obok keamanan masyarakat.  Aksi kekerasan dihentikan.

Kedelapan: memelihara negara (al-muhâfazhah ‘alâ ad-dawlah).  Dalam Islam negara dijaga keutuhannya.  Tidak dibolehkan ada disintegrasi. Berbeda dengan itu, sistem sekular membiarkan disintegrasi atas nama referendum atau mungkin otonomi. 

Melihat berbagai urusan rakyat yang harus dipenuhi itu tampak bahwa sistem sekularisme-kapitalisme telah gagal memenuhinya. Sistem sosialisme-komunisme pun sudah tumbang.  Semua itu hanya akan dapat tercapai dengan sempurna dengan penerapan syariah Islam. Sejarah panjang umat Islam mencatat hal tersebut dengan tinta emas.  Karenanya, partai politik semestinya berupaya keras untuk memperjuangkan tegaknya syariah Islam. 


Islam Kaffah

Penerapan syariah Islam harus kaffah.  Pelaksananya juga harus semua pihak, baik individu, kelompok maupun negara.  Dalam konteks negara, pemerintah pusat harus menerapkan Islam secara kaffah.  Jika tidak, penerapan syariah Islam di daerah akan mendapatkan kendala.

Boleh jadi beberapa daerah dapat menerapkan syariah Islam, tetapi tidak sesuai harapan. Daerah-daerah yang menerapkan sebagian syariah Islam hanya dapat melaksanakan hal-hal yang artifisial seperti: mendorong baca-tulis al-Quran; melarang minuman keras, judi, dll.  Namun, tetap saja ia tidak dapat menghentikan pelacuran, pergaulan bebas, dan perilaku seks menyimpang karena pemerintah pusat membiarkannya; tidak dapat mencegah privatisasi milik umum yang justru merupakan program pemerintah pusat; tidak dapat mencegah pornografi-pornoaksi yang dibiarkan pusat; tidak dapat menghentikan intelijen luar negeri karena dilegalkan oleh pemerintah pusat; tidak dapat menyetop pembunuhan karena hukum yang diterapkan sama dengan hukum Belanda yang ditetapkan pemerintah pusat; dsb.  Artinya, banyak sekali kendala yang dihadapi daerah. 

Pada sisi lain, penerapan syariah Islam secara parsial tidak akan dapat menyelesaikan masalah secara keseluruhan dan tuntas.  Laksana obat, kalau ada 7 macam obat bagi seseorang yang sakit maka tidak cukup jika yang dimakan hanya satu macam. Apalagi jika dimakannya tidak sebagaimana mestinya.  Jangan heran jika sakit tidak sembuh.

Berdasarkan hal tersebut, yang harus menerapkan syariah Islam adalah negara secara keseluruhan; juga bukan hanya dalam satu atau dua persoalan, melainkan dalam segala aspek.  Dengan kata lain, kita butuh penerapan syariah Islam secara kaffah. Begitulah kalau kita hendak secara sungguh-sungguh mengurusi urusan umat. 

Walhasil, kemenangan partai politik Islam tidak bisa diukur melalui kemenangannya dalam Pemilu atau melalui kemenangan kader-kadernya dalam Pilkada. Kemenangan partai Islam sejatinya ditentukan oleh keberhasilannya mendorong negara untuk menerapkan syariah Islam secara total demi mengatur berbagai urusan masyarakat dengan dukungan penuh mereka.

Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. [MR Kurnia]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*