HTI

Liputan Khusus (Al Waie)

Dua Puluh Mei 2008: Tonggak Kebangkitan Nasional?

Di tengah gempita peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional, mengemuka gugatan terhadap peran dan posisi Boedi Oetomo. Sebagian menilai, kelahiran organisasi Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908 lalu sesungguhnya amat tidak patut diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional, karena organisasi ini mendukung penjajahan Belanda, sama sekali tidak pernah mencita-citakan Indonesia merdeka, a-nasionalis, anti agama, dan bahkan sejumlah tokohnya merupakan anggota Freemasonry Belanda (Vritmejselareen). Lebih jauh mereka menilai, dipilihnya tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, sesungguhnya merupakan suatu penghinaan terhadap esensi perjuangan merebut kemerdekaan yang diawali oleh tokoh-tokoh Islam. Sarekat Islam (SI) yang lahir 3 tahun terlebih dahulu dari Boedi Oetomo (BO), yakni pada tahun 1905, yang jelas-jelas bersifat nasionalis, menentang penjajah Belanda, dan mencita-citakan Indonesia merdeka, lebih tepat dijadikan tonggak kebangkitan nasional. Karena itu, sejarah kebangkitan nasional yang selama ini mendasarkan pada peran Boedi Oetomo harus dipertanyakan kembali.

Topik hangat ini dibahas dalam Dialog Peradaban “HOS Cokroaminoto vs Wahidin Sudirohusodo (Serikat Islam vs Budi Oetomo); Mencari Kompromi Kebangkitan Nasionalisme Kita yang diselenggarakan oleh Cides bersama Mahfudz Siddiq (FPKS), Ahmad Suhelmi (Fisip UI), Firman Noor (Cides) dan Jubir HTI M. Ismail Yusanto pada 22 Mei lalu. Acara yang dibuka oleh Mensesneg Hatta Rajasa ini dipadati peserta dan diskusi berlangsung hangat.

Sebuah tesis sejarah yang ditulis Savitri Scherer di Universitas Cornell, Amerika Serikat pada tahun 1975 yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia tahun 1985, menggambarkan bahwa Boedi Oetomo pada intinya merupakan gerakan sosial yang mengartikulasikan kepentingan kelompok priyayi non-birokrat yang bersifat lokal. Ini karena adanya disharmoni antara priyayi ningrat (priyayi birokrat) dengan priyayi profesional, khususnya para dokter Jawa.

Atas hal itu, kemunculan Boedi Oetomo sebenarnya lebih didorong oleh keinginan untuk menolong diri sendiri yang berada dalam posisi rendah dibandingkan dengan priyayi birokratis. “Kalau kita tidak menolong diri kita sendiri tidak akan ada orang lain yang menolong kita, dan tolonglah diri kalian sendiri,” demikian Gunawan Mangunkusumo tentang alasan mahasiswa STOVIA mendirikan Boedi Oetomo (Paul W van der veur, ed., Kenang-kenangan Dokter Soetomo, Jakarta: Sinar Harapan, 1984 hlm. 22).

Gambaran di atas menunjukkan bahwa Boedi Oetomo merupakan organisai lokal, dan hanya berjuang untuk kelompok kecil, tidak berskala nasional, sehingga sulit untuk dianggap sebagai perintis kebangkitan nasional.

Sejalan dengan itu, dalam pasal 2 anggaran dasar Boedi Oetomo tertulis “Tujuan organisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis”. Jadi, jelas sekali bahwa tujuan Boedi Oetomo bersifat Jawa-Madura sentris, sama sekali bukan kebangsaan (Rizki Ridyasmara, “20 Mei Bukan Hari Kebangkitan Nasional”, dalam http://www.eramuslim.com).

Atas hal demikian, banyak pengamat sejarah yang menolak peran Boedi Oetomo sebagai gerakan pelopor kebangkitan nasional. Pelaku dan penulis sejarah, KH Firdaus AN mengungkapkan “…Boedi Oetomo adalah organisasi sempit, lokal dan etnis, dimana hanya orang Jawa dan Madura elit yang boleh menjadi anggotanya. Orang Betawi saja tidak boleh menjadi anggotanya.”

Selanjutnya Firdaus AN mengungkapkan, perkumpulan Boedi Oetomo dipimpin oleh para ambtenaar, yakni para pegawai negeri yang setia terhadap pemerintah kolonial Belanda. Boedi Oetomo pertama kali diketuai oleh Raden T. Tirtokusumo, Bupati Karanganyar kepercayaan Belanda, yang memimpin hingga tahun 1911. Kemudian dia diganti oleh Pangeran Aryo Notodirodjo dari Keraton Paku Alam Yogyakarta yang digaji oleh Belanda dan sangat setia dan patuh pada induk semangnya.

Selain itu, Firdaus AN memaparkan bahwa dalam rapat-rapat perkumpulan dan bahkan di dalam penyusunan anggaran dasar organisasi, Boedi Oetomo menggunakan bahasa Belanda, bukan bahasa Indonesia.

Karena itu, lanjut Firdaus, Boedi Oetomo tidak memiliki andil sedikit pun untuk perjuangan kemerdekaan, karena mereka para pegawai negeri yang digaji Belanda untuk mempertahankan penjajahan yang dilakukan tuannya atas Indonesia, dan Boedi Oetomo tidak pula turut serta mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemerdekaan, karena telah bubar pada tahun 1935.

Mengenai hubungan Boedi Oetomo dengan Islam, KH Firdaus AN mengungapkan adanya indikasi kebencian terhadap Islam di kalangan tokoh-tokoh Boedi Oetomo. Noto Soeroto, salah seorang tokoh Boedi Oetomo, di dalam satu pidatonya tentang Gedachten van Kartini alsrichtsnoer voor de Indische Vereninging berkata, “Agama Islam merupakan batu karang yang sangat berbahaya…sebab itu soal agama harus disingkirkan, agar perahu kita tidak karam dalam gelombang kesulitan.”

Sebuah artikel di Suara Umum, sebuah media massa milik Boedi Oetomo di bawah asuhan Dr. Soetomo terbitan Surabaya, dikutip oleh A. Hassan di dalam Majalah Al-Lisan terdapat tulisan yang antara lain berbunyi, “Digul lebih utama daripada Makkah”, “Buanglah ka’bah dan jadikanlah Demak itu Kamu Punya Kiblat!” (Al-Lisan nomor 24, 1938).

Bukan itu saja, di belakang kelompok Boedi Oetomo pun terdapat fakta yang mencengangkan. Ketua pertama Boedi Oetomo yakni Raden Adipati Tirtokusumo, Bupati Karanganyar, ternyata adalah seorang anggota Freemasonry. Dia aktif di Loge Mataram sejak tahun 1895. Sekretaris Boedi Oetomo (1916), Boedihardjo, juga seorang Mason yang mendirikan cabangnya sendiri yang dinamakan Mason Boedihardjo. Hal ini dikemukakan dalam buku Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962 (Dr. Th. Stevens).

Berbeda dengan Boedi Oetomo, Sarekat Islam lebih menasional. Keanggotaan Sarekat Islam terbuka bagi semua rakyat Indonesia. Sebab itu, susunan para pengurusnya pun terdiri dari berbagai macam suku. Haji Samanhudi dan HOS Tjokroaminoto berasal dari Jawa Tengah dan Timur, Agus Salim dan Abdoel Moeis dari Sumater Barat, dan AM. Sangaji dari Maluku. Sifat menasional Sarekat Islam juga tampak dari penyebarannya yang menyentuh hingga kepelosok-pelosok desa. Tahun 1916, tercatat 181 cabang SI di seluruh Indonesia dengan tak kurang dari 700.000 orang tercatat sebagai anggotanya. Tahun 1919 melonjak drastis hingga mencapai 2 juta orang. Sebuah angka yang fantastis kala itu. Sebaliknya, Boedi Oetomo pada masa keemasannya saja hanya beranggotan tak lebih dari 10.000 orang.

Adanya faktor Islam inilah yang membuat Sarekat Islam lebih progresif, tidak terbatas pada kelompok tertentu, dan menginginkan adanya kemajuan bagi seluruh rakyat. Salah satu misi pembentukan Sarekat Islam, seperti dirumuskan oleh Tirtoadisuryo ialah, “Tiap-tiap orang mengetahuilah bahwa masa yang sekarang ini dianggap zaman kemajuan. Haruslah sekarang kita berhaluan: janganlah hendaknya mencari kemajuan itu cuma dengan suara saja. Bagi kita kaum muslimin adalah dipikulkan wajib juga akan turut mencapai tujuan itu, dan oleh karena itu, maka telah kita tetapkanlah mendirikan perhimpunan Sarekat Islam.” (Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3JS, 1982. Hal 116).

Berdasarkan alasan tersebut, tampak adanya sikap kepeloporan perubahan dan perbaikan bagi seluruh warga negara yang lebih merakyat yang didorong atas keyakinan Islam. Cakupan kegiatan Sarekat Islam yang meliputi seluruh rakyat Indonesia juga tampak dalam tujuan organisasi tersebut yang termaktub dalam anggaran dasarnya.

Organisasi ini berkembang dengan cepat di daerah-daerah lain di Jawa, bahkan organisasi ini menyebar juga ke luar Jawa, seperti di Sumatera Selatan.

Jelas tampak adanya perbedaan mendasar antara Boedi Oetomo yang hanya berjuang untuk kelompok kecil priyayi di Jawa dengan Sarekat Islam yang berjuang untuk seluruh rakyat. Dengan menjadikan Islam sebagai dasar perjuangan, tampak pula bahwa SI sesungguhnya merupakan pelopor yang sebenarnya dari sebuah kebangkitan yang bersifat nasional.

Namun, ketika pertama kali dilakukan peringatan hari Kebangkitan Nasional pada tahun 1948, peringatan itu mengambil momentum kelahiran Boedi Oetomo yang dianggap sebagai pelopor kebangkitan nasional sehingga peringatan Kebangkitan Nasional selalu jatuh pada tanggal 20 Mei. Ini jelas sekali merupakan suatu usaha menghilangkan spirit Islam dari perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia, juga menghilangkan identitas Islam sebagai bagiaan terintegruasi dari bangsa Indonesia.

Wallahu’alam bi ash-shawab [Kantor Jubir HTI-Jakarta]

3 comments

  1. Mr. Supriyadi

    Sejarah milik yang menag
    karena sekulerisme yg menang ya sejarah bisa diputar balikkan

    agar ummat menjauh dari Islam

    tetapi kebenaran akan tetap terkuak dan menang.

  2. KADang sejarah bisa dikesana kemarikan dan kadang duit juga di kesana kemarikan… ya tapi beginilah Indonesia,,,…mungkit kata andreas Harefa benar juga…Indonesia ini nggak mau belajar dari pengalaman…kalau sejarahnya aja “es jendol”…gimana kedepannya…

    Maju terus Indonesia…

    100 tahun kebangkitan nasional, indonesia bisa

  3. Banyak fakta sejarah Indonesia yang cukup kontroversial. Bisa dibaca di buku Api Sejarah karangan profesor Mansur. Banyak peran ulama yang dikecilkan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*