Sungguh Kamilah yang menghidupkan orang-orang yang mati, dan Kamilah yang mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab yang jelas (al-Lawh al mahfuzh). (QS. Yasin [36]: 12)
Dalam ayat sebelumnya, diberitakan orang-orang yang membandel dari peringatan Rasulullah saw. Mereka itu tak ada bedanya, diberi peringatan atau tidak. Allah Swt. pun menegaskan, tugas Rasulullah saw. hanya memberikan peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti dan takut kepada-Nya. Mereka dijanjikan ampunan dan pahala yang besar.
Kemudian ayat ini kembali menegaskan, kematian bukanlah akhir dari perjalanan kehidupan manusia. Sesudah mati, mereka akan dihidupkan kembali untuk mempertang-gungjawabkan perbuatannya. Untuk itu, semua amal dan jejak yang mereka tinggalkan ditulis-Nya. Semua tertulis dalam sebuah kitab yang jelas.
Tafsir Ayat
Dalam ayat tersebut Allah Swt. berfirman: Innâ Nahnu Nuhyî al-mawtâ (Sungguh, Kamilah yang menghidupkan orang-orang yang mati). Pengulangan dhamîr nahnu dalam frasa ini memberikan makna li al-hasyr aw li at-taqwiyah (pembatasan atau pengukuhan).1 Artinya, hanya Allah Yang menghidupkan manusia ketika telah mati, bukan yang lain. Bisa pula bermakna, manusia yang sudah mati benar-benar akan dihidupkan kembali oleh Allah Swt.
Nuhyî al-mawtâ (Kami menghidupkan orang-orang mati), sebagaimana dijelaskan para mufassir, bermakna bahwa Dialah Yang membangkitkan seluruh manusia yang sudah mati pada Hari Kiamat kelak.2 Kepastian terjadinya peristiwa ini bertebaran disebutkan dalam al-Quran dan as-Sunnah. Di antaranya adalah al-Hajj [22]: 26, asy-Syura [42]: 9, at-Taghabun [64]: 7, an-Nahl [16]: 38, al-Mu’minun [23]: 16, dan lain-lain.
Pada Hari Kiamat, manusia yang sudah mati menjadi tulang-belulang itu dihidupkan-Nya. Tak hanya itu, jari-jemari manusia akan disusun-Nya kembali dengan sempurna (lihat QS al-Qiyamah [75]: 4). Bagi Allah Swt. Yang Mahakuasa, tidak ada kesulitan sama sekali untuk melakukannya. Bukankah awalnya manusia hanya setetes mani yang hina, kemudian Allah membuatnya menjadi segumpal darah, lalu menjadi manusia yang sempurna, dan menjadi makhluk berpasangan laki-laki dan perempuan? Bukankah itu menjadi bukti nyata bahwa Allah Swt. berkuasa untuk menghidupkan orang mati (lihat QS al-Qiyamah [75]: 37-40).
Kemudian Allah Swt. berfirman: wa Naktubu mâ qaddamû wa âtsârahum (Kamilah Yang mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan). Kata mâ qaddamû dalam ayat ini berarti semua perbuatan yang telah mereka kerjakan, baik yang terpuji maupun yang tercela, yang salih maupun yang durhaka.3 Dalam beberapa ayat (seperti QS al-Infithar [82]: 5, al-Qiyamah [75]: 13, al-Hasyr [59]: 18, al-Jumu’ah [62]: 7, dan al-Fajr [89]: 24), kata mâ qaddamû juga bermakna amal perbuatan yang telah dikerjakan.
Manusia dibangkitkan dari kuburnya untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbua-tannya semasa di dunia. Siapa yang beriman dan beramal salih, disediakan baginya surga yang penuh kenikmatan. Sebaliknya, siapa yang kufur dan tidak menggunakan hidupnya untuk beribadah kepada-Nya, dimasukkan ke dalam neraka. Karena nasib manusia ditentukan oleh amalnya, maka seluruh amal perbuatannya pun dicatat-Nya (lihat: QS al-Mujadilah [58]: 6).
Semua amal manusia dicatat dengan sangat teliti hingga tak ada yang terlewat. Pada Hari Kiamat, pelakunya akan melihat semua perbuatan yang telah dikerjakan meski perbuatan itu hanya seberat dzarrah (lihat: QS al-Zalzalah [99]: 7-8). Semua rahasia dan bisikan manusia didengar-Nya; juga selalu dicatat oleh malaikat-malaikat-Nya (lihat: QS al-Zukhruf [43]: 80).
Dengan demikian, tidak ada satu pun manusia yang terzalimi. Mereka mendapatkan balasan sesuai dengan amal mereka. Karena itu, jika mereka menerima siksaan yang pedih, sama sekali bukan karena Allah Swt. menzalimi hamba-Nya. Mahasuci Allah dari perbuatan tersebut (lihat: QS Ali Imran [3]: 182, al-Anfal [8]: 51). Namun, justru manusialah yang menzalimi diri mereka sendiri.
Ayat ini juga memberikan peringatan, bukan hanya amal yang dicatat, namun juga seluruh âtsârahum (pengaruh, dampak, atau peninggalan mereka). Menurut sebagian mufassir, kata âtsâr bermakna bekas jejak dan langkah kaki, baik yang berjalan untuk ketaatan maupun kemaksiatan. Mujahid menyatakan, âtsârahum adalah khathâhum bi arjulihim (langkah kaki mereka).4
Mufassir lain, seperti asy-Syaukani dan al-Alusi berpendapat bahwa yang dimaksud dengan âtsâr adalah semua kebaikan atau keburukan yang tetap ada setelah ditinggal mati pelakunya.5 Penafsiran tak jauh berbeda juga dikemukakan al-Qurthubi, az-Zamakhsyari, as-Samarqandi, al-Khazin, al-Baghawi, an-Nasafi, al-Jazairi, as-Sa’di, az-Zuhaili dan lain-lain.6 Mereka menyatakan, âtsârahum adalah semua kebiasaan yang diciptakan, baik yang hasanah (terpuji) maupun yang syay’ah (tercela), kemudian dicontoh orang-orang yang sesudahnya. Penafsiran ini didasarkan pada hadis Nabi saw.:
Siapa saja yang membuat tradisi yang baik dalam Islam (sunnah hasanah), dia memperoleh pahala dari perbuatan yang dia kerjakan dan perbuatan orang yang menirunya tanpa mengurangi pahalanya sedikit pun. Siapa yang membuat tradisi yang buruk dalam Islam (sunnah syay’ah), dia memperoleh dosa dari perbuatan yang dia kerjakan dan perbuatan orang-orang yang menirunya tanpa mengurangi dosanya sedikit pun (HR Muslim).
Dalam ayat lainnya, al-Quran menegaskan bahwa orang yang menyesatkan orang lain juga harus menanggung dosa orang yang disesatkannya itu (lihat: QS an-Nahl [16]: 25). Orang-orang kafir yang mengajak manusia pada kekufuran harus menanggung dosa mereka dan dosa orang-orang yang mengikuti mereka (lihat: QS al-Ankabut [29]: 13). Sebaliknya, orang yang mengajak pada kebaikan mendapatkan pahala semisal orang yang diajaknya. Rasulullah saw. bersabda:
Siapa saja yang menunjukkan kebaikan, dia mendapatkan semisal pahala orang yang mengerjakannya (HR Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ahmad dari Abu Mas’ud al-Anshari).
Yang dimaksud mitslu ajri fâilihi (semisal pahala orang yang mengerjakannya), sebagaimana dijelaskan Imam Nawawi, adalah “Dia mendapatkan pahala atas perbuatan itu, sebagaimana pelakunya juga mendapatkannya. Tidak harus ada kesamaan ukuran atau jumlah pahalanya.”7
Wahbah az-Zuhaili juga menyebut hadis riwayat Muslim dari Abu Hurairah yang memberitakan, bahwa setelah Bani Adam meninggal, ada tiga amal yang tidak terputus, yakni: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya.8 Itu pula yang disodorkan al-Baidhawi sebagai contoh âtsâr. Dalam kebaikan, seperti ilmu yang diajarkan dan harta yang diwakafkan; dalam keburukan, seperti tersebarnya kebatilan dan tegaknya kezaliman.9
Selain contoh itu, al-Alusi juga menyebutkan beberapa contoh lain. Termasuk dalam peninggalan baik adalah kitab yang ditulis dan bangunan di jalan Allah. Adapun peninggalan buruk, misalnya, adalah penetapan undang-undang yang zalim dan lalim, penyusunan prinsip-pinsip keburukan dan kerusakan yang berlaku di antara manusia, dan berbagai ilmu jahat yang diadakan dan dilakukan oleh orang-orang rusak sesudahnya.10
Semua penjelasan para mufassir itu menunjukkan, manusia juga dihisab atas semua peninggalan, dampak, atau pengaruh dari perbuatan yang dikerjakannya.
Ayat ini ditutup dengan firman Allah Swt.: Wa kullu syay’[i] ahshaynâhu fî imâm mubîn (Segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab yang jelas). Kata kulla syay’i (segala sesuatu) menurut Qatadah adalah amal. Pendapat yang sama juga dikemukakan Mujahid dan Ibnu Zaid.11 Pendapat lainnya menyatakan, frasa ini menjelaskan secara umum setelah khusus (at-ta’mîm ba’da at-takhshîsh); bahwa yang tertulis dan terhimpun itu bukan hanya amal dan bekas jejak mereka, namun segala sesuatu.12 Segala sesuatu itu dihimpun dan dikalkulasi dalam sebuah kitab yang terjaga. Sebagaimana dinyatakan al-Baidhawi, kata ahshaynâhu berarti Kami memelihara, menghitung, dan menjelaskannnya.13
Adapun makna imâm mubîn berarti kitab yang dikuti, menjelaskan segala sesuatu.14 Menurut kebanyakan mufassir, seperti an-Nasafi, al-Jazairi, al-Khazin, al-Baghawi, al-Baidhawi, asy-Syaukani dan as-Samarqandi, maknanya adalah al-Lawh al-Mahfûzh.15 Artinya, segala yang ada itu telah termaktub dalam kitab yang terjaga (al-Lawh al-Mahfûzh).
Penguasa, Berhati-hatilah!
Di antara keistimewaan penguasa adalah pengaruh yang ditimbulkan akibat kebijakannya. Jika seorang rakyat hendak makan, lalu memilih nasi atau babi, maka perbuatan itu hanya berakibat pada dirinya. Berbeda halnya dengan penguasa. Ketika membuat kebijakan, dampaknya akan dirasakan seluruh rakyat di negaranya, bahkan di negara lain. Bisa jadi, tidak hanya dirasakan pada saat itu, namun hingga beberapa generasi sesudahnya.
Ketika penguasa menerapkan undang-undang yang melarang miras, pornografi, atau riba, berbagai perbuatan maksiat itu akan berkurang atau bahkan lenyap dari kehidupan umum. Demikian pula ketika penguasa menerapkan syariah secara totalitas dan menjatuhkan sanksi tegas kepada setiap orang yang melanggarnya, tentu akan berakibat kepada ketaatan rakyat terhadap syariah. Karena itu, tak mengherankan jika pemimpin yang adil mendapatkan pahala yang amat besar. Para pemimpin yang adil (al-imâm al-’âdil) itu disebut pertama sebagai salah satu dari tujuh golongan yang mendapatkan naungan Allah Swt. ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Nya pada Hari Kiamat kelak (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ahmad dari Abu Hurairah).
Yang dimaksud dengan imam di sini, sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar al-Asqalin dalam Fath al-Bârî, adalah pemegang kekuasaan tertinggi (wilâyah al-‘uzhmâ). Dapat pula dimasukkan di dalamnya setiap orang yang mengurusi urusan kaum Muslim, lalu berbuat adil. Lalu yang dimaksud dengan adil adalah mengikuti perintah Allah Swt., meletakkan segala sesuatu pada tempatnya, tanpa mengurangi atau melebihkan.16
Sebaliknya, jika penguasa menerapkan undang-undang yang mengizinkan aneka perbuatan maksiat, dipastikan kemaksiatan akan marak di dalam kehidupan masyarakat. Ketika itu terjadi, maka dia tidak hanya berdosa atas perbuatan yang dilakukannya, namun karena kegiatan maksiat yang dilakukan oleh orang lain. Kelak para penguasa yang menyesatkan akan dituntut orang-orang yang tersesatkan agar mendapatkan azab dua kali lipat dan laknat yang besar (lihat QS al-Ahzab [33]: 68).
Lalu terhadap pemimpin yang menipu rakyatnya, Rasulullah saw. bersabda:
Tidak seorang pun wali (penguasa) yang mengatur urusan kaum Muslim, lalu ia mati, sementara ia telah menipu mereka, kecuali Allah akan mengharamkan atas mereka surga (HR Muslim dari Muslim).
Berpijak ayat ini, seorang Muslim hanya akan berselera menjadi pemimpin dalam sistem yang menerapkan syariah. Ketika sistemnya bukan syariah, maka di hatinya sama sekali tidak terbetik keinginan untuk menjadi penguasa, kecuali ia mampu mengubahnya menjadi syariah. Sebab, bagaikan kereta, sistem kufur adalah lokomotif yang membawa berbagai gerbong kemaksiatan dan kemungkaran, yang mengantarkan masinis dan penumpangnya ke neraka yang penuh siksa. Masih ada yang tertarik?
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []