HTI

Siyasah & Dakwah (Al Waie)

Menyoal Sikap Wakil Rakyat

Beban rakyat Indonesia saat ini benar-benar kian berat. Rakyat negeri ini benar-benar terpukul di segala bidang. Paling tidak, saat ini yang paling menonjol memukul rakyat dan semakin menambah beban rakyat adalah terkait dengan masalah akidah dan ekonomi.

Terkait dengan akidah, rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim ini dibiarkan ’meregang’ akidahnya tanpa ada upaya Pemerintah untuk melindungi akidah umat. Yang ada justru Pemerintah terkesan ’membiarkan’ atau bahkan ’menumbuh-suburkan’ paham sesat sekularisme, liberalisme dan pluralisme [SIPILIS] yang saat ini menjadi musuh sejati Islam.

Kasus Ahmadiyah adalah fakta nyata bagaimana Pemerintah membiarkan liberalisasi agama serta bersikap tak acuh terhadap akidah umat. Pemerintah, sebagaimana diwakili Kepala Kejaksaan Agung, Hendarman Supandji mengatakan bahwa SKB bukan untuk membubarkan Ahmadiyah, namun hanya membekukan. (RCTI, 7/6/2008).

Setelah ada ’tumbal politik’, Pemerintah terkesan ’tergesa-gesa’ mengeluarkan SKB tentang Ahmadiyah. Itu pun dengan isi yang jauh dari harapan masyarakat. Jemaat Ahmadiyah tidak dibubarkan, hanya dibekukan. Walhasil, Pemerintah seolah-olah membiarkan ’bara dalam sekam’ permasalahan akidah umat.

Adapun terkait dengan masalah ekonomi, setelah akidah umat dibiarkan ’dimurtadkan’ oleh kelompok sesat, rakyat Indonesia pun harus berjuang keras di tengah himpitan beban hidup Kyang semakin berat. Kebijakan Pemerintah menaikkan harga BBM yang rata-rata 28,7% jelas telah memberi ’pukulan telak’

Pertanyaannya, kemana para politisi dan para wakil rakyat yang secara langsung dipilih oleh rakyat? Kemana mereka semua berada tatkala rakyat membutuhkan ’bantuan’ untuk memperjuangkan hak-haknya? Adakah para politisi dan wakil rakyat ’bersuara lantang’ dan memobilisir dukungan untuk menentang kebijakan zalim ini? Mengapa para wakil rakyat seolah-olah diam ’beribu bahasa’ saat rakyat membutuhkan pembelaan? Dimana para wakil rakyat ketika hampir seluruh elemen masyarakat ’turun ke jalan’ meminta kepada Pemerintah untuk segera membubarkan Ahmadiyah dan membatalkan kenaikan BBM? Jika logika demokrasi yang dipakai, dimana suara mayoritas lebih ’diperhatikan’? Mengapa suara rakyat yang sudah mayoritas menginginkan pembubaran Ahmadiyah dan menggagalkan kenaikan BBM tidak di dengar oleh Pemerintah dan para wakil rakyat? Ada apa dengan mereka?


Ironi Politisi: Mengumbar Fatsun Politik

Sungguh sebuah ironi. Di tengah rakyat membutuhkan bantuan dan penyambung lidah, para wakil rakyat seolah diam dan tenang-tenang saja. Mereka malah sibuk dalam gegap-gempita verifikasi partai politik di KPU agar bisa lolos dalam Pemilu 2009 mendatang.

Permasalahan rakyat yang benar-benar terlihat jelas di depan mata dan segera membutuhkan penyelesaian cepat ’tidak tersentuh’ sama sekali. Para politisi dan wakil rakyat lebih asyik mempersiapkan diri untuk ’tampil kembali’ dalam Pemilu yang akan datang.

Kalaupun ada ’suara-suara’ pembelaan, lebih terkesan basa-basi politik. Betapa tidak? Sebagai misal, kasus kenaikan harga BBM. Sikap penolakan terhadap BBM tidak dikeluarkan secara tegas jauh-jauh hari sebelum Pemerintah mengeluarkan kebijakan kenaikan BBM. Seharusnya, sebelum Pemerintah benar-benar menaikkan harga BBM, para wakil rakyat harus sudah bersuara ’lantang’ menentang rencana kenaikan tersebut. Para anggota dewan dan politisi seharusnya menjelaskan kepada Pemerintah bahwa kebijakan menaikkan harga BBM adalah kebijakan zalim. Bukan hanya itu saja, mereka juga harus menjelaskan kepada rakyat bahwa Pemerintah akan melakukan kezaliman. Langkah ini harus dicegah.

Ironisnya, kalaupun ada suara ’lantang’, seperti bahwa kebijakan Pemerintah menaikkan harga BBM adalah ’sikap bodoh’, bukti tunduk pada ’arahan asing’, tidak pro rakyat tapi lebih pro pada para kapitalis, dll, itu pun bukan sikap lembaga, baik fraksi maupun dewan sendiri, namun hanya sikap perseorangan tanpa ada kekuatan sama sekali. Seharusnya, para wakil rakyat secara kelembagaan ’menegur’ Pemerintah atau bahkan memberi ’sanksi tegas’ apabila Pemerintah tetap ngotot menaikkan harga BBM.

Para anggota dewan senantiasa ’berkilah’ bahwa ’sangat sulit’ menjadi sikap lembaga, sebab harus melalui mekanisme sidang paripurna. Padahal sidang paripurna membutuhkan waktu yang panjang dan berliku. Nanti keburu basi masalahnya. Kalau ini merupakan permasalahan yang harus segera dipecahkan, tidak adakah mekanisme cepat untuk mengambil keputusan? Jika sewaktu menurunkan Soeharto dan Gus Dur saja ada mekanisme itu (baca: cepat dalam mengambil keputusan), mengapa seolah-olah ditiadakan? Kalaupun tidak ada, tidakkah bisa dibuat mekanisme sendiri untuk itu? Toh, aturan bisa dibuat selama untuk kepentingan rakyat. Atau sebenarnya karena tidak mau membela rakyat saja?

Baru ketika Pemerintah mengeluarkan kebijakan zalim, para anggota dewan bersikap. Sikap yang ada hanya sekadar fatsoen politik, bukan sebuah upaya sungguh-sungguh memperjuangkan hak-hak rakyat yang terzalimi; seolah-olah sekadar mengambil ’kesempatan’ di atas penderitaan rakyat untuk kepentingan pribadi dan partainya. Hal ini bisa tampak dalam aksi para anggota dewan dengan naik ojek ke DPR, siap dipotong gajinya, siap berhemat dan beragam sikap lainnya. Mengapa itu hanya dilakukan sekali saja? Jika benar-benar melakukan protes kepada Pemerintah, mengapa tidak dilakukan seterusnya? Mengapa ini tidak dilakukan secara kelembagaan?

Walhasil, seolah-olah hanya untuk sekadar mencari simpati saja. Demikian halnya dengan bergulirnya hak angket BBM, mengapa hanya sekadar hak untuk meminta penjelasan Pemerintah? Bukan fokus pada upaya dan dorongan untuk membatalkan kebijakan zalim Pemerintah?

Hal yang sama juga terjadi dalam masalah akidah umat [baca: permasalahan Ahmadiyah]. Para anggota dewan dan politisi tidak sungguh-sungguh; seolah-olah permasalahan akidah bukanlah permasalahan penting. Padahal ini adalah penghulu dari segala macam permasalahan. Jika permasalahan akidah saja sudah abai, bisa dipastikan bahwa untuk permasalahan yang lain pasti abai dan tidak bersungguh-sungguh dalam menyikapinya. Wajar jika permasalahan Ahmadiyah berlarut-larut. Kalaupun ada ’penyelesaian’, yakni dengan dikeluarkannya SKB 3 Menteri, itu adalah penyelesaian yang mengambang dan bahkan berpotensi menimbulkan permasalahan yang baru. Ini semua karena para wakil rakyat tidak memandang permasalahan Ahmadiyah sebagai permasalahan urgen dan sangat penting.


Politisi: Sumber Masalah

Benarkah seluruh permasalahan di atas disebabkan oleh tingkah polah politisi itu sendiri? Jawabannya adalah benar. Betul, bahwa sumber masalah dari permasalahan yang ada adalah politisi itu sendiri, bukan yang lain.

Jika kita telusuri, akar masalah dari carut-marut negeri ini adalah adanya aturan yang memayungi tindak kezaliman Pemerintah. Sebut saja kezaliman Pemerintah menaikkan harga BBM. Kebijakan zalim Pemerintah didasarkan pada hukum, yakni pasal 14 Ayat 2 APBN-P. Dalam pasal tersebut disebutkan, jika terjadi perubahan harga minyak yang siginifikan dibanding asumsi, Pemerintah bisa mengambil langkah yang diperlukan di bidang subsidi BBM, yakni pengendalian volume BBM bersubsidi, kebijakan harga BBM bersubsidi, dan kebijakan fiskal lainnya yang terkait. Menurut Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Departemen Keuangan, Anggito Abimanyu pilihan yang disediakan oleh undang-undang memberikan keleluasaan bagi Pemerintah untuk memilih. Saat ditanya mengenai apakah Pemerintah akan menaikkan harga BBM bersubsidi, ia mengatakan Pemerintah akan melakukan kajian jika hal tersebut dilakukan. Itu [menaikkan harga BBM] telah dilakukan Pemerintah.

Lebih jauh lagi, jika diteliti lebih mendalam, berdarah-darahnya Indonesia dengan semakin melambungnya harga minyak mentah dunia adalah karena adanya UU Migas. Dalam pasal 9 ayat 1 UU Migas dinyatakan swata asing diperbolehkan melakukan kegiatan usaha hulu (Eksplorasi, Eksploitasi) dan Kegiatan Usaha Hilir (Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan Niaga) bidang minyak dan gas bumi sehingga mereka berhak mengelola ladang-ladang minyak dan gas di Indonesia. Dengan UU Migas ini, 90% ladang-ladang minyak dan gas di Indonesia akhirnya dikuasai oleh asing. Wajar jika swata asing mendapatkan ’durian runtuh’ tatkala harga minyak mentah dunia semakin menggila. Sebaliknya, pemerintah Indonesia semakin berdarah-darah dan menderita.

Pertanyannya, siapa yang membuat peraturan tersebut? Siapa yang mengesahkan APBN-P dan UU Migas serta UU atau peraturan yang menyengsarakan rakyat? Bukankah para politisi yang ada di Senayan? Mengapa UU dan peraturan yang terbukti menyengsarakan tidak segera dihapuskan? Mengapa masih saja dipertahankan?

Walhasil, sumber masalah sebenarnya adalah para politisi itu sendiri, bukan yang lain. Ini semua disebabkan karena sikap pragmatisme para politisi, adanya politisi semu/karbitan dan lemahnya pemahaman politik ideologis para politisi.


Politisi Sejati dalam Pandangan Islam

Sungguh, keberadaan politisi sejati sangat dinantikan oleh rakyat. Politisi sejati adalah yang peduli dan berjuang penuh untuk kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan yang lain. Islam memberikan panduan bagaimana menjadi dan membentuk politisi sejati. Di antaranya:

1. Hanya semata-mata berjuang untuk kepentingan umat dan Islam. Harus dipahami bahwa politik sesungguhnya bukanlah melulu kekuasaan. Politik adalah upaya untuk mengurusi segala kebutuhan umat. Konsekuensinya, pertanggung-jawabannya tidak saja kepada orang yang dipimpin, tetapi kepada Allah Swt. Seorang Muslim tidak akan sembarangan mengikrarkan diri sebagai orang yang sanggup memikul amanah politik rakyat.

2. Ideologis. Artinya, semua permasalahan politik dilihat dalam sudut pandang Islam. Bagaimana Islam sebenarnya ’menghukumi’ permaslahan tersebut. Apakah halal atau haram? Jika sudah dinyatakan haram oleh syariah maka tidak bisa ’dimusyawarahkan’ lagi. Sesuatu tersebut harus dilarang; sebagaimana kasus liberalisasi dan privatisasi barang tambang dan kepemilikan publik lainnya. Islam memandang bahwa liberalisasi dan privatisasi sektor publik haram untuk dilakukan, sebagaimana sabda Rasulullah saw. (yang artinya): Manusia berserikat terhadap tiga hal, air, padang rumput dan api. Harganya adalah haram. (HR Ahmad).Oleh karenanya, jika ada pihak-pihak yang akan memprivatisasi, termasuk Pemerintah sekalipun, maka harus ditentang habis. Inilah yang disebut dengan ideologis. Semua didasarkan kepada Islam bukan pada ideologi yang lain.

3. Politisi sejati harus menyadari bahwa ia adalah bagian dari umat. Upaya untuk mencapai kehidupan yang makmur dan sejahtera ini harus dipahami sebagai tujuan bersama. Menjadi tugas para politisi untuk menumbuhkan kesadaran itu di dalam diri masyarakat sehingga terbentuk hubungan timbal balik yang nyata dalam bentuk kontrol masyarakat terhadap pemerintah. Politisi sejati haruslah orang yang peka dengan keadaan masyarakatnya sekaligus kapabel dalam bidangnya sehingga ia solutif terhadap persoalan yang terjadi. Hal ini tidak bisa diraih kecuali dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan tsaqafah Islam yang mendalam serta kesediaannya terjun ke masyarakat setiap saat.

[gus uwik]

One comment

  1. Mr. Supriyadi

    Jangan pernah percaya kepada janji para politikus busuk

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*