HTI

Hiwar (Al Waie)

Penguasa Komprador: Penguasa Boneka

Pengantar Redaksi:

Penguasa komprador atau antek mungkin terdengar ganjil. Masa iya, negera-negara sudah merdeka, penguasanya komprador atau antek asing? Namun, fakta berbicara, memang penguasa komprador atau antek itu benar-benar ada. Tentu saja bentuknya sedikit berbeda dengan masa penjajahan fisik dulu.

Seperti apa penguasa komprador itu? Apa ciri-cirinya? Bagaimana bisa ada? Bagaimana rakyat mesti bersikap? Bagaimana pula memupus eksistensinya?

Untuk membincangkan masalah tersebut, Rredaksi al-Waie mewawancarai MR Kurnia, Direktur Pusat Kajian Politik Islam (PKPI) yang juga ketua DPP HTI. Berikut petikannya.

Apa dan siapa sebetulnya penguasa antek/komprador itu?

Dulu, istilah komprador bermakna pengantara bangsa pribumi yang dipakai oleh perusahaan-perusahaan atau perwakilan asing dalam hubungannya dengan orang-orang pribumi. Dalam perkembangannya istilah komprador berkembang dalam ranah politik. Penguasa komprador adalah penguasa yang menjadi kaki tangan negara asing, khususnya negara besar, dalam hubungannya dengan rakyat.

Zaman penjajahan dulu dikenal para demang. Mereka adalah orang Indonesia yang menjadi penguasa, tetapi mengabdi bagi kepentingan Belanda. Nah, kedudukan para demang dulu tidak jauh berbeda dengan penguasa komprador sekarang. Dalam bahasa Arab dikenal dengan sebutan al-’umala’ alias penguasa boneka.

Apa tanda-tanda yang bisa dikenali untuk mendeteksi penguasa komprador itu?

Ada beberapa tanda yang dapat dikenali. Pertama: pengakuan dari sang penguasa. Misalnya, Australia tegas-tegas menyatakan diri sebagai sherif Amerika Serikat (AS) di Asia Pasifik. Di Indonesia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat berkunjung ke negeri Paman Sam pernah menyatakan, “I love the United States with all its faults. I consider it my second country.” Secara bebas dapat diartikan, “Saya cinta Amerika dengan segala kesalahannya. Saya menganggapnya sebagai negara kedua saya.” (Al-Jazeera English Archive, 6 Juli 2004).

Kedua: sering mengikuti kebijakan asing. Sebagai contoh, pada tahun 1989 terdapat kesepakatan antara AS, Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia yang dikenal dengan The Washington Concensus. Di dalamnya terdapat kebijakan liberalisasi perdagangan, privatisasi, dan pencabutan subsidi. Penguasa yang membebek kepada AS menerapkan kebijakan tersebut. Perusahaan-perusahaan negara (BUMN) dijual kepada asing, subsidi bahan bakar minyak (BBM) dicabut, mengikuti pasar bebas sekalipun tidak siap, dll. Dari aspek politik, ketika AS menyerukan war on terrorism (perang melawan terorisme) segeralah penguasa negeri Muslim yang menjadi kompradornya menerapkan hal yang sama terhadap umat Islam.

Ketiga: mengeluarkan undang-undang (UU) yang lebih pro asing daripada pro rakyat. Sebut saja UU Migas yang memberikan kesempatan besar bagi asing untuk menguasai migas, UU SDA hingga asing pun diperkenankan menguasai sumberdaya air, dll.

Keempat: mengangkat pejabat yang merupakan kader-kader asing. Sebut saja, ketika menunjuk tim ekonomi selalu berasal dari Mafia Berkeley. Seperti banyak diketahui umum, sejumlah menteri di dalam kabinet merupakan titipan IMF, Bank Dunia, bahkan pemerintah AS. Dalam suatu kesempatan di televisi Kwik Kian Gie pernah mengatakan, bagaimana penyusunan kabinet ditunda karena Presiden menunggu kedatangan Duta Besar AS.

Kelima: dalam bekerjasama dengan asing lebih menjaga kepentingan asing. Dalam masalah minyak, misalnya, bagaimana daerah kaya minyak Blok Cepu diserahkan kepada Exxon, atau tambang emas di Papua diserahkan kepada Freeport. Namru 2 yang merupakan tim angkatan laut AS yang berkedok penelitian kesehatan dibiarkan terus berjalan tanpa tersentuh hukum karena diberi kekebalan diplomatik.

Mengapa bisa muncul penguasa komprador, padahal kan penguasa dipilih oleh rakyat dan diawasi oleh wakil-wakil mereka?

Memang rakyat memilih langsung penguasanya. Namun, jangan lupa, rakyat akan memilih sesuai dengan opini yang dikembangkan media massa, sesuai politik pencitraan. Padahal media massa itu dikuasai oleh para pemilik modal yang sebagian besar orang asing. Opini pun dibuat sedemikian rupa sesuai dengan kepentingan mereka. Belum lagi untuk biaya kampanye, dananya darimana? Politik uang yang semarak dimana-mana dananya dari siapa? Mestilah dari perusahaan, baik swasta maupun asing, atau ada juga yang langsung dari negara besar melalui lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk turut menyukseskan calon penguasa tertentu.

Pada saat Pemilu, para pengawas asing pun datang. Untuk Indonesia, sebut saja mantan Presiden AS Jimmy Carter yang langsung memantau Pemilu 2004. Merekalah yang pertama berteriak, “Pemilu ini paling demokratis!” Namun, jika para pengawas dari luar negeri tersebut itu berkata lain maka dilakukan penundaan atau pengulangan Pemilu. Contohnya yang terjadi di Palestina yang dimenangkan Hamas atau Aljazair yang dimenangkan FIS, digagalkan. Menarik juga diperhatikan calon presiden dari Indonesia menjelang Pemilu mesti bertemu dengan pejabat AS.

Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidaklah efektif. Slogan check and balances hanyalah teori. Betapa tidak, penguasa berhasil naik ke tampuk kekuasaan karena didukung oleh partai atau koalisi partai-partai dominan di Parlemen. Koalisi pendukung penguasa alih-alih mengoreksi penguasa, justru mendukungnya. Sekadar contoh saja, interpelasi tentang beras terganjal, interpelasi terkait kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pun kandas. UU yang dibuat Pemerintah bersama DPR pun berupa UU yang lebih pro asing. Mengapa? Sebab, Pemerintah maupun wakil rakyat yang dominan di DPR sebenarnya satu dan saling mendukung. Sayangnya, mereka saling mendukung dalam kepatuhan pada kepentingan asing. Akibatnya, penguasa komprador leluasa berjalan.

Adakah kaitan penguasa komprador dengan sistem Kapitalisme yang sedang berkuasa saat ini?

Tentu. Namun, bukan berarti hanya terkait dengan sistem kapitalis saja, melainkan juga dengan sistem sosialis/komunis. Negara yang membebek kepada Uni Sovyet dulu merupakan penguasa yang menjadi kompradornya. Hanya saja, dalam sistem Kapitalisme hal itu terlihat sangat transparan.

Ideologi Kapitalisme memiliki dua pilar utama. Pilar ekonomi didasarkan pada ekonomi kapitalistik dan dalam bidang politik didasarkan pada demokrasi. Dalam praktiknya, demokrasi terkait dengan ekonomi kapitalistik membentuk industri politik yang pada gilirannya mewujud menjadi negara perusahaan (corporate state).

Corporate state ini merupakan negara yang penguasanya berkolaborasi dengan para pengusaha, baik dari dalam maupun luar negeri, atau penguasa sekaligus pengusaha. Dimana-mana terjadi kapitalisasi pendidikan, privatisasi sumberdaya alam, BUMN dijual, kapitalisasi layanan publik dan kapitalisasi politik. Negara menjadi instrumen kepentingan bisnis dan mengabdi kepada pemilik modal yang sebagian besar merupakan perusahaan asing dari negara besar seperti AS. Penguasa menjadi pelayan bagi kepentingan asing sembari mereguk manfaat bagi dirinya dan kelompoknya.

Ditambah lagi, negara-negara besar menjerat negara-negara berkembang dengan utang luar negeri. Setiap utang luar negeri mesti ada prasyarat yang harus dipenuhi. Pada suatu titik dimana utang luar negeri ini telah menjerat negara tersebut, negara imperialis dengan gampang mendikte penguasa untuk memenuhi kepentingan negara besar. Karena pikirannya sudah sama, biasanya penguasa tidak merasa didikte, melainkan mengabdi kepada asing itu sebagai pilihan mereka sendiri dengan berbagai dalih.

Belum lama kita dengar, dengan dalih agar investasi luar negeri masuk dan perusahaan asing mau bergerak menjadi pengecer bensin di SPBU, dinaikkanlah harga BBM sekalipun menyengsarakan rakyat banyak. Ketika kepentingan negara asing diutamakan, pihak penguasa pun merasa terjamin tidak akan ada gangguan dari luar, termasuk kedudukannya aman.

Bagaimana penguasa komprador itu memposisikan rakyatnya?

Tadi sudah saya sebutkan bahwa penguasa komprador itu selalu lebih berpihak kepada negara asing daripada kepada rakyatnya. Memang tidak mengherankan, karena dalam suatu corporate state rakyat didudukkan sebagai pembeli, sementara penguasa sebagai penjual. Hanya istilahnya saja yang dibuat keren, yakni negara bertindak sebagai fasilitator dan dinamisator. Padahal sejatinya, seperti kata Nabi Muhammad saw., penguasa itu bertindak sebagai gembala. Mereka mengurusi urusan rakyatnya, memenuhi kebutuhan hidupnya, menjamin keamanannya, dan mengelola harta milik rakyat untuk kemakmuran bersama.

Dalam kasus kenaikan BBM pada tahun 2005, misalnya, sekalipun penentangan dimana-mana, penguasa jalan terus. Bahkan sebuah LSM yang mendapat dana bantuan asing disertai nama-nama ’intelektual’ dengan dukungan Pemerintah membuat pernyataan mendukung kenaikan BBM lebih dari 100 persen itu. Saat kenaikan BBM bulan Mei 2008 lalu, penguasa tidak mendengarkan suara rakyat. Berlagak demokratis para pejabat hanya menyatakan, “Demonstrasi tidak setuju BBM tidak apa-apa. Itu kan bunga demokrasi.” Mau setuju silakan, mau tidak setuju silakan, yang penting BBM naik, dan 150 perusahaan asing siap berinvestasi di sektor hilir migas, seperti di SPBU (pom bensin). Titik.

Tidak sedikit dari rakyat di negeri Muslim, termasuk di negeri ini, yang tidak bisa mengenali penguasanya yang komprador sehingga mereka tetap mengelu-elukannya. Mengapa bisa seperti itu?

Ada banyak faktor yang memenuhinya. Pertama: rendahnya pendidikan. Di Indonesia lebih dari 80 persen penduduk hanya bersekolah hingga 7 tahun (hingga SMP kelas 1). Pekerjaannya pun rendah, gaji sedikit. Setiap hari cukup memikirkan diri dan keluarga. Tidak sempat berpikir tentang hal-hal ‘berat’ seperti apa yang dilakukan penguasa. Akibat kesulitan hidup demikian, perkara yang terpikirkan hanyalah bagaimana mengatasi hidup keseharian.

Kedua: lemahnya (kalau tidak boleh disebut tidak ada) kesadaran politik di dalam tubuh umat. Mereka hanya memahami hal-hal yang kongkret langsung berhubungan dengan mereka. Contoh paling ringan, dalam Pemilu bukan melihat visi, misi dan ideologi yang dibawa, melainkan ketenaran dan uang.

Ketiga: ada politik pencitraan yang dilakukan penguasa melalui media massa. Akibatnya, rakyat hanya melihat apa yang dimunculkan di koran, TV, dll tanpa paham bagaimana hakikat sesungguhnya. Lebih dari itu, ada juga penyesatan politik. Misalnya, ketika Presiden AS George W Bush datang ke Indonesia, penentangan terhadap kezalimannya menggema dimana-mana. Namun, yang diopinikan, “Kita negara beradab yang harus memuliakan tamu.” Padahal tamunya perampok harta kekayaan rakyat, pembunuh ratusan ribu nyawa kaum Muslim di Irak, dll.

Apa yang harus ada di tengah-tengah rakyat sehingga rakyat bisa mengenali jatidiri penguasa mereka?

Melakukan pembinaan di tengah rakyat dalam rangka meningkatkan taraf berpikir mereka (al-irtifa’ al-fikri). Peningkatan taraf berpikir yang saya maksudkan mencakup beberapa hal. Pertama: berpikir tentang fakta (tafkir ’an al-waqi’). Dengan demikian, rakyat dapat memahami berbagai realitas yang terjadi. Kedua: berpikir syar’i (tafkir syar’i). Rakyat dibina keislamannya sehingga dapat menilai apakah peristiwa atau kebijakan yang dilakukan penguasa sesuai dengan hukum syara. Ketiga: berpikir politis (tafkir siyasi). Dengan tafkir siyasi rakyat akan dapat mengetahui hakikat perilaku dan kebijakan penguasa.

Peningkatan taraf berpikir ini dapat tercapai dengan cara dakwah untuk menyatukan akidah dengan syariah di dalam tubuh umat melalui dakwah yang bersifat pemikiran (fikriyah), politik (siyasiyah), dan tanpa kekerasan (ghayru ’unfiyah).

Bagaimana seharusnya rakyat menyikapi penguasa komprador itu?

Melakukan koreksi terhadap mereka dengan melakukan amar makruf nahi mungkar sebagaimana diperintahkan dalam al-Quran surah Ali ’Imran ayat 104. Bicaralah! Jangan membiarkan kemungkaran dan kezaliman! Jika tidak, asing akan terus mencengkeram negeri-negeri Muslim melalui antek-anteknya.

Apa yang harus dilakukan ke depan untuk memutus eksistensi para penguasa komprador itu?

Perlu ada pergantian sistem dari sistem sekular kapitalis-liberal menjadi sistem Islam. Juga, perlu ada perubahan pemimpin dan kepemimpinan dari pemimpin yang membebek kepada AS menjadi pemimpin yang amanah berpihak kepada rakyat sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad saw. dan para khalifah sesudahnya. []

One comment

  1. nah!!!!! apakah msh mau percaya sama pemimpin2 yang skarng ini????

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*