HTI

Dunia Islam (Al Waie)

Pakta Keamanan Baghdad-Washington Memperkokoh Penjajahan AS

Baru-baru ini Presiden AS, George W. Bush menandatangani anggaran perang di Irak dan Afganistan sebesar 162 miliar USD. Bush menandatangai anggaran tersebut saat warga AS dan masyarakat dunia kian menentang kebijakan agresor Gedung Putih di Timur Tengah.

Sebelumnya, The House of Representatives  (DPR) Amerika Serikat menyetujui penambahan anggaran  bagi militer AS untuk melanjutkan peperangan di Irak dan Afganistan. Tambahan anggaran sebesar 162 miliar dolar (sekitar 1460 triliun rupiah) itu   memungkinkan Pentagon menggelar operasi militer di  Irak dan Afganistan hingga pertengahan 2009.

The House of Representatif  AS juga tidak menetapkan batas waktu  penarikan tentara Amerika Serikat dari Irak. Hal ini sejalan dengan keinginan  Presiden Bush yang tidak menginginkan adanya deadline. Ironisnya, persetujuan tambahan anggaran untuk Pentagon ini dicapai di tengah situasi perekonomian rakyat Amerika Serikat yang makin sulit.

Timbul dugaan, AS sebenarnya masih ingin bertahan di Irak. Alasan yang paling memungkinkan adalah minyak. Maklum, minyak Irak bisa menjadi sumber pemasukan yang penting bagi negara itu. Dengan cadangan minyak yang sangat besar, minyak Irak tentu akan menjadi darah segar bagi ekonomi AS yang sedang collaps. Di Irak diperkirakan terdapat cadangan minyak sekitar 115 miliar barel, yang merupakan cadangan terbesar ketiga di dunia.

Untuk tetap bertahan di Irak, AS ngotot mengegolkan Pakta Keamanan Bersama dengan Irak, meskipun ditolak banyak pihak di Irak. Seperti dilaporkan Kantor Berita Mehr, Aqil Al-Isa (pengamat politik) saat diwawancarai situs Sababul Irak menyatakan, AS mengancam Pemerintah Irak dengan mengharuskan Baghdad memberikan ganti rugi dalam Peristiwa 11 September jika menolak menandatangani pakta keamanan dengan Washington. Presiden Irak Nur Maliki ketika berada di Yordania mengecam syarat AS ini dan menganggapnya ancaman terhadap kedaulatan Irak.

Pakta keamanan akan menggantikan mandat PBB yang akan habis pada akhir tahun ini. Ribuan demonstran di Irak menolak Pakta Keamanan ini karena hanya akan mengokohkan pendudukan militer AS di negara itu. Ulama besar Irak Syaikh Dr. Abdul Malik as-Sa’di mengeluarkan fatwa haramnya mengadakan kesepakatan dan kompromi dengan penjajah. Dalam fatwa itu disebutkan bahwa perbuatan itu adalah haram secara qath’i (pasti), kecuali jika penjajah sudah keluar dari Irak serta memberikan hak sepenuhnya kepada Irak untuk mengatur negerinya sendiri.

Sekilas, isi kesepakatan ini sepertinya untuk kepentingan Irak. Namun, kecenderungan liberalisasi ekonomi Irak sangat kuat dalam pakta keamanan itu. Ini tampak dari poin-poin seperti mendorong investasi asing, khususnya AS, masuk ke Irak; mendorong Irak agar masuk ke pasar bebas dan bergabung dengan organisasi ekonomi regional maupun dunia; termasuk bantuan finansial (utang) dan teknis kepada negeri itu.

Seperti pengalaman di negara-negara lain, liberalisasi sesungguhnya merupakan jalan bagi perusahan asing, terutama AS, untuk mengeruk minyak Irak. Adapun pemberian utang luar negeri sering merupakan alat untuk menekan dan menimbulkan ketergantungan negara lain.

Tidak menunggu lama, kran liberalisasi pun sudah mulai dibuka. Pemerintah boneka Irak mengundang perusahaan minyak terbesar dunia untuk memberikan bantuan tehnis dan meningkatkan produksi. Banyak laporan menyebutkan, pihak berwenang Irak sedang berunding dengan Exxon Mobil, Shell, Total, dan BP walaupun tidak ada pengumuman resmi tentang rekan yang akan ditunjuk. Diharapkan dalam waktu 2 tahun mendatang produksi minyak Irak akan mencapai 3 juta barel perhari, meningkat dari 2,5 juta barel pada tingkat saat ini (BBC Online, 30/6/2008).

Sebelumnya, perusahaan Halliburton—Dick Cheney pernah menjadi CEO-nya—memenangkan kontrak miliaran dolar untuk melakukan rekonstruksi Irak yang dihancurkan AS.

Tidak hanya itu, ada dugaan Pakta Keamanan Washington-Baghdad ini juga mengandung kesepakatan rahasia. Suatu bocoran berita surat kabar Inggris, The Independent, menunjukkan bahwa: Amerika akan mempertahankan penggunaan lebih dari 50 pangkalan militernya di Irak dalam jangka panjang; tentara Amerika dan para kontraktornya akan menikmati kekebalan diplomatik dari hukum di Irak; Amerika akan bisa mengontrol wilayah udara Irak di bawah 29.000 kaki dan mempertahankan hak untuk melakukan ‘perang melawan teror’ di dalam negeri Irak, dengan memiliki otoritas untuk menahan siapapun yang diinginkannya dan untuk melancarkan kampanye militernya tanpa perlu melakukan konsultasi dengan Pemerintah Baghdad.

Taji Mustafa, perwakilan media Hizbut Tahrir Inggris, mengatakan, “Usaha pemerintahan Bush untuk memaksakan kesepakatan ini sebelum berakhir masa berlakunya adalah kolonialisme yang memalukan untuk bisa terus mempertahankan pijakan militernya di wilayah itu sehingga dapat terus dilakukan Barat. Ini menunjukkan kemiripan akan kesepakatan yang ditandatangani rezim kaki tangan di Irak pada masa kolonial di Irak tahun 1930 dengan Pemerintah Inggris. Kesepakatan ini, bersama dengan pangkalan Amerika yang ada sekarang di Kuwait dan Qatar, menunjukkan bahwa hanya sedikit yang berubah sejak pangkalan militer Amerika di Arab Saudi dibongkar. Barat harus menyadari bahwa mereka tidak dapat terus melakukan usaha untuk menghalang-halangi Dunia Islam untuk memilih ketentuan politiknya, terus memperlakukan wilayah itu seperti stasiun bahan bakar miliknya sendiri, dan kemudian bersaing satu sama lain untuk mengkontrol bagian besar dari minyak di wilayah itu.”

Kesepakatan rahasia lain yang penting adalah tidak ada batas berapa lama tentara AS berada di Irak. Yang jelas, masa depan Irak sepertinya semakin suram. Negara itu sudah kehilangan segalanya. Tidak memiliki kedaulatan, negaranya dihancurkan dan minyaknya dirampas. Namun, yang perlu diingat, sejarah Irak adalah sejarah perlawanan terhadap penjajah. Rakyat Irak tentu saja tidak diam terhadap penjajahan ini.


Kekalahan AS?

AS dan koalisinya pasti menghadapi perlawanan besar ini. Sekarang saja, jumlah pasukan AS yang tewas hampir mencapai 4000 orang. Tentara penjajah juga banyak yang mengalami depresi berat. Mereka juga semakin ragu, untuk apa mereka berperang di Irak. Pasukan AS kehilangan orientasi dan motivasi perang. Di sisi lain mereka melihat yang lebih diuntungkan dari perang ini adalah perusahan minyak yang kaya raya.

Institut Nasional Kesehatan Mental di AS, seperti yang dikutip AFP, Selasa (6/5/2008), mengatakan sekitar 18-20 persen atau 300 ribu pasukan menunjukan gejala post-traumatic stress dissorder (PSTD) dan depresi. Penelitian Rand Corporation tahun 2008 juga menunjukkan sekitar 300 ribu tentara Amerika Serikat (AS) yang kembali dari Irak dan Afganistan menderita gejala kelainan stres pasca-traumatik atau depresi, dan setengah dari mereka tidak mendapat perawatan.

Tahun 2007 saja dilaporkan 108 tentara AS tewas bunuh diri. Surat kabar terbitan AS New York Times menurunkan sebuah laporan yang secara mengejutkan menyebutkan, bahwa sebanyak 3.196 pasukan AS desersi sepanjang tahun 2006 dari tugas di Irak dan Afganistan. Jumlah ini meningkat drastis dari tahun sebelumnya.

Walhasil, kaum Muslim di seluruh dunia harus bersatu untuk menyambut seruan bagi Negara Khilafah yang membentang di seluruh Dunia Islam untuk menggantikan hegemoni pada saat ini. Sistem Islam inilah yang akan membebaskan Dunia Islam dari pendudukan asing. Polling menunjukkan adanya dukungan yang meningkat bagi perubahan semacam ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*