Pengantar
Peristiwa 911 telah mengubah segalanya. Al-Qaida, yang sempat disanjung media AS sebagai pejuang kebebasan (freedom fighter) dan rekanan CIA, dituding sebagai dalang 911 dan menjadi simbol musuh baru dalam perang milik generasi 90-an sebagai Perang Melawan Teror (War Against Terror). Benarkah bahwa perang ini sebenarnya adalah perang melawan Islam?
Di sinilah buku “Islamic Reformation’ menjadi menarik untuk membuka wawasan. Buku setebal 70 halaman ini ditulis oleh Adnan Khan, aktifis Hizbut Tahrir Inggris, yang berusaha membongkar taktik yang kini berlangsung dalam era baru pergumulan ideologi kehidupan. Secara umum, buku yang aslinya berbahasa Inggris ini menarik untuk dibaca karena ditulis oleh seseorang yang tinggal di Barat sehingga bisa menunjukkan jatidiri Barat yang sesungguhnya. Buku ini juga membekali pembaca yang aktif dalam dakwah dengan argumentasi untuk mematahkan serangan musuh Islam secara intelektual.
Buku ini dibuka dengan pernyataan di media massa setelah 911 dengan mengutip pernyataan PM Italia Silvio Berlusconi dan laporan RAND Corporation, bahwa Barat sedang berperang ide dalam menghadapi Islam. Buku ini memang berusaha untuk menunjukkan dan membuktikan dari berbagai sumber, bahwa meskipun perang secara fisik terjadi di Irak dan Afganistan, perang untuk meraih simpati umat Islam di luar dua teater pertempuran tersebut justru sedang berlangsung dengan perencanaan, pendanaan dan pelaksanaan yang tidak kalah sengit. Target bidikan perang ini adalah Islam. Caranya adalah dengan mereformasi ajaran Islam itu sendiri.
Tujuan Reformasi Islam
Adnan mengatakan bahwa dalam sejarah Islam, reformasi Islam (islah) tidak pernah terdengar (h. 4). Sebabnya, tujuan ‘Reformasi Islam’ adalah tindakan secara sengaja untuk menyesuaikan ajaran-ajaran Islam dengan nilai-nilai modernitas (h. 16) sehingga bisa mentoleransi sekularisme, hak asasi manusia, persamaan, dan kebebasan (h. 24). Mungkin sempat terlintas di benak pembaca, bukankah Islam juga mengenal istilah ‘mujadid’ (pembaru?). Namun pertanyaannya, apakah mujadid yang dikenal dalam Islam identik dengan tokoh reformasi dalam makna modern?
Kalaupun terjadi suatu ‘reformasi’ sepanjang sejarah Islam, itu diarahkan untuk memperbaiki atau memurnikan kualitas pemahaman dan/atau perbaikan kepribadian seorang Muslim supaya bisa sesuai dengan standard ajaran Islam, bukan untuk mengubah ajaran Islam itu sendiri. Memang, umat Islam sempat terlibat dalam polemik dan fitnah yang cukup panjang akibat infiltrasi pemikiran logika Yunani dalam menyikapi isu seperti takdir dan free will, yang akhirnya melahirkan aliran-aliran seperti Muktazilah dan Ahlus Sunnah. Namun, pada masa itu posisi umat Islam berada dalam posisi adidaya, sedangkan pemikiran Yunani sendiri saat itu sama sekali tidak didukung suatu kekuatan apapun. Jadi, infiltrasi pemikiran asing saat ini yang jelas bertujuan untuk mereformasi Islam dan didukung oleh suatu kekuatan adidaya yang dipimpin AS perlu diperhitungkan secara serius.
Pelaksana Reformasi Islam
Perombakan atau reformasi Islam ini dilakukan oleh dua aktor: internal dan eksternal. Untuk aktor internal ini, dukungan terhadap reformasi Islam dilakukan oleh sebagian anggota umat Islam sendiri sejak Abad 19 hingga sekarang. Hal ini dimulai akibat melemahnya pamor kekuatan politik umat semasa penghujung Kekhilafahan Ottoman Turki dan kemajuan teknologi bangsa Barat. Ini terlihat dari tulisan kalangan cendekiawan Muslim seperti Rifa’a Rafi’ at-Tahtawi yang mengunjungi kota besar Barat masa itu dan berharap bahwa masyarakat Islam juga bisa seperti itu (h. 5).
Tokoh Muslim yang mendukung reformasi Islam hingga meruntuhkan institusi politik umat (Khilafah) adalah Muhammad Abduh, Rashid Ridha, Ali Abd ar-Raziq (h. 5). Adapun tokoh Muslim kontemporer pendukung pengkajian ulang Islam secara internal di antaranya adalah Prof. Amina Wadud (yang menjadi imam shalat wanita di New York), Ali Gomaa (Mufti Utama Mesir), dan Prof. Tariq Ramadan (kebetulan adalah cucu Hassan al-Banna).
Dalam Bab “Perebutan Simpati Pikiran dan Perasaan” Adnan menunjukkan program AS untuk menaikkan simpati umat Islam karena pamor AS yang sedang jatuh sejak dimulainya perang melawan teror. Program tersebut di antaranya adalah ‘Muslim Outreach Program’ (h.10), pemberian dana kepada tidak kurang 30 ormas Muslim di seluruh dunia oleh Kementerian Negara melalui program USAID (h. 11), membuat rekonsiliasi damai dengan tokoh Ikhwanul Muslimin (h. 11), mendanai sekte Islam yang moderat seperti aliran Sufi di Turki (h.12), dan di Indonesia mendukung ormas LKis di pesantren yang mengfokuskan pada kerja sosial dengan tidak menunjukkan keislaman secara terus terang. (h. 12). Khusus untuk umat Islam di Barat, tersedia dana untuk Euro Islam Project yang bertujuan untuk mempromosikan Islam Eropa yang memiliki karakter Islam namun juga terbuka dengan masyarakat Eropa lainnya (h. 12).
Faktor eskternal yang menekan terjadinya proses ini adalah pejabat tinggi negara (Jack Straw, Donald Rumsfeld, George Bush), editor surat kabar Jylland Posten (Flemming Rose), Perwira Militer NATO (Willie Claes). penulis (Salman Rushdie, Melanie Phillips), dan juga politisi (Hirschi Ali). Bahkan Daniel Pipes, direktur Middle East Forum menyebutkan reformasi Islam sebagai ‘Religion Building’ (h. 11).
Adnan lalu mendaftar beberapa argumen yang mendukung adanya reformasi, yaitu: Pertama, Islam memang pernah berubah sesuai dengan waktu dan tempat sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Imam Syafii. Kedua, metodologi Islam tidak mampu menyelesaikan masalah kontemporer dunia. Ketiga, tujuan syariah adalah terciptanya kemaslahatan umum. Keempat, konsep Darul Islam dan darul kufur adalah produk ijtihad masa lalu yang tidak lagi relevan pada masa sekarang. Kelima, ijtihad adalah metodologi Islam yang mampu membuat Islam relevan, dan adanya perbedaan pendapat adalah ruang untuk membuat penafsiran liberal (h19-20).
Untuk merespon argumen di atas, Adnan fokus membongkar fondasi pemikiran pro-reformasi dalam bab-bab selanjutnya, yang menjadi kekuatan buku ini.
Kiat Menghadapi Argumentasi Reformasi Islam
Pertama: Adnan menfokuskan pada kekeliruan untuk mengambil nilai universalisme Barat sebagai standar acuan. Ia mengingatkan bahwa Islam adalah sistem ideologi yang berbeda dari idealisme Barat. Ketika Muslim berusaha membela Islam, ia tidak boleh mencari kesesuaian dengan tren modernisme.
Adnan merasa perlu untuk menitikberatkan bahwa hanya karena suatu argumen atau nilai tidak sesuai dengan standar universalisme yang diklaim oleh Barat, tidak berarti bahwa argumen atau nilai tersebut adalah invalid. Tidak aneh jika argumen tentang syariah, Khilafah, jihad dan hudud (hukuman) dianggap bertentangan dengan nilai universalisme (Barat) karena tidak sesuai dengan semangat demokrasi, hak asasi manusia dan sebagainya (h. 23).
Kedua: dalam bab berikutnya Adnan membantah dimensi waktu dan tempat an sich membuat suatu nilai secara otomatis kadaluwarsa. Ia lalu mengulas bahwa di Barat sendiri banyak sekali aturan zaman sekarang yang juga mengacu pada aturan-aturan pada masa lalu (h. 28). Jadi, menganggap bahwa hukum atau peraturan yang merujuk pada al-Quran sudah tidak relevan hanya karena ia diturunkan pada masa lalu sehingga perlu direformasi adalah penyederhanaan masalah.
Adnan menunjukkan bahwa obyek dari hukum Islam adalah manusia dengan segala karakter dan kebutuhannya yang sebenarnya tidak pernah berubah dari zaman dulu hingga sekarang. Di sinilah bedanya Islam dengan Barat. Ketika Barat sibuk menilai apakah tindakan tertentu berlawanan atau mendukung dengan ‘kebebasan’, Islam justru menfokuskan pada hukum atas perbuatan itu sendiri, yaitu bagaimana tuntunan Islam dalam menyikapi suatu perbuatan (h. 31).
Adnan juga banyak mengupas dan memberikan contoh-contoh isu kontemporer yang menyentuh isu perdagangan, ekonomi, relasi antara pria dan wanita yang ternyata mampu diselesaikan oleh sumber hukum Islam. Menariknya, Adnan mampu memandu dan mengenalkan pembaca yang sama sekali tidak pernah membaca tentang kaidah fikih untuk mampu memahaminya dengan mudah. Dengan demikian, pembaca juga bisa belajar bahwa Islam memang berlaku sepanjang zaman dan dimana saja sebab ia datang disertai dengan metodologi yang tidak serampangan.
Karena itu, sangat perlu untuk waspada terhadap motivasi sesungguhnya di balik seruan untuk mereformasi Islam.
Ketiga: isu ijtihad yang sering dijadikan alasan kaum reformis didudukkan dengan porsi yang cukup oleh Adnan dalam bab berikutnya, yang mengupas ijtihad sebagai bukti bahwa Islam akan selalu relevan. Di sini Adnan hanya menekankan bahwa ijtihad bukan sekadar memberikan opini terhadap isu yang ‘tidak pernah terdengar semasa Nabi saw.’. Kata ijtihad memang sering diangkat sebagai bentuk ekspresi perlawanan terhadap taklid, yang sering berkonotasi negatif. Memang diakui, bahwa ketika ulama sudah tidak lagi berijtihad ia akan kehilangan tuntunan dalam hidup. Ini terjadi dalam masa kemunduran Kkhilafah Ottoman ketika alat-alat teknis seperti mesin cetak diharamkan, namun legislasi kenegaraan justru dimasuki konsep-konsep dari Eropa. Namun demikian, apa dan bagaimana metodologi melakukan ijtihad yang sah menurut Islam dijelaskan oleh Adnan secara cukup singkat (h. 45).
Keempat: Adnan tidak melupakan topik yang sering menjadi sasaran kaum reformis, yaitu isu tentang penafsiran, yang terurai dalam bab “Perbedaan Opini adalah Bukti Dinamisme Islam” (h. 47). Sebagai kelanjutan dari bab sebelumnya yang mengulas tentang realitas ijtihad, bab tentang perbedaan opini dikupas dengan mendudukkannya sebagai pancaran dari ideologi. Dengan itu, sangat dimungkinkan para mujtahid (seseorang yang memiliki kompetensi untuk melakukan ijtihad) melahirkan opini yang berbeda. Masalah yang terjadi sekarang adalah ketika hasil ijtihad seorang mujtahid ditimbang sebagai penafsiran moderat atau penafsiran radikal dengan merujuk pada standar ideologi sekularis-liberalisme Barat. Tidak aneh jika banyak di antara umat Islam yang akhirnya berusaha menafsirkan isu kontemporer dalam semangat liberalisme (seperti homoseksualitas, penanganan sumber daya alam, perdagangan) dengan mencari-cari atau memilintir ayat-ayat sehingga bisa mendukung opini yang sudah ditentukan sebelumnya.
Kembali Adnan mengingatkan bahwa metodologi ijtihad adalah ilmu yang sangat spesifik dan ketat. Ia juga memberikan contoh, meskipun terbatas, bagaimana interpretasi kaum reformis tidak mengindahkan kaidah-kaidah umum dalam ijtihad. Ulil Abshar Abdalla dalam pernyataannya dalam diskusi tentang Hukum Islam di Harvard University tahun 2004 malah mengatakan, bahwa ia tidak ingin terjebak dalam perdebatan fikih, karena ia justru ingin merombak usul fikih (suatu kumpulan metodologi atau kaidah dalam menggali fikih) itu sendiri.
Akhirnya, Adnan menutup bukunya dengan memberikan beberapa kesimpulan yang penting untuk ditekankan. Beberapa di antaranya adalah: Pertama, Kapitalisme Barat mengerahkan segala upaya untuk meredam Islam sebagaimana ia dulu meredam Komunisme. Pelabelan penafsiran radikalisme sebenarnya untuk memberikan konotasi negatif terhadap hasil penafsiran yang dianggap sebagai produk ‘masa lalu’ yang sudah tidak lagi relevan dengan modernitas. Isu tentang murtad, hak waris laki-laki dan wanita, keharaman riba, dan syura tidak boleh dijelaskan dengan mengacu pada jargon-jargon sekularisme; seperti kebebasan beragama, persamaan jender, asas manfaat dan demokrasi. Dengan demikian, niat yang baik untuk membela Islam harus disertai dengan penjelasan yang sesuai dengan metodologi dari ideologi Islam itu sendiri meski harus bertentangan dengan tren liberalis-sekularisme.
Kedua, bagi Barat, terjadinya terorisme adalah hanya puncak dari gunung es saja yang baru terlihat. Adanya penafsiran radikal yang dianggap memicu terjadinya tindak kekerasan akan hilang dengan sendirinya ketika Islam mulai direformasi. Karena itu, metodologi penafsirannya perlu dirombak total dengan menginkorporasi konsep atau nilai-nilai universalisme Barat.
Catatan
Memang, setelah membaca buku ini, ada dua hal yang perlu dicatat. Pertama: buku ini akan lebih baik lagi jika mengupas secara lebih detil kekeliruan berpikir kaum intelektual Muslim lain yang mendukung reformasi Islam, selain Tariq Ramadhan. Di samping itu, figur seperti Irshad Manji dan Hirschi Ali sebenarnya tidak layak untuk dikutip sebagai contoh aktor pendukung reformasi Islam secara internal, karena kata-kata mereka hanya sebatas slogan kosong saja. Di Amerika sendiri sebenarnya ada lembaga CSID (Center for the Study of Islam and Democracy) yang tokoh-tokohnya adalah umat Islam yang lebih layak untuk diwaspadai pemikirannya ketimbang tokoh politik seperti Manji atau Ali. Di sini juga sempat terbersit, masih adakah tokoh-tokoh intelektual Muslim kontemporer yang menolak gelombang reformasi Islam ini?
Kedua, dalam memahami kerusakan ideologi Barat dan ancaman infiltrasi konsep asing ke dalam ajaran Islam, seorang Muslim harus memiliki pemikiran yang cemerlang. Tidak sedikit putra-putri umat Islam yang diundang atau bertandang ke Barat, dan kembali ke tanah Muslim sebagai duta besar yang tidak dibayar untuk mensosialisasikan pengalaman indah mereka di sana. Tidak aneh jika kemudian AS mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk mengundang generasi muda Muslim berjalan-jalan di kota-kota besar dan mengunjungi Islamic Center di sana untuk memberikan, ilusi bahwa Barat tidak berperang melawan Islam, hanya melawan ‘oknum’ Muslim saja. Ironisnya lagi, mereka yang belum pernah ke Barat justru mengelu-elukannya.
Kalau saja Islam benar-benar dipahami secara ideologis, umat Islam akan mudah melihat bahwa upaya untuk menundukkan pikiran dan perasaan mereka sudah di depan mata. [Ahmad Rusydan]