Sesat atau kesesatan bahasa Arabnya adalah dhalâl atau dhalâlah. Ia merupakan mashdar (gerund) dari dhalla–yadhillu–dhalâl[an] wa dhalâlat[an]; maknanya di antaranya: ghâba wa khâfa (tersembunyi), dzahaba (pergi/lenyap), dhâ’a (sia-sia), halaka (rusak), nasiya (lupa), al-hayrah (bingung), dan khatha’a (keliru).1
Abu Amru seperti dikutip al-Azhari dan Ibn Manzhur, Abu Manshur yang dikutip Ibn Manzhur, dan Ibn al-‘Arabi yang dikutip al-Qurthubi, menyatakan bahwa asal dari dhalâl adalah al-ghaybûbah (tersembunyi/gaib).2 Menurut al-Alusi dan Abu Hilal al-‘Askari, asal dari dhalâl adalah al-halâk (rusak).3 Kemudian al-Baghawi menggabungkan keduanya bahwa asal dari dhalâl adalah al-halâk wa al-ghaybûbah (rusak dan tersembunyi).4
Kata dhalla dan bentukannya banyak sekali terdapat di dalam al-Quran dan hadis. Al-Quran menyatakan kata dhalla dan bentukannya minimal sebanyak 191 kali di 105 ayat. Di antaranya juga menggunakan makna bahasa di atas (Lihat, misalnya: QS Thaha [20]: 52; QS asy-Syuara’ [26]: 20; QS al-Baqarah [2]: 282; QS ar-Ra’d [13]: 14; QS al-An’am [6]: 94; QS al-Qamar [54]: 47).
Dhalâl juga berarti dhiddu al-hudâ wa ar-rasyâd (lawan dari petunjuk dan bimbingan). Ibn al-Kamal dan al-Jurjani menyatakan bahwa dhalâl adalah ketiadaan sesuatu yang mengantarkan pada apa yang dituntut; atau jalan yang tidak mengantarkan kepada yang dicari/tujuan.5 Al-Qurthubi mengatakan bahwa dhalâl hakikatnya adalah pergi meninggalkan kebenaran, diambil dari tersesatnya jalan, yaitu menyimpang dari jalan yang seharusnya. Ibn ‘Arafah berkata, “Adh-Dhalâl, menurut orang Arab, adalah berjalan di jalan yang bukan jalan yang dimaksud (bukan jalan yang mengantarkan pada maksud dan tujuan).”6
Abu Ja’far, seperti dinukil oleh ath-Thabari, mengatakan, “Jadi, setiap orang yang menyimpang dari jalan yang dimaksudkan, dan menempuh selain jalan yang lurus, menurut orang Arab, ia sesat, karena ketersesatannya dari arah jalan yang seharusnya.”7
Walhasil, dhalâl secara tradisi tidak lain adalah penyimpangan dari jalan yang bisa mengantarkan pada tujuan yang diinginkan, atau penyimpangan dari jalan yang seharusnya.
Secara syar’i, jalan yang dimaksud tentu saja jalan kebenaran (tharîq al-haqq) atau jalan yang lurus (tharîq al-mustaqim), yang tidak lain adalah Islam itu sendiri. Prof. Rawas Qal’ah Ji menjelaskan bahwa adh-dhalâl adalah tidak tertunjuki pada kebenaran (‘adam al-ihtidâ’ ilâ al-haqq).8 Menurut ar-Raghib al-Asfahani, adh-dhalâl adalah penyimpangan dari jalan yang lurus (al-‘udûl ‘an ath-tharîq al-mustaqîm). Al-Qurthubi, ketika menafsirkan surat al-A’raf ayat 60, menyatakan bahwa adh-dhalâl adalah penyimpangan dari jalan kebenaran dan pergi darinya (al-‘udûl ‘an tharîq al-haqq wa adz-dzihâb ‘anhu).
Adh-Dhalâl bisa terjadi dalam masalah akidah maupun hukum syariah. Murtadha az-Zabidi di dalam Tâj al-’Urûs (1/7250) menyatakan, “Adh-Dhalâl (dilihat) dari sisi lain ada dua bentuk: dhalâl pada al-’ulûm an-nazhariyyah seperti dhalâl dalam ma’rifah akan wahdaniyah Allah, kenabian, dsb yang ditunjukkan dalam QS an-Nisa’ [4]: 136; dan dhalâl dalam al-’ulûm al-’amaliyyah seperti ma’rifah tentang hukum-hukum syariah, yang merupakan ibadah.”9
Al-Quran menjelaskan orang-orang yang sesat, yaitu orang-orang yang menyekutukan Allah (QS an-Nisa’ [4]: 116); orang kafir (QS an-Nisa’ [4]: 136); orang murtad alias menjadi kafir setelah beriman (QS Ali Imran [3]: 90); orang yang membunuh anak-anak mereka karena kebodohan lagi tidak mengetahui, dan mereka mengharamkan apa yang Allah telah berikan kepada mereka semata-mata demi mendustakan Allah (QS al-An’am [6]:140); berputus asa dari rahmat Tuhannya (QS al-Hijr [15]: 56); orang yang telah dikuasai oleh kejahatannya (QS al-Mu’minun [23]:106); mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, yaitu memilih yang lain dalam suatu perkara, padahal Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu keputusan dalam perkara tersebut (QS al-Ahzab [33]: 36); orang kafir, yaitu orang yang lebih menyukai kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat serta menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan Allah itu bengkok (QS Ibrahim [14]: 2-3). Termasuk bagian dari kesesatan (adh-dhalâlah) adalah perilaku berhukum kepada thaghut (QS an-Nisa’ [4]: 60) serta mengambil musuh Allah dan musuh kaum Muslim sebagai wali, karena rasa kasih sayang (QS Mumtahanah [60]: 28), dan sebagainya.
Berdasarkan semua itu, secara syar’i, adh-dhalâl bisa didefinisikan sebagai penyimpangan dari Islam dan kufur terhadap Islam (inhirâf ’an al-islâm wa kufr bihi). Dengan demikian, semua bentuk penyimpangan dari Islam merupakan bagian dari kesesatan. Akan tetapi, tidak semua bentuk penyimpangan dari Islam itu menjadikan pelakunya bisa divonis sesat. Al-Quran sendiri menjelaskan bahwa perbuatan berhukum pada hukum thaghut (hukum selain dari yang diturunkan oleh Allah) merupakan perbuatan kufur. Namun, tidak semua pelakunya divonis kafir, tetapi ada juga yang dinilai fasik atau zalim.
Penyimpangan dari Islam itu bisa berupa kesalahan, yaitu kekeliruan pemahanan dan praktik yang terkait dengan perkara syariah yang konsekuensinya adalah maksiat. Namun, penyimpangan bisa juga dalam bentuk kesalahan pemahaman yang terkait dengan perkara akidah atau syariah, tetapi diyakini kebenarannya, yaitu yang merupakan perkara qath’i atau bagian dari perkara yang ma’lûm min ad-dîn bi adh-dharûrah, yang konsekuensinya adalah kekufuran. Hal yang sama berlaku juga dalam hal pengingkaran.
Dengan demikian, penyimpangan dan pengingkaran yang berkonsekuensi penganut atau pelakunya bisa dinilai sesat adalah penyimpangan atau pengingkaran dalam perkara ushul, bukan dalam perkara furu’. Perkara ushul adalah perkara yang berkaitan dengan akidah.
Dalam hal ini Majelis Ulama Indonesia telah memberikan kriteria suatu paham atau aliran bisa dinilai sesat, yaitu apabila memenuhi salah satu dari kriteria berikut10:
1. Mengingkari salah satu dari rukun iman yang 6 (enam) yakni beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, Hari Akhirat, Qadha dan Qadar; serta rukun Islam yang 5 (lima), yakni: mengucapkan dua kalimah syahadat, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, menunaikan ibadah haji.
2. Meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan dalil syariah (al-Quran dan as-Sunah)
3. Meyakini turunnya wahyu setelah al-Quran.
4. Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi al-Quran
5. Melakukan penafsiran al-Quran yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir.
6. Mengingkari kedudukan hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam
7. Menghina, melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul.
8. Mengingkari Nabi Muhammad saw. sebagai nabi dan rasul terakhir.
9. Mengubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syariah, seperti haji tidak ke Baitullah, shalat fardhu tidak 5 waktu.
10. Mengkafirkan sesama Muslim tanpa dalil syar’i, seperti mengkafirkan Muslim hanya karena bukan kelompoknya.
Kriteria-kriteria ini bukan hal baru. Para ulama sejak dulu telah membahasnya. Meski demikian, siapapun tidak boleh gampang mengatakan orang lain sesat. Penilaian sesat itu serupa dengan penilaian kafir. Abu Hurairah dan Ibn Umar menuturkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ لأَخِيهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ
Siapa saja yang berkata kepada saudaranya (yang Muslim), “Hai kafir,” maka sungguh tuduhan itu berlaku kepada salah seorang dari keduanya, jika memang tuduhan itu benar; jika tidak, tuduhan itu kembali ke pihak penuduh. (HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Justifikasi sesat itu harus dilakukan melalui proses pembuktian (bayyinah). Jika sudah terbukti sesat dengan bukti-bukti yang meyakinkan, maka harus dikatakan sesat, seperti Ahmadiyah. Kemudian penganutnya didakwahi agar bertobat dan kembali pada yang haq, yaitu Islam. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]
Catatan kaki:
1 Lihat, Ash-Shahib Ibn al-‘Ibad, al-Muhîth fî al-Lughah, bag. dhalla; Ibn Darid, Jumhurah al-Lughah, bag. dha-la-la; Al-Jawhari, ash-shihâh fî all-Lughah, bag. dhalala; Al-Fayruz Abadi, al-Qâmûs al-Muhîth, bag. adh-dhalâl; Zainuddin ar-Razi, Mukhtâr ash-Shihâh, bag. dhalala;; Abu al-Abbas al-Fayyumi, Mishbâh al-Munîr fî Gharîb Syarh al-Kabîr, bag. dhalala; Al-Jurjani, at-Ta’rifat, 1/44, bag adh-dhalâlah
2 Lihat, Al-Azhari, Tahdzîb al-Lughah, bag. dhalla; Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab, bag. dhalala;; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, tafsir QS. Thâhâ: 52.
3 Lihat, Abu Hilal al-‘Askari, al-Furûq al-Lughawiyah, 1/392; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, tafsir QS. al-Fâtihah: 7.
4 Lihat, al-Baghawi, Tafsîr al-Baghawi, tafsir QS. al-Fatihah: 7.
5 Lihat, Murtadha az-Zabidi, Tâj al-‘Urûs, 1/7250, bagian adh-dhalâl wa adh-dhalâlah; Al-Jurjani, at-Ta’rifât, bag. adh-dhalâlah.
6 Lihat, al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, tafsir QS. Yûnus: 52.
7 Lihat, ath-Thabâri, Jâmi’ al-Bayân, tafsir QS. al-Fâtihah: 7 dan QS. al-Baqarah: 108.
8 Lihat, Rawas Qal’ah Ji, Mu’jam Lughah al-Fuqaha’, 1/284,
9 Lihat, Murtadha az-Zabidi, Tâj al-‘Urûs, 1/7250, bagian adh-dhalâl wa adh-dhalâlah.
10 Lihat, http://www.mui.or.id/mui_in/hikmah.php?id=53&pg=3