HTI

Liputan Khusus (Al Waie)

Ahmadiyah Keras Kepala

Lihatlah, dari sini kita bisa melihat bahwa akar masalahnya adalah pada sikap keras kepala Ahmadiyah!” Begitulah kira-kira ungkapan Jubir HTI, HM Ismail Yusanto, saat tampil dalam acara “Todays Dialogue” MetroTV 17 Juni lalu menanggapi penjelasan berbelit-belit wakil Ahmadiyah Zafrulah Pontoh yang turut hadir dalam diskusi itu.

Ketika diminta Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Komaruddin Hidayat, yang malam itu juga menjadi salah satu pembicara, untuk ruju’ ilâ al-haq (kembali ke jalan Islam yang benar) dengan meninggalkan ajaran yang salah, tokoh Ahmadiyah yang malam itu duduk di deretan peserta berkata, ini hanya soal perbedaan tafsir. Namun, saat diminta agar Ahmadiyah membuat perahu (maksudnya agama) sendiri, dengan nada tidak serius dia berkata, bahwa Ahmadiyah itulah perahu mereka. “Jadi maunya apa?” sergah Jubir selanjutnya.

Begitu juga ketika Mutia Hafidz, pembawa acara malam itu, menanyakan apakah betul Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi, lagi-lagi Zafrulah Pontoh menjawab berbelit-belit. Gemas melihat sikap Pontoh yang tidak tegas, Jubir HTI dengan cepat memotong, “Bagi Muslim biasa, tidak sulit menjawab bahwa Muhammad adalah nabi dan Mirza bukan. Tapi, lihatlah, untuk pertanyaan yang sederhana ini, jawabannya mblibat-mlibet tidak jelas!”

Selain Komaruddin Hidayat dan Jubir HTI, tampil sebagai pembicara “Todays Dialogue” yang malam itu mengambil topik soal SKB Ahmadiyah adalah Ketua MUI KH Ma’ruf Amin dan Ketua Balitbang Departemen Agama, Atho’ Mudzhar.

Usai acara, salah seorang pemirsa melalui hp nomor +628129431xxx mengirim sms begini, “Wah, angel kuwi (wah sulit itu). Lha, ngeyel je. Agama ora iso kanggo eyel-eyelan. Suruh bikin perahu sendiri ora gelem (tidak mau). Ciloko kuwi (celaka itu)! Penjelasan Mas Yusanto sangat bagus. Singkat, padat, jelas! Dgn dia muter2 utk tegaskan, nabinya itu nabi atau bukan, bukti ini agama kanggo dolanan. Trims. Bravo.”


Sejarah Keras Kepala

Sejarah Ahmadiyah memang sejarah keras kepala. Sikap keras kepala itu berpangkal pada keyakinan utama mereka bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi. Siapa pun yang tidak mengimani kenabian Ghulam Ahmad dicap sebagai sesat, kafir, atau belum beriman. Itu bisa dilihat dalam berbagai literatur yang diterbitkan Ahmadiyah. Pada 1989 Yayasan Wisma Damai, sebuah penerbit buku Ahmadiyah, menerjemahkan buku berjudul Da’watul Amir: Surat Kepada Kebenaran, karya Hazrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad.

Dalam buku itu ditegaskan, ‘’Kami dengan bersungguh-sungguh mengatakan bahwa orang tidak dapat menjumpai Allah Ta’ala di luar Ahmadiyah.” (hlm 377).

Menurut Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad yang oleh kaum Ahmadiyah juga diberi gelar ra. (radhiyallahu ‘anhu), setingkat para nabi, bukti-bukti kenabian Mirza Ghulam Ahmad lebih kuat daripada dalil-dalil kenabian semua nabi selain Nabi Muhammad saw. Kata dia, ‘’Apabila iman bukan semata-mata karena mengikuti dengaran dari tuturan ibu-bapak, melainkan hasil penyelidikan dan pengamatan, niscaya kita mengambil salah satu dari kedua hal, yaitu mengingkari semua nabi atau menerima pengakuan Hadhrat Masih Mau’ud as.’’ (hlm. 372).

Jadi, oleh kaum Ahmadiyah, umat Islam diultimatum: mengimani Ghulam Ahmad atau mengingkari semua nabi. Umat Islam diultimatum lagi oleh pemimpin Ahmadiyah ini. ‘’Jadi, sesudah Masih Mau’ud turun, orang yang tidak beriman kepada beliau akan berada di luar pengayoman Allah Ta’ala. Barangsiapa yang menjadi penghalang di jalan Masih Mau’ud as, ia sebenarnya musuh Islam dan ia tidak menginginkan adanya Islam.’’ (hlm. 374).

Itu tidak aneh sebab Mirza Ghulam Ahmad mengaku pernah mendapat wahyu seperti ini: Anta imâmun mubârakun, la’natullahi ‘alalladzii kafara (Kamu Mirza Ghulam Ahmad adalah imam yang diberkahi dan laknat Allah atas orang yang ingkar [Tadzkirah, hlm. 749]).

Ada lagi wahyu versi dia: ‘Anta minni bimanzilati waladi, anta minni bimanzilatin lâ ya’lamuha al-khalqu. (Kamu bagiku berkedudukan seperti anak-Ku, dan kamu bagiku berada dalam kedudukan yang tidak diketahui semua makhluk [Tadzkirah, hlm. 236]).

Itulah Ahmadiyah yang katanya bersemboyan: Love for all. Hatred for None

Dari sini kita bisa menduga, 12 poin pernyataan yang disampaikan oleh Amir Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia (PB JAI), Abdul Basit, pada rapat Bakorpakem Januari 2008 lalu, yang di antaranya menegaskan bahwa Mirza Ghulam Ahmad hanyalah mursyid atau guru dan Tadzkirah hanyalah catatan pengalaman ruhani Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad, hanyalah siasat belaka.

Fakta di lapangan menunjukkan hal itu. Menurut Kepala Badan Litbang dan Diklat Depag, Atho Mudzhar, yang juga Ketua Tim Pemantau, selama tiga bulan Bakorpakem memantau 55 komunitas Ahmadiyah di 33 kabupaten, bertemu 277 warga Ahmadiyah, ternyata Ahmadiyah tetap masih menyimpang. Di seluruh cabang Ahmadiyah, Mirza Ghulam Ahmad (MGA) tetap diakui sebagai nabi setelah Nabi Muhammad dan Tadzkirah tetap dianggap sebagai kitab suci, meski disebut merupakan penafsiran MGA terhadap Alquran sesuai perkembangan zaman.

Namun, dasar keras kepala, mereka tetap saja bergeming. Disuruh ruju’ ilal haq tidak mau; diminta membuat agama sendiri menolak; diberi peringatan melalui SKB malah protes. Seperti biasa, mereka terus membuat dalih.


Ujung-ujungnya Duit

Mengapa begitu? Penjelasan Kabaintelkam Mabes Polri Irjen Polisi Saleh Saaf kiranya bisa menjawab. Dalam kapasitasnya sebagai anggota tim pemantau ia menemukan fakta yg sangat menarik. Di level yang paling bawah, ternyata banyak anggota jemaat yang merasa tetap sebagai orang Islam. Mereka merasa tidak ada yang aneh dari ajaran Ahmadiyah. Jadi rupanya, para tokoh atau pengurus Ahmadiyah tidak menyampaikan ajaran sebenarnya kepada semua orang. Tujuannya, supaya mereka bisa merekrut sebanyak-banyaknya sehingga mereka bisa mengklaim bahwa pengikut Jemaat Ahmadiyah di Indonesia jumlahnya cukup besar. Bagi pengurus, jumlah pengikut tampaknya menjadi suatu yang sangat penting. Mengapa? Karena rupanya dari sanalah akan ditentukan seberapa besar bantuan dana yang bakal diterima dari kantor pusatnya di London.

Di Indonesia mereka sebut jumlahnya mencapai 500 ribu orang. Atho Mudzhar menghitung angka sebenarnya tidak sampai segitu. Paling banyak 18 ribu saja karena faktanya anggota Jemaat Ahmadiyah memang hanya di sejumlah daerah yang selama ini dikenal sebagai kantong-kantong Ahmadiyah seperti di Manis Lor Kuningan, Mataram NTB, Sukabumi, Parung, Jakarta dan sejumlah daerah yang berserak di tanah air.

Wallahu’alam bi ash-shawab [Kantor Jubir HTI-Jakarta]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*