Liberalisasi menjadi jalan bagi penguasaan seluruh kekayaan alam Indonesia sekaligus menghadang Islam politik tampil memimpin negeri ini.
Ada seorang perempuan Muslimah taat di Jakarta. Pakaiannya berupa gamis panjang sampai mata kaki dan longgar (jilbab). Kerudungnya pun panjang ke bawah dan lebar. Ibadahnya rajin. Siapa yang bertemu dia pada saat itu tentu akan mencitrakan dirinya sebagai seorang muslimah yang taat.
Namun, siapa sangka dalam beberapa waktu kemudian dia berubah 360 derajat. Awalnya dia mengubah gaya berpakaiannya menjadi modis. Mengenakan pakaian jeans dan baju ketat. Kerudungnya pun tak lagi panjang dan lebar. Lama-kelamaan ditanggalkan kerudungnya. Bajunya pun mulai memperlihatkan bagian-bagian tertentu tubuhnya. Siapapun yang melihat, pasti mencitrakannya bukan lagi sebagai Muslimah yang taat.
Perubahan itu terjadi begitu dia masuk ke sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) HAM di Jakarta. Perempuan itu didoktrin dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM) ala Barat yang mengagungkan kebebasan dan membebaskan manusia dari aturan Sang Pencipta. Sedikit demi sedikit pemahaman Islamnya luntur digantikan pemikiran sekular. Seperti aktivis-aktivis HAM lainnya, kini dia menjadi pejuang HAM yang mendewakan Barat dengan segala kebebasannya.
Kisah perempuan itu hanya satu contoh kecil dari proses serangan pemikiran yang diarahkan kepada kaum Muslim. Liberalisasi di segala bidang berlangsung secara massif melalui banyak jalur; melalui pendidikan di sekolah formal, media massa, dan ceramah-ceramah oleh kalangan aktivis sekular-liberal di berbagai tempat.
Liberalisasi Politik
Liberalisasi politik berlangsung massif sejak reformasi bergulir tahun 1998. Pemilihan umum yang biasanya hanya diikuti oleh tiga kontestan Pemilu sejak tahun 1971 berubah. Orang dengan mudah membuat partai politik. Partai politik yang dulu eksis di era Orde Baru pun pecah. Partai-partai politik baru tumbuh bak jamur di musim hujan. Mereka menikmati euforia reformasi. Pemilu pertama di era reformasi tahun 1999 diikuti oleh 48 partai politik. Pujian demi pujian pun datang dari Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.
Proses pemilu tersebut didahului dengan proses perubahan paket UU politik. Di sinilah proses liberalisasi politik berlangsung. Barat mengawal proses ini dengan serius. Menteri Luar Negeri Australia, Alexander Downer, mengutarakan agenda tersebut dalam pernyataannya di depan World Economic Forum, di Davos, Swiss tahun 1999, “Hal ini (Pemilu mendatang), secara fundamental, merupakan suatu rentang waktu yang sangat penting bagi Indonesia. Pemilu mendatang di Indonesia harus sukses. Pemilu itu selayaknya menjadi ‘katup pengaman’ untuk meredakan gejolak dan tekanan dalam negeri. Tetapi, bila Pemilu yang dipercaya gagal diselenggarakan, maka potensi ketidakstabilan akan bertambah besar dan integritas negara akan dipertanyakan.”
Di dalam negeri berdiri LSM Cetro (Centre for Electoral Reform) atau Pusat Reformasi Pemilu yang memperoleh dana dari asing melalui berbagai lembaga donor asing yang beroperasi di Indonesia seperti USAID dan UNDP.
Hasil Pemilu ini kemudian melahirkan perombakan politik secara besar-besaran. Ini ditandai dengan amandemen Undang Undang Dasar 1945. Akhirnya, Indonesia berubah secara fundamental menjadi sangat liberal dalam semua sektor.
Secara politik, Indonesia yang semula menganut sistem kesatuan, pelan-pelan mempraktikkan sistem yang mirip federasi. Otonomi daerah dibuka. Kepala daerah menjadi raja-raja kecil di daerahnya. Hubungan dengan kekuasaan di pusat seolah menjadi hanya sekadar hubungan administratif. Akibatnya, birokrasi pemerintahan tidak berjalan harmonis.
Pemilu yang diikuti oleh banyak partai politik tak mampu melahirkan kestabilan politik. Para desainer pun beranggapan ini akibat presiden kurang mendapat legitimasi rakyat. Solusinya, presiden dan wakil presiden serta seluruh kepala daerah harus dipilih langsung oleh rakyat. Akhirnya, Pemilu tak cukup hanya memilih wakil rakyat, tetapi juga presiden dan wakil presiden serta para kepala daerah.
Namun, hingga 10 tahun berlangsungnya proses liberalisasi politik ini, rakyat belum menggapai impiannya, yakni pemerintah yang mampu mensejahterakan mereka. Presiden selama reformasi ternyata hanya sekadar ganti orang, sementara wakil-wakil rakyat justru banyak yang berkhianat. Semua memikirkan diri dan kelompoknya demi kelanggengan kursi dan kekuasaannya. Akibatnya, kepercayaan rakyat terhadap penguasa dan wakil rakyat kian hari kian menurun.
Liberalisasi Ekonomi
Yang paling menonjol dari perubahan tersebut adalah liberalisasi ekonomi. UUD 1945 yang baru membuka kran seluas-luasnya bagi masuknya investor asing. Tak mengherankan jika kemudian lahir UU Migas, UU Kelistrikan, UU Sumber Daya Air, dan UU Penanaman Modal sebagai turunan dari UUD 1945 hasil amandemen. Asing boleh menguasai sektor-sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Liberalisasi ekonomi ini merupakan wujud atas kesepakatan Pemerintah—waktu itu Soeharto—dengan IMF (International Monetary Fund) guna menangani krisis ekonomi Indonesia sejak 1997. Resep IMF itu adalah: penghentian subsidi harga, pemotongan pengeluaran Pemerintah, dan dibukanya berbagai penghalang bagi investor asing.
Dampak liberalisasi ekonomi yang paling terasa bagi rakyat adalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Berdasarkan UU Migas No 22 Tahun 2001, harga BBM disesuaikan dengan harga pasar BBM dunia. Pertamina tak bisa lagi menjadi pemain tunggal di sektor hilir. Walhasil, pelan-pelan Pemerintah mencabut subsidi BBM. Tahun 2005, Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono menaikkan harga BBM hingga 125 persen. Tahun ini Pemerintah menaikkan lagi hingga sekitar 30 persen. Rencananya kenaikan itu akan terus dilakukan hingga harga BBM dalam negeri sama dengan harga BBM internasional. Bahkan Bappenas telah menyusun rencana untuk menaikkan harga BBM ini setiap bulan. Jika harga BBM sudah sesuai dengan harga pasar internasional, pemain asing akan ikut berjualan BBM. Ini sesuai dengan pernyataan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, “Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas…Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga BBM yang disubsidi Pemerintah. Sebab, kalau harga BBM masih rendah karena disubsidi, pemain asing enggan masuk.” (Kompas, 14 Mei 2003).
Jauh sebelum harga BBM sesuai pasar internasional, para pemain telah mengajukan izin untuk membuka stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU). Menurut Dirjen Migas Dept. ESDM, Iin Arifin Takhyan, terdapat 105 perusahaan yang sudah mendapat izin untuk bermain di sektor hilir migas, termasuk membuka stasiun pengisian BBM untuk umum (SPBU) (Trust, edisi 11/2004). Di antaranya adalah perusahaan migas raksasa seperti British Petrolium (Amerika-Inggris), Shell (Belanda), Petro China (RRC), Petronas (Malaysia), dan Chevron-Texaco (Amerika).
Masuknya perusahaan multinasional ke sektor hilir migas kian menambah cengkeraman asing di sektor ini. Sebelumnya mereka telah menguasai sektor hilir (eksplorasi dan penambangan). Hingga tahun 2008, berdasarkan data dari Serikat Pekerja Pertamina, perusahaan asing menguasai sekitar 90 persen migas Indonesia. Bahkan penguasa tambang emas terbesar di dunia di Timika, Papua, adalah Freeport Mcmoran (AS).
Di sektor lainnya, Pemerintah melalui UU Sumber Daya Air memberikan kesempatan kepada investor asing untuk masuk dalam penguasaan air di Indonesia. Privatisasi air ini ditandai dengan bercokolnya dua perusahaan asing di Ibukota Negara, yakni Thames (Inggris) dan Lyonase (Prancis). Beberapa perusahaan asing lainnya telah mengikat kerjasama dengan PDAM di daerah. Bahkan perusahaan air kemasan terbesar di Indonesia kini telah jatuh ke tangan Danone dari Prancis.
Perusahaan-perusahaan asing berhasil pula menguasai Indosat; perusahaan yang mengendalikan satelit dan seluruh jalur komunikasinya. Hutan-hutan Indonesia pun menjadi milik mereka, termasuk perkebunan kelapa sawit. Beberapa perusahaan semen milik Pemerintah juga berpindah kepemilikan kepada asing. Terakhir, asing mau mengincar Krakatau Steel, salah satu perusahaan strategis Indonesia dan pabrik baja terbesar. Proses liberalisasi ekonomi ini menjadi sangat mungkin dengan dikeluarkannya UU Penanaman Modal. UU itu tidak lagi membatasi siapa pun yang akan berbisnis di Indonesia, lokal maupun internasional. Malah, dengan UU itu, asing bisa mendapatkan hak guna usaha sepanjang 95 tahun! Padahal di zaman VOC saja HGU ini maksimal 75 tahun.
Liberalisasi Sosial
Tak cukup hanya bidang politik dan ekonomi, liberalisasi pun merambah di bidang sosial. Ini tampak dari penentangan terhadap Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi (APP). Lebih dari 7 tahun RUU itu tak berhasil disetujui dan disahkan menjadi UU. Kalangan liberal tidak menginginkan Indonesia lebih baik. Mereka berharap Indonesia bebas sehingga semua produk pornografi dan pornoaksi bisa masuk ke Indonesia dengan leluasa. Perlu diingat, produk ini merupakan salah satu barang/jasa yang paling besar keuntungannya di dunia. Bahkan survei yang dilakukan oleh kantor berita Associate Press (AP) menunjukkan, bahwa Indonesia berada di urutan kedua setelah Rusia yang menjadi surga bagi pornografi. (Republika, 17/7/03).
Beberapa waktu lalu, kalangan sekular menggugat UU Perfilman. Mereka menginginkan lembaga sensor dihapuskan karena dianggap mengebiri kreativitas insan perfilman. Para pembebek kebebasan itu menginginkan film Indonesia bisa seperti film di Amerika, tidak ada pembatasan. Selama ini mereka kesal karena adegan-adegan mesum di-cut oleh lembaga sensor film.
Belakangan muncul kampanye penggunaan kondom. Bahkan beberapa ATM kondom berdiri di mal di kota-kota besar. Beberapa kalangan menilai ini bukan sekadar kampanye penggunaan kondom semata, tetapi lebih dari itu, merupakan kampanye seks bebas di kalangan remaja.
Semua itu terjadi, menurut budayawan Taufik Ismail, karena Indonesia sedang dikepung apa yang disebutnya sebagai Gerakan Syahwat Merdeka (GSM). Gerakan ini menyebabkan hilangnya rasa malu orang Indonesia. Dia khawatir hilangnya rasa malu ini lambat laun meruntuhkan bangunan bangsa. “Gerakan Syahwat Merdeka ini tak bersosok organisasi resmi dan jelas tidak berdiri sendiri, tetapi bekerja sama bahu-membahu melalui jaringan mendunia, dengan kapital raksasa mendanainya. Ideologi gabungan yang melandasinya, dan banyak media massa cetak dan eletronik menjadi pengeras suaranya,” kata Taufiq.
Taufik menyebut paling tidak ada 13 pihak yang menjadi pendukung fanatik gerakan ini. Pertama, praktisi sehari-hari kehidupan pribadi dan kelompok seks bebas hetero dan homo, terang-terangan dan sembunyi-sembunyi. Kedua, para penerbit majalah dan tabloid mesum yang telah menikmati tiada perlunya SIUPP. Ketiga, produser, penulis skrip, dan pengiklan televisi. “Semua orang tahu betapa ekstentifnya pengaruh layar kaca. Setiap tayangan televisi rata-rata 170 juta pemirsa. Untuk situs porno kini tersedia 4,2 juta di dunia dan 100 ribu di internet Indonesia. Untuk mengaksesnya malah tanpa biaya, sama mudahnya dilakukan baik dari San Fransisco, maupun Klaten,” tegasnya.
Pendukung keempat adalah penulis, penerbit, dan propagandis buku-buku sastra dan bukan sastra. Di Malaysia, penulis yang mencabul-cabulkan karyanya adalah penulis pria. Di Indonesia sebaliknya. Penulis yang asyik menulis wilayah ’selangkangan dan sekitarnya’ mayoritas perempuan. Ini membuat para penulis di negeri jiran itu heran.
Kelima, penerbit dan pengedar komik cabul. Keenam, produsen VCD/DVD porno. Ketujuh, pabrikan alkohol. Kedelapan, produsen, pengedar, dan pengguna narkoba. Kesembilan, pabrikan, pengiklan, dan pengisap rokok. Hal ini dilatarbelakangi kenyataan dalam masyarakat permisif, interaksi antara seks, narkoba, dan nikotin akrab sekali; sukar dipisahkan.
Selanjutnya, komponen ke-10 adalah para pengiklan perempuan dan laki-laki panggilan. Ke-11, germo dan pelanggan prostitusi. Ke-12 adalah dukun dan dokter praktisi aborsi. “Bayangkan data menunjukan angka aborsi di Indonesia mencapai 2,2 juta setahun. Maknanya, setiap 15 detik seorang calon bayi di suatu tempat di negeri kita meninggal di suatu tempat akibat dari salah satu atau gabungan faktor-faktor di atas,” tandas Taufik.
Liberalisasi sosial ini bahkan melebihi negara pengusungnya, Amerika. Will Tuchrello, Direktur Perpustakaan Kongres AS Perwakilan Indonesia, kepada Taufik menyatakan di Amerika tidak ada tayangan seperti yang ada di televisi Indonesia saat ini. Tayangan berbau pornografi dan pornoaksi ditayangkan dini hari pukul 03.00. Di Indonesia tayangan ini malah mendapatkan tempat di prime time/jam tayang utama (pukul 19.00-21.00). Tak mengherankan jika generasi muda rusak karenanya.
Liberalisasi Agama
Satu hal lagi yang kini digencarkan kaum liberal, yakni liberalisasi agama, khususnya Islam. Berbagai upaya dilakukan agar Islam bisa menerima penafsiran baru yang datang dari luar Islam. Mereka menggiring Islam ke arah ‘Islam moderat’, yakni Islam yang lebih pro-Barat dan tercerabut dari akar pemahaman Islam yang sebenarnya.
Munculnya Ahmadiyah merupakan salah satu jalan untuk menggerogoti pemahaman Islam. Dengan berbagai cara, kaum liberal mendukung keberadaan aliran sesat ini, termasuk aliran sesat lainnya seperti Salamullah (Lia Eden), Bahai, dan Al-Qiyadah (Mosadeq). Ini adalah proyek besar. Jika Ahmadiyah diakui sebagai bagian dari Islam, maka ini menjadi pintu masuk untuk merusak bagian-bagian Islam lainnya.
Proyek liberalisasi agama ini muncul dari cendekiawan yang telah dididik Amerika dan Barat. Pemahaman menyimpang itu masuk melalui beberapa perguruan tinggi Islam dan program beasiswa terhadap anak bangsa yang belajar ke Amerika dan Barat. Aktivitas mereka didukung sepenuhnya oleh media massa.
Akhirnya, ujung dari proyek liberalisasi di segala bidang ini tidak lepas dari upaya penjajahan Barat di negeri-negeri Muslim. Mereka menciptakan situasi yang kondusif agar mereka bisa dengan leluasa mengeruk sumberdaya alam Indonesia tanpa ada hambatan. Selain itu, Amerika dan Barat berusaha mencegah Islam politik tampil ke permukaan sebagaimana jatidiri Islam yang sebenarnya. Dokumen Rand Corporation makin memperjelas tujuan itu. Pengamat intelijen Wawan Purwanto, menegaskan, Barat tak ingin Islam terwujud di Indonesia secara kaffah, karena kalau itu terjadi, kekuatannya bisa powerfull. Inilah yang sangat ditakuti Barat. [Mujiyanto]