مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
Siapa saja yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya ia mengatakan yang baik atau diam (HR Ashhabut Tis’ah dan lainnya)
Hadis ini diriwayatkan dari empat orang Sahabat: Abu Hurairah, Aisyah, Abu Syuraih dan Anas bin Malik. Hadis ini dalam mayoritas riwayatnya merupakan bagian dari hadis panjang yang memerintahkan untuk memuliakan tetangga, tidak menyakiti tetangga, memuliakan tamu dan berbicara hanya yang baik; jika tidak, hendaknya diam.
Hadis dari Abu Hurairah diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai, Ibn Hibban dan Abdurrazaq. Hadis dari Aisyah diriwayatkan oleh Ahmad. Hadis dari Anas diriwayatkan oleh Ibn Abi Dunya, Abu asy-Syaikh dan lainnya. Hadis dari Abu Syuraih diriwayatkan oleh Imam Malik, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibn Majah, an-Nasai, at-Tirmidzi, Ahmad, ad-Darimi, Ibn Hibban, Ibn Abi Syaibah, al-Humaidi dan Abad bin Humaid.
Makna
“Man kâna yu’minu biLlâh wa al-yawm al-âkhir”, lafal iman maksudnya adalah kesempurnaan iman, bukan masalah eksistensi, yaitu bukan masalah iman dan tidak iman. Jadi, maknanya adalah siapa saja yang beriman dengan keimanan yang sempurna.
Al-Hafizh di dalam Fath al-Bârî mengatakan, “Penyebutan Allah dan Hari Akhir secara khusus merupakan isyarat pada yang permulaan dan tempat kembali yang dijanjikan. Maknanya, siapa yang beriman kepada Allah yang telah menciptakannya dan beriman bahwa ia akan diberi balasan atas semua perbuatannya, maka hendaknya ia melakukan poin-poin yang disebutkan kemudian.”
Di antara aktivitas yang dituntut yang menjadi bukti kesempurnaan iman seseorang itu adalah fal yaqul khayran aw liyashmut (hendaknya ia berkata yang baik atau hendaknya dia diam). Kata khayr meliputi segala apa yang diridhai Allah. Kata yashmut maknanya dijelaskan dalam riwayat lain, yaitu yaskut (diam). Namun, al-Munawi di dalam Faydh al-Qadîr menjelaskan bahwa kata ash-shamtu maknanya lebih khusus dari as-sukût. Shamtu adalah diam meski mampu berbicara. Dengan demikian, bisa dipahami bahwa diam di sini merupakan hasil dari penataan perkataan, meski mampu mengatakannya; tentu diam itu karena untuk menghindari dosa dan sanksi dari Allah.
Ibn Hajar al-’Ashqalani menjelaskan bahwa hadis ini meliputi seluruh perkataan. Termasuk yang baik adalah semua perkataan yang dituntut, baik yang fardhu maupun mandub. Rasul mengizinkan berbicara pada perkataan yang baik ini dengan berbagai macamnya, termasuk apa yang bisa mengantarkan kepadanya. Selain yang demikian adalah termasuk perkataan yang buruk atau yang mengantarkan pada yang buruk itu. Ketika ada keinginan untuk mengatakan yang buruk, Rasul memerintahkan untuk diam.
Imam an-Nawawi di dalam Syarh Shahîh Muslim, menjelaskan, “Maknanya, bahwa jika ia ingin berbicara, jika apa yang ingin ia bicarakan adalah baik, mendapatkan pahala, baik yang wajib atau mandub, maka hendaknya ia berbicara. Sebaliknya, jika tidak tampak bahwa itu baik dan mendapatkan pahala, hendaknya ia diam tidak berbicara, baik tampak bahwa itu adalah haram, makruh atau mubah yang memuat (kemungkinan) kedua sisi (baik dan buruk). Atas dasar ini, meninggalkan perkataan mubah itu adalah diperintahkan dan sunnah untuk menahan diri darinya karena khawatir terjerumus pada yang haram atau makruh. Inilah yang biasanya terjadi pada banyak orang.
Imam asy-Syafii berkata, “Jika seseorang ingin berbicara, hendaknya ia berpikir lebih dulu. Jika tampak baginya tidak ada dharar yang bisa menimpanya, ia berbicara. Jika tampak di dalamnya terdapat dharar atau ia ragu tentangnya, hendaknya ia menahan diri.”
Al-Mubarakfuri di dalam Tuhfah al-Ahwadzi menjelaskan, “Maknanya adalah jika seseorang ingin berbicara, hendaknya ia berpikir lebih dulu sebelum berbicara. Jika ia tahu bahwa pembicaraannya itu tidak mengakibatkan mafsadah, tidak menjerumuskan pada yang haram dan tidak makruh, hendaknya ia berbicara. Jika suatu yang mubah maka keselamatan ada pada diam agar ia tidak sampai terjerumus pada yang haram dan yang makruh.”
Jadi, hadis ini mengandung dua poin. Pertama: dorongan (perintah) untuk mengatakan yang baik, yaitu sesuatu yang diridhai Allah. Menurut al-Munawi, hadis ini memberi faedah bahwa perkataan yang baik itu lebih dikedepankan daripada diam karena perintah itu disebutkan lebih dulu, dan bahwa diam itu diperintahkan pada saat tidak berkata yang baik.
Kedua: perintah untuk diam, yaitu perintah untuk tidak mengatakan yang buruk, yang dibenci atau dimurkai oleh Allah. Kata “aw (atau)” tidak bermakna takhyîr (pilihan) untuk mengatakan atau tidak mengatakan yang baik. Di dalam al-Muntaqâ Syarh al-Muwatha’ dinyatakan, “Diam dari mengatakan yang baik, dzikrullah, amar makruf nahi mungkar tidak diperintahkan, malahan dilarang dengan larangan pengharaman atau makruh. Jadi, maknanya adalah hendaknya ia berkata yang baik atau diam dari berkata yang buruk atau yang mungkin buruk (atau menyebabkan yang buruk).”
Dengan demikian, setiap orang hendaknya berpikir dulu sebelum berbicara. Jika yang akan dia katakan diridhai Allah, menjelaskan kebenaran, mendorong orang untuk taat dan memperjuangkan syariah, amar makruf nahi mungkar, membela Islam dan kaum Muslim dan sebagainya maka yang seperti ini justru harus dikatakan dan tidak boleh diam.
Sebaliknya, jika yang akan dikatakan itu dibenci Allah; termasuk seruan kemaksiatan dan ketidaktaatan; memerintahkan yang mungkar dan melarang yang makruf; membela dan mendorong kekufuran dan kesesatan; membuat orang meragukan Islam, al-Quran dan as-Sunnah; tidak membela Islam dan kaum Muslim bahkan sebaliknya meremehkan, melecehkan dan menyerang Islam dan kaum Muslim; dan sebagainya; maka yang diperintahkan adalah diam. Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]