HTI

Ibrah (Al Waie)

Malu

Ibn Mas’ud menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, (yang artinya): Sesungguhnya di antara kalam nubuwwah (ungkapan kenabian) yang disampaikan kepada manusia adalah, “Jika kamu tidak punya rasa malu, berbuatlah sesukamu!” (HR al-Bukhari).

Ibn Hajar, terkait dengan syarah (komentar) atas hadis ini, menyatakan antara lain: Pertama, kalam nubuwwah bermakna apa saja yang disepakati para nabi, yakni yang biasa diperintahkan oleh mereka (kepada manusia, pen.), yang tidak dihapus bersamaan dengan dihapusnya syariah mereka, karena memang perintah tersebut dibebankan kepada setiap akal manusia (di mana pun dan pada zaman kapan pun, pen.). Kedua, berbuatlah sesukamu adalah kalimat perintah yang mengandung konotasi berita, yakni berupa ancaman. Kalimat tersebut antara lain bermakna: “Berbuatlah sesukamu karena pasti Allah akan membalasmu”. Makna lainnya, ia justru merupakan dorongan untuk memiliki rasa malu (Ibn Hajar, Fath al-Bari, XVII/303).

Rasa malu yang dimaksud tentu saja malu kepada Allah Swt. Malu kepada Allah inilah yang dikaitkan dengan keimanan, sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Malu itu sebagian dari iman (HR Abu Dawud).”

Beliau juga bersabda, “Setiap agama memiliki akhlak dan akhlak Islam adalah rasa malu (HR Malik).”

Rasa malu kepada Allah harus dibuktikan dengan meninggalkan berbagai macam keburukan dan kekejian serta melakukan berbagai macam kebaikan dan kebajikan. Menurut Imam al-Baidhawi, hakikat malu kepada Allah adalah memelihara diri dari segala ucapan dan tindakan yang tidak Allah ridhai (Faydh al-Qadir, 1/623).

*****

Pembaca yang budiman, liberalisme (paham kebebasan) yang diusung sekaligus dipraktikkan masyarakat Barat saat ini, yang kemudian ditiru oleh sebagian masyarakat kita, pada dasarnya adalah paham yang ‘tak kenal rasa malu’. Boleh dikatakan, di tengah-tengah masyarakat yang semakin liberal saat ini, rasa malu tampaknya telah hilang pada sebagian orang.

Hilangnya rasa malu pada sebagian masyarakat tampak pada kebiasaan bahkan ‘kegemaran’ mereka bermaksiat kepada Allah, baik dalam pikiran (ide), ucapan (pendapat) maupun tindakan (perilaku).

Terkait pikiran dan pendapat, saat ini kalangan liberal tampaknya adalah kalangan yang paling tidak punya rasa malu. Sebabnya, mereka banyak melontarkan ide-ide rusak dan merusak dengan penuh kebanggaan dan bahkan kesombongan. Al-Quran tidak lagi mereka anggap kitab suci yang Allah wahyukan sehingga layak dikritisi. Makna ayat-ayatnya mereka takwilkan agar sesuai dengan ‘semangat zaman’. Hukum-hukumnya mereka putar-balikkan jika dianggap melanggar HAM dan kebebasan. Tafsir-tafsirnya yang mu’tabar mereka singkirkan karena dianggap sudah tidak lagi relevan. Para mufassirnya mereka rendahkan dengan tuduhan ‘bias gender’, dipengaruhi oleh lingkup sosial zamannya, dst.

Hadis Nabi, meski sahih bahkan mutawatir sekalipun, banyak mereka campakkan jika tidak sesuai dengan keinginan. Kredibilitas para perawinya mereka persoalkan.

Keadilan para Sahabat Nabi saw. yang Allah muliakan juga mereka nafikan. Karenanya, Ijma Sahabat pun mereka singkirkan. Para ulama salaf, seperti Imam Syafii, mereka rendahkan, bahkan ushul fikihnya mereka tuduh menghambat kemajuan.

Kita patut bertanya: sudah berapa ayat yang serupa al-Quran mereka ciptakan hingga mereka berani menuduh al-Quran bukan sebagai kitab suci sehingga layak dikritisi? Sudah berapa ratus hadis mereka hapal hingga mereka berani mengkritisi Imam al-Bukhari—yang hapal ratusan ribu hadis dan asal-usulnya—dan meragukan banyak hadis dalam kitab Shahih-nya? Sudah berapa buku yang mereka tulis hingga mereka berani merendahkan para ulama salaf, seperti Imam Syafii, peletak dasar ilmu ushul fikih yang menghasilkan puluhan karya yang mumpuni? Benar-benar tidak punya rasa malu!

Lalu terkait dengan tindakan (perilaku), banyak sekali orang yang mengaku Muslim—entah penguasa, pejabat, wakil rakyat, politisi, tokoh parpol, artis, dan sebagian kalangan masyarakat—berbuat seenak hawa nafsunya tanpa ada lagi rasa malu. Penguasa tak lagi malu menghamba kepada pihak asing dan menjadikan pihak asing sebagai tuannya. Sebaliknya, rakyatnya dia korbankan asal tuannya senang. Padahal rakyatlah yang mengangkat dia sebagai penguasa. Pejabat dan wakil rakyat tak lagi risih melakukan korupsi meski gaji mereka sudah besar sekali. Kepada rakyat mereka sudah lama tidak peduli. Padahal rakyatlah yang memilih mereka. Pada saat kampanye Pemilu/Pilkada, banyak tokoh parpol dan politisi sudah terbiasa mengobral janji, meski setiap berjanji selalu mereka ingkari. Para artis tak lagi peduli saat tampil dengan busana ‘mini’ karena ingin dianggap seksi dan demi mengejar materi.

*****

Jika dicermati, paham liberalisme memiliki andil besar dalam ‘melucuti’ rasa malu pada diri manusia. Yang paling kasatmata, lihatlah kehidupan masyarakat Barat yang sangat liberal. Apa yang mungkin tidak pernah terjadi dalam dunia binatang sekalipun, ternyata bisa terjadi dalam dunia manusia. Homoseksualitas dan lesbianisme, yang telah menjadi bagian budaya Barat, adalah salah satu contohnya. Bahkan di beberapa negara Eropa, perkawinan sesama jenis dilegalkan oleh undang-undang negara.

Di Indonesia, meski baru dalam level pemikiran, pengakuan terhadap ‘keabsahan’ perilaku homoseks dan lesbian mulai dimunculkan; bukan hanya oleh kalangan pembela HAM, tetapi bahkan oleh Musdah Mulia, seorang guru besar dari perguruan tinggi Islam terkemuka.

Demikianlah, jika hawa nafsu sudah ‘digugu’ (baca: dituruti), akal-pikiran tak lagi digunakan, Islam tak lagi dijadikan pedoman, sementara kebebasan diagung-agungkan dan budaya Barat dijadikan rujukan, maka rasa malu pun tergadaikan. Jika sudah begitu, kehancuran hanya tinggal menunggu waktu. Wal ‘iyadzu billah! [Arief B. Iskandar]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*