“Kolonialisme lama hanya merampas tanah, sedangkan kolonialisasi baru merampas seluruh kehidupan.” (Vandana Shiva)
Berbeda dengan kolonialisme Eropa sebelum Perang Dunia I yang hanya merampas tanah dan bahan baku industri, kolonialisme gaya baru yang dipromotori para kapitalis neoliberal merampas seluruh kehidupan umat manusia.
Di Indonesia liberalisasi masuk ke seluruh aspek kehidupan melalui pintu-pintu sistem politik dan pemerintahan, perundang-undangan, pendidikan serta media massa.
Politik dan Pemerintahan
Demokratisasi di Indonesia bermula dari melemahnya legitimasi rejim otoriter yang berkuasa mulai awal 1990-an (Orde Baru). Perkembangan di sektor ekonomi, yaitu kegagalan mengatasi krisis ekonomi tahun 1997, menjadi puncak dari perlemahan legitimasi tersebut.
Bersamaan itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF) mempopulerkan konsep ‘good governance’ (GG) sebagai dasar kriteria negara-negara “yang baik” dan “berhasil dalam pembangunan”. Konsep GG menjadi semacam kriteria untuk memperoleh bantuan optimal (baca: hibah, utang). Konsep good governance sebenarnya masih samar.
Bank Dunia mendefinisikan GG sebagai: the way state power is used in managing economic and social resources for development of society (kekuatan negara digunakan untuk mengelola sumberdaya ekonomi dan sosial untuk pembangunan masyarakat).
World Bank menambahkan karakteristik normatif good governance, yaitu: “Pelayanan publik yang efisen, sistem hukum independen bebas intervensi kekuasaan, kerangka kerja legal untuk mendorong kontrak (perlindungan hak milik pribadi), administrasi akuntabel dari pembiayaan publik (transparasi), auditor publik yang independen, bertanggungjawab kepada lembaga perwakilan legislatif, respek terhadap hukum dan hak asasi manusia pada semua level pemerintahan (pencegahan diskriminasi terhadap kaum minoritas), struktur institusi yang pluralistik, dan kebebasan pers (hak kebebasan berbicara).”
Istilah-istilah kenegaraan ini sering dipakai untuk membungkus substansi dan maksud tersembunyi di dalamnya. Negara-negara seluruh dunia lalu mengadopsi konsep Good Governance ini. Harapannya, dengan pelaksanaan konsep GG ini, pemerintah, badan usaha dan lembaga nirlaba dikelola dengan profesional-komersil layaknya perusahaan.
Dari standar inilah, Indonesia melakukan reformasi dan penataan ulang struktur pemerintahan, kebijakan publik, sistem politik (desentralisasi atau otonomi daerah) serta partai politik (multi partai). Otonomi daerah (otda) adalah salah satu strategi untuk mengokohkan hegemoni sistem sekular-kapitalisme melalui upaya demokratisasi. Demokratisasi menerobos tak terbendung hingga ke pelosok-pelosok daerah. Pemerintah daerah dengan mudah menjalin kerjasama internasional dengan asing untuk mengangkut sumberdaya alam secara legal, tanpa perlu izin pemerintah pusat.
Tentu ini atas arahan IMF dan World Bank untuk mendapatkan bantuan optimal (utang baru). Walhasil atas saran kedua lembaga internasional tersebut, Indonesia juga menerapkan Washington Consensus yang berisi ’resep’ kebijakan liberalisasi semua sektor publik.
Salah satu contoh perubahan struktur pemerintahan Indonesia, Majelis Perwakilan Rakyat (MPR) tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara. Kedudukan MPR sejajar dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Struktur ini mirip dengan struktur pemerintah Amerika Serikat.
Demi akuntabilitas publik, Pemerintah membentuk lembaga audit publik independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi pengaduan seperti Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Pemilihan Umum dan sebagainya yang fungsinya mengkontrol pelanggaran hak azasi manusia. Komisi-komisi tersebut kadang memiliki fungsi semi legislatif, regulatif, semi yudikatif. Seluruh struktur baru ini malah membatasi peran Pemerintah hanya sebagai regulator atau wasit saja.
Perundang-undangan
Saat ini Indonesia telah menerapkan sebanyak 19 perundang-undangan bernuansa kapitalistik neoliberal. Perundangan-undangan tersebut di antaranya: Undang -Undang Badan Usaha Milik Negara (Nomor 19 tahun 2003), Undang-Undang Penanaman Modal Asing (Nomor 25 tahun 2007), Undang-Undang Minyak dan gas (Nomor 22 Tahun 2001), Undang-Undang Sumber Daya Air (Nomor 7 tahun 2004), Undang-Undang Perikanan (Nomor 31 tahun 2003), Undang-Undang Pelayaran (Nomor 17 tahun 2008), Undang-Undang Tenaga Kerja (Nomor 13 tahun 2003), Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Nomor 20 tahun 2003), Undang-Undang Sistem Budidaya Tanaman (Nomor 12 Tahun 1992), Undang-Undang Perlindungan Varietas Tanaman (Nomor 29 Tahun 2000), Undang-Undang Hutan Lindung menjadi Pertambangan (Nomor 19 Tahun 2004), Undang-Undang Kelistrikan (Nomor 20 tahun 2002), Undang-Undang Perkebunan (Nomor 18 tahun 2003), Undang-undang Pemerintah Daerah (Nomor 32 tahun 2004), dan Undang-Undang tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang ( Nomor 17 tahun 2007).
Ini belum termasuk undang-undang terkait liberalisasi di bidang sosial, kesehatan, keluarga, perkawinan, kewarganegaraan yang meruntuhkan institusi keluarga dan sosial masyarakat Indonesia. Beberapa rancangan undang-undang lain yang bernuansa liberalisasi saat ini sedang digodok Dewan Perwakilan Rakyat.
Melalui perundang-undangan, perampasan kekayaan alam dan intelektual rakyat Indonesia bersifat legal, tak kentara. Setiap undang-undang tersebut, bila dianalisis, akan menimbulkan kehancuran dahsyat bagi perekonomian nasional dan lingkungan; di samping meningkatkan jumlah kemiskinan struktural, pengangguran, keegoisan, kebodohan, kematian, kelaparan dan chaos. Djuyoto Suntani, President The World Peace Committe bahkan memprediksikan tahun 2015 Indonesia bakal terpecah menjadi 17 negara. Bukan tidak mungkin jika ini dibiarkan saja.
Pendidikan
Sejarahwan Australia, Mc Rieckleafs, mengatakan bahwa asas, kurikulum dan metode pendidikan di sekolah serta perguruan-perguruan tinggi Indonesia adalah warisan Belanda melalui Politik Etis. Kurikulum ini meletakkan tsaqafah Islam terpisah dengan kehidupan.
Pasca kemerdekaan tahun 1945, Eropa, Rusia, Cina dan Amerika memberikan beasiswa sekolah keluar negeri bagi putra-putri terbaik Indonesia. Kalangan intelektual ini belajar ilmu sosial, pendidikan, politik, sejarah, teologi, ekonomi dan psikologi. Semua pengetahuan ini mengandung tsaqafah asing.
Ketika kembali ke negeri asal, mereka menjadi arsitek sistem ekonomi, politik, sosial, seni dan budaya negeri ini sesuai arahan penjajah. Mereka juga menjadi tempat rujukan berbagai masalah pemerintahan.
Khusus kalangan intelektual yang mendalami ilmu sains, diarahkan berpikir apolitis, sempit dan kurang peka terhadap persoalan umat. Para kapitalis sering memanfaatkan kecerdasan dan keahlian kalangan intelektual ini untuk melayani kepentingan mereka melalui kerjasama penelitian dan multidisiplin ilmu.
Pemerintah menargetkan pada tahun 2020 sekolah dan peguruan tinggi berstatus Badan Hukum Pendidikan (UU No 23 tahun 2000). Ini menunjukkan adanya kepentingan neoliberal di bidang pendidikan. Aliansi Global Education For All yang diprakarsai UNESCO, pada tahun 2000 menelurkan Komitmen Dakkar. Komitmen ini berisi di antaranya perubahan kurikulum berbasis kompetensi, penetapan standarisasi pengajar, kelulusan, kualitas sekolah dan perluasan otonomi manajemen sekolah. Pendidikan Indonesia bukan lagi bertujuan mencetak generasi pemimpin di masa depan, namun penyedia tenaga kerja terampil yang berdaya saing internasional bagi para kapitalis. Selain itu, pendidikan akhirnya menciptakan generasi split personality, kehilangan identitas kemuslimannya, tidak mandiri dan bermental lemah sehingga mudah dijajah.
Media Massa
Sejak ditetapkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, kebebasan pers Indonesia terbuka lebar. Dalam perjalannya media massa dalam negeri cenderung lebih beroreintasi meraup keuntungan materi. Tayangan media massa televisi akhir-akhir ini makin mempercepat proses kerusakan pola pikir umat Islam dengan menyuguhkan program-program sarat nilai-nilai kekerasan, hedonistik, pornografi dan budaya liberalisme. Media massa menyiarkan berita yang kurang berimbang (cover both side) dan sering menyudutkan aktivis Islam pro syariah.
Standar jurnalisme Indonesia berkiblat pada pakar etika jurnalistik seperti Bill Kovach, yang mengedepankan prinsip-prinsip nilai kebenaran humanis, pluralisme, dan pemberitaan netral. Kadang kalangan media massa tidak menyadari dampak buruk pemberitaan yang disiarkan.
Beberapa Upaya
Mengutip laporan utama majalah terkemuka di Kanada, The Maclean, berjudul, “Why The Future Belongs to Islam” (Mengapa Masa Depan Milik Islam), sesungguhnya demikianlah fakta-fakta di sekitar kita berbicara. Ketakutan luar biasa melanda pemerintah Amerika dan dunia Eropa. Berulang-ulang pejabat teras Amerika, didukung media massa asuhannya, menyebarkan propaganda hitam untuk membendung kebangkitan Islam.
Lihatlah apa yang dikatakan Presiden AS dalam Diskusi Perang Global Melawan Terror, 5 September 2006 di Hotel Hilton Washington, D.C: “These al-Qaeda terrorists and those who share their ideology are violent Sunni extremists. They’re driven by a radical and perverted vision of Islam that rejects tolerance, crushes all dissent, and justifies the murder of innocent men, women and children in the pursuit of political power. They hope to establish a violent political utopia across the Middle East, which they call a “Caliphate”. This caliphate would be a totalitarian Islamic empire encompassing all current and former Muslim lands, stretching from Europe to North Africa, the Middle East, and Southeast Asia.”
Departemen Pertahanan Amerika pun sudah mempersiapkan senjata biologis untuk melenyapkan kaum Muslim yang menghalangi kepentingan mereka.
Peluang dan tantangan dakwah ini kiranya perlu segera ditindaklanjuti para aktivis dakwah untuk menyongsong kemenangan di depan mata.
1. Pencerdasan dan Perubahan Pemikiran.
Pencerdasan ini menggabungkan sentuhan pemikiran sekaligus perasaan dengan metode berpikir Islam cemerlang sehingga menimbulkan pengaruh yang kuat. Kesadaran masyarakat yang telah tercerahkan oleh ideologi Islam akan mendorong mereka melakukan gerakan massa menuntut perubahan sistem secara revolusioner (inqilabi).
Pemikiran cemerlang yang mengkristal dalam jiwa pengemban dakwah merupakan satu-satunya senjata ampuh untuk mengubah masyarakat. Tanpa ini, kegagalan dakwah tinggal menunggu waktu.
2. Performa Pengemban Dakwah.
Sebelum mengubah pemikiran masyarakat, pengemban dakwah terlebih dulu harus meng-up grade dirinya agar memiliki pemikiran cemerlang. Pengemban dakwah harus menjadi garda terdepan pengamalan syariah Islam pada skala individu, masyarakat dan warga negara. Kepribadian dan akhlak pengemban dakwah menjadi contoh miniatur ideologi Islam yang ia dakwahkan.
Pengemban dakwah harus senantiasa menelaah fakta, mendiskusikan masalah umat dan berusaha memahami solusi setiap persoalan umat baik di tataran mikro, makro dan global; misalnya masalah kenaikan bahan bakar minyak. Pengemban dakwah harus bisa menyampaikan solusi mikro kepada individu berupa energi alternatif yang bisa dipilih perseorangan atau masyarakat tertentu. Pada tataran makro pengemban dakwah harus mampu secara brilian menguraikan fakta-fakta kebijakan liberalisasi migas nasional serta bagaimana syariah Islam menjawab krisis energi dalam negeri.
Pada tataran global, pengemban dakwah cerdas menjelaskan makar dan latar belakang para kapitalis neoliberal mempermainkan harga minyak dunia. Permasalahan global dijawab dengan solusi global. Pengemban dakwah harus mampu menjelaskan kebijakan luar negeri Khilafah menjawab krisis energi dunia.
Ketika menghadapi sasaran dakwah hendaknya pengemban dakwah menghindari penggunaan label atau sterotipe—misalnya orang liberal, kapitalis, sipilis, ahli neraka, kafir dan sebagainya—sebelum benar-benar mengenal obyek dakwah. Patut disadari pula oleh para pengemban dakwah, bahwa kita hidup dalam lingkungan sistem kapitalis liberal yang sudah mapan. Sasaran dakwah malah menganggap ideologi Islam sebagai pemahaman asing yang merusak pemikiran mereka. Perlu kesabaran, keteguhan, keikhlasan dan cara-cara simpatik untuk mengambil hati dan pikiran obyek dakwah.
Di samping itu, para pengemban dakwah hendaknya menghindari hal-hal yang mengarah pada bahaya kelas, merasa lebih tinggi, unggul dibandingkan dengan umat. Bahaya kelas ini menimbulkan jarak lebar antara umat dan pengemban dakwah; selain memunculkan sikap ujub, takabur dan sulit menerima kebenaran pada pengemban dakwah. Hendaknya pengemban dakwah bersikap seperti individu-individu umat kebanyakan. Pengemban dakwah menyadari bahwa mereka adalah pelayan umat, dan tugas mereka dalam partai untuk melayani umat.
3. Memetakan Sasaran Dakwah.
Dalam meraih kepemimpinan umat, kita memerlukan pendekatan sesuai dengan sasaran dakwah masing-masing. Pendekatan ini bukan berarti mengurangi subtansi, tujuan dan target dakwah. Berdasarkan karakter dan tingkat pengaruhnya, sasaran dakwah bisa dibagi menjadi beberapa kelompok, yakni: tokoh atau public figure masyarakat (ulama, pemimpin organisasi massa); kalangan intelektual (kampus, cendekiawan, aktivis lembaga swadaya masyarakat/LSM, pemikir dan perumus kebijakan negara); militer; kalangan media massa; dan masyarakat umumnya.
Pengemban dakwah perlu membekali diri dengan tsaqafah Islam, ketajaman menganalisis persoalan masalah dan nafsiyah Islam yang mumpuni. Selain itu, mereka perlu memahami teori, filosofi, landasan ilmiah dan konsep dasar pemikiran kufur. Disarankan untuk membaca dan menelaah referensi-referensi yang menjadi landasan berpikir kalangan kapitalis, liberalis dan sosialis; apalagi jika sasaran dakwah kita para intelektual yang menggunakan teori maupun landasan ilmiah. Dengan memahami konsepsi dasar maka kita mampu membongkar kebrobrokan sebuah pemikiran secara fundamental, lalu mendekonstruksinya dengan syariah Islam.
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []
Aris Solikhah: Pegiat Aliansi Penulis Pro Syariah (AlPen ProSa); anggota tim Kantor Berita Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia.