HTI

Iqtishadiyah

Revrisond Baswier: Waspadai Legalisasi Kolonialisme

Pengantar:

Kolonialisme di legalisasi di negeri ini? Tentu aneh. Namun, itulah faktanya saat ini, sebagaimana diungkap ekonom Revrisond Baswier, dalam wawancara dengan Redaksi berikut ini.

Saat ini sebetulnya Indonesia menggunakan sistem ekonomi apa?

Harus dilihat dari dua hal: secara konstitusional dan operasional. Jika mengamati dari konstitusinya serta pasal-pasalnya, sistem ekonomi Indonesia masih sangat pro rakyat, karena perekonomian negara disebutkan dalam rangka mewujudkan kemakmuran rakyat, bukan orang-perorang. Namun, secara operasional kita menyaksikan kesenjangan yang besar antara amanat konstitusi dan kenyataan di lapangan yang dapat dikatakan sangat liberal, baik di sektor moneter, fiskal maupun sektor real. Indikasi liberal di sektor fiskal adalah adanya upaya sistematik untuk terus-menerus menghapus subsidi secara terprogram. Hal ini dapat terlihat dari data empirik bahwa volume subsidi dari waktu ke waktu terus dikurangi dari APBN. Dalam draft Rencana Bangunan Jangka Menengah (RBJM) periode 2004-2009, volume subsidi terhadap produk domestik bruto diproyeksikan dari 6,7% menjadi 0,3%. Jadi, ini memang sudah direncanakan. Masih di sektor fiskal, terjadi pula privatisasi BUMN yang akan berkaitan pula dengan penghapusan subsidi. Konsekuensi privatisasi tidak hanya terjadi pemindahan kepemilikan sektor publik, tetapi terhadap kekuasaan setiap perusahaan secara lepas dalam penetapan harga BUMN yang sebelumnya masih terdapat keterlibatan negara. Privatisasi bahkan terjadi di sektor strategis seperti Pertamina dan PLN yang masih mencoba bertahan. Namun, toh upaya liberalisasi tetap berjalan terus.

Di sektor moneter lebih mudah dipetakan, misal penetapan kurs mata uang dengan menggunakan sistem kurs tetap, setelah krismon tahun 1998, berubah menjadi sistem kurs mengambang bebas. Selain itu, para pemilik modal memiliki keleluasaan untuk secara bebas membawa masuk atau keluar uang dari Indonesia tanpa ada pengendalian terhadap valuta asing yang disebut sistem devisa bebas. Liberalisasi sektor moneter masuk pula dalam ranah kelembagaan, bahwa pemodal asing di Indonesia memiliki kekuasaan tidak terbatas untuk memiliki bank. Padahal di beberapa negara lain ada yang masih membatasi, misalnya maksimal mencapai 49%.

Di sektor real, Indonesia membuka pasar impor sangat terbuka pada semua produk, mulai pakaian bekas, gula, beras, buah sampai sampah karbon. Di sektor ini, liberalisasi terindikasi dari upaya terus-menerus dalam menekan upah, bahkan upaya menghapus penetapan upah minimum sehingga liberalisasi menyerang pula perdagangan jasa manusia.

Dengan demikian, secara operasional sistem ekonomi Indonesia sangat liberal di semua sektor. Amanat kontitusi pasal 33 ayat 1 dan 2 sudah tidak sesuai lagi.

Apakah mungkin bagi kita untuk mengupayakan yudisial religius dengan kondisi operasional yang sudah rusak?

Sebenarnya apa yang tercantum dalam konstitusi bukan sesuatu yang serta-merta merupakan kenyataan. Sebab, kondisi ekonomi tersebut sudah ada sebelum konstitusi terbentuk. Kita harus memahami dulu apakah sebelum konstitusi perekonomian Indonesia sudah berwarna liberal atau belum. Proses liberalisasi sebetulnya sudah terjadi sejak masa kolonial, misalnya sistem kepemilikan tanah secara privat dan sistem kerja upahan diperkenalkan oleh Belanda. Artinya, sebelum Proklamasi perekonomian Indonesia sudah liberal. Amanat konstitusi yang muncul kemudian bertujuan untuk membela rakyat dan mengoreksi ekonomi liberal warisan kolonial ini.

Namun, menghapuskan pengaruh warisan ekonomi liberal tersebut tampaknya lebih sulit daripada mewujudkan proklamasi kemerdekaan. Buktinya, dalam dokumen KMB tertulis jelas, bahwa Indonesia harus mengindahkan aturan IMF yang merupakan jebakan untuk mempertahankan penjajahan pada tahun 1949. Pembangkangan secara total baru dilakukan oleh Soekarno pada era Demokrasi Terpimpin tahun 1956 dengan langkah nasionalisasi—yang sebetulnya sesuai dengan pasal 33—terhadap perusahaan-perusahaan asing. Klimaksnya adalah munculnya UU Penanaman Modal Asing pada tahun 1965, yang memutuskan bahwa Indonesia tidak memerlukan kehadiran modal asing.

Setiap aksi penolakan terhadap konspirasi asing pasti mengundang reaksi dari mereka (asing). Buktinya, kesuksesan Proklamasi Indonesia direspon dengan reaksi Agresi Militer I dan II; tuntutan kedaulatan melalui KMB mendapat reaksi dalam bentuk keharusan mengindahkan IMF dan melunasi utang asing. Begitu pula dengan aksi Soekarno menolak ekonomi liberal, asing bereaksi dalam bentuk penggulingan Soekarno sebagai presiden melalui sebuah drama rekayasa yang seolah-olah sebagai dampak konflik internal TNI.

Pasca penggulingan Soekarno, muncul Soeharto dengan serombongan agen yang siap mengembalikan kepentingan asing, mereka adalah “Mafia Berkeley”. Lebih mengejutkan lagi jika kita mengetahui bahwa ternyata proses upaya mempertahankan restruktur ekonomi liberal kolonial sudah masuk sejak tahun 1966-1967 melalui undang-undang yang terbit pada tahun tersebut.

Sebelumnya, perlu diketahui bahwa tekanan asing pada bangsa Indonesia untuk membayar sejumlah utang luar negeri ternyata tidak hanya dalam KMB, tetapi diratifikasi melalui UU tahun 1951. Kemudian ketika Soekarno mulai melakukan pembangkangan dengan membatalkan kesepakatan KMB secara sepihak tahun 1956, menjelang kejatuhannya pada tahun 1965, Soekarno dipaksa kembali menandatangani UU yang menyetujui untuk melanjutkan kembali pembayaran utang asing.

Kemudian, ketika terjadi kerusuhan tahun 1964-1965, Soekarno sudah memutuskan untuk keluar dari keanggotaan IMF dan World Bank. Tindakan tersebut disahkan melalui terbitnya UU no.1 pada tanggal 14 Februari tahun 1966, dengan pengertian bahwa persiapannya sejak tahun 1965 sebelum Peristiwa 30 September 1965. Namun, terdapat UU no. 9 tahun 1966 tertandatangani oleh Soekarno yang menandai masuknya kembali Indonesia sebagai anggota IMF dan World Bank. Tentu draft persiapan dari UU no. 9 tersebut sudah ada dan dipersiapkan oleh agen-agen asing dalam pemerintahan sejak tahun 1965, bahkan sangat mungkin sudah ada sebelum Peristiwa 30 September.

Sebelum Soekarno jatuh, ia menandatangani UU No. 1 tahun 1967 yang mengundang kembali utang asing dan UU No. 2 tahun 1967. Baru UU no. 3 tahun 1967 yang ditandatangani Soeharto yang sangat lekat dengan esensi penjajahan, antara lain tentang utang warga Hindia Belanda, keanggotaan Indonesia dalam Bank Dunia, dan penanaman modal asing. Dengan demikian, sebelum Soekarno jatuh, pihak asing sudah mempersiapkan draft-draft yang mengatur kesediaan Indonesia dalam mengangsur utang, keanggotaan dalam Bank Dunia, dan PMA. Terbukalah liberalisasi di Indonesia sebagai bekal untuk mengabulkan semua kepentingan asing di Indonesia.

Keanehan terlihat dalam keanggotaan Indonesia dalam IMF yang baru terdaftar lagi sekitar bulan Juni dan secara resmi bulan November 1966. Namun, IMF malah sudah ada di Indonesia sejak bulan Februari 1966, padahal saat itu Indonesia sudah bukan anggota IMF sejak tahun 1965. Semua ini menunjukan bahwa persiapan pihak imperialis dan agen-agennya sangat matang. Pola asing dalam hal ini mulai dengan rekayasa penggulingan para pembangkang, membentuk rezim boneka baru, pembentukan undang-undang, serta menanamkan agen-agennya dan bahkan bertahan sampai 32 tahun masa Soeharto.

Apakah penurunan Suharto sebagai presiden juga merupakan akibat pembangkangan terhadap imperialis?

Rekayasa imperialis terhadap Soeharto hampir serupa dengan Soekarno. Sebelum jatuh, Soeharto menandatangani LoI yang merupakan ’kitab suci’ dalam prosedural liberalisasi pasca krisis 1998. Hanya saja, kurang tepat jika penurunannya hanya dilihat sebagai akibat pembangkangan terhadap dunia Internasional. Hal ini disebabkan Soeharto sendiri melaksanakan secara taat agenda pesanan imperialis, misalnya deregulasi, jadi anggota World Bank, mengangsur utang Belanda, bahkan privatisasi sektor publik dimulai sejak pemerintahannya. Popularitas Soeharto masa akhir pemerintahannya sudah menurun akibat sikap otoriter atau korup sehingga diperkirakan tidak efektif lagi untuk melaksanakan liberalisasi yang lebih efektif.

Soeharto memang efektif dalam liberalisasi pada tahap awal yang memang membutuhkan sikap refresif melalui penangkapan, pembunuhan, menghabisi pihak-pihak penentang, deideologisasi dan perombakan kurikulum yang pro liberal. Ketika infrastruktur sudah matang dan menuntut liberalisasi yang lebih radikal maka Soeharto tidak efektif lagi untuk dipertahankan sehingga digulingkan melalui reformasi.

Jadi, Reformasi 1998 bukan reformasi amanat konstitusi, tetapi reformasi kolonial yang mengganti kolonialisme kembali ke kolonialisme. Struktur ekonomi kolonialisme, misal perusahaan asing yang sudah dinasionalisasi, kembali diprivatisasi. Itu hakikat reformasi. Jadi, rezim-rezim Indonesia pasca reformasi 1998 terlanjur terikat dengan agenda liberalisasi yang lebih dramatis dan radikal.

Apakah itu berarti kesadaran rezim yang ada terhadap kondisi saat ini sudah tidak berarti lagi?

Hal ini disebabkan pada variabel lain kita terlanjur terjerumus sangat dalam pada utang. Akhir pemerintahan Soekarno, Indonesia memiliki dua jenis utang, yaitu utang asing sebesar 4,3 miliar golden dan utang Pemerintah sebesar 2,5 miliar US dolar. Lalu akhir pemerintahan Soeharto, utang luar negeri Pemerintah menjadi 54 miliar US dolar, ditambah utang dalam negeri yang sebelumnya belum pernah ada. Hal ini sebagai akibat krismon dengan terbitnya obligasi dekat sebesar Rp 700 triliun. Masa Habibie, karena mendapat pencairan utang dari IMF, Indonesia berhasil menambah utang sebanyak 23 miliar menjadi 77 miliar US dolar hanya dalam dua tahun saja. Saat itu harga 1 dolar baru 700 rupiah sehingga jika dikurskan sekitar 1400 triliun US dolar. Fakta finsansial menjadikan rezim pasca 1998 sulit bergerak.

Mengapa Indonesia justru menambah utang?

Hal ini sebenarnya sebagai tanda bahwa pembentukan kabinet saja didikte. Meskipun kita sudah melaksanakan Pemilu langsung, hakikatnya demokrasi itu untuk siapa? Pemilu saat ini hanyalah prosedural demokrasi untuk mempromosikan agen kapitalis dalam menduduki jabatan negara, apalagi dengan dukungan dana dan keahlian sehingga menjamin mereka terpilih. Dengan demikian, jika presiden dan anggota kabinetnya seluruhnya menjadi agen kolonial, semua lini telah dikuasai, belum lagi utang dalam dan luar negeri begitu besar. Apa yang bisa diharapkan? Saya bisa membuktikan bahwa undang-undang yang terbit pasca Reformasi 1998 tidak hanya pro liberal dan kapitalis, tetapi juga dibuat sebagai proyek utang, bahkan draftnya dibuat sendiri oleh pihak pemberi utang. UU Migas adalah proyek utang dari USA bekerjasama dengan ASIA Development Bank sebesar 4 juta US dolar. Artinya, kita mengutang untuk membuat undang-undang yang sebetulnya untuk kepentingan mereka juga; kita mengutang untuk menghidupi kolonialis. Inilah goblok-nya orang Indonesia. Membuat UU seperti itu saja sudah salah, apalagi mengutang untuk membuat undang-undang, lebih salah lagi. Dalam kelistrikan ternyata ada proyek dari ADB. UU SDA adalah proyek World Bank. Bahkan UU tentang BUMN dibuat oleh Price Waterhouse Coopers. Pasca 1998 agenda liberalisasi tidak hanya dijalankan melalui pemerintahan otoriter, tetapi juga telah terjadi legalisasi kolonialisme.

Bukti yang sangat konyol, misalnya, dalam UU Migas. Salah satu pasalnya mengatakan, bahwa pihak eksplorasi harus memberi hasil eksplorasi pada pasar dalam negeri sebanyak-banyaknya 25%. Lho, sebanyak-banyaknya kok 25%? Sekurang-kurangnya saja belum tentu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Jadi, banyak fakta yang bisa diuji secara kelembagaan yudisial, kemudian kita bawa ke Mahkamah Konstitusi untuk membuktikan hitam di atas putih, bahwa sejumlah UU yang dibuat pasca reformasi tahun 1998 melanggar konstitusi. Kita tidak hanya mereka-reka, tetapi teruji bahwa UU Kelistrikan dan UU Migas—pasal 28 karena memberikan harga BBM pada pasar—telah melanggar konstitusi. Terakhir, UU PMA, pasal mengenai HBU, juga melanggar kostitusi. Hal ini memunculkan kesenjangan antara cita-cita untuk rakyat dan mengkoreksi kolonialisme dengan kenyataan di lapangan yang selalu dihadang kolonial dengan subversi, bahkan masuk ke tahap lebih canggih, yaitu legalisasi terhadap pelanggaran itu.

Mengapa bangsa kita terkesan diam terhadap munculnya beragan undang-undang yang melanggar konstitusi tersebut?

Banyak orang mengatakan bahwa kolonialisme saat ini sudah terlalu canggih sehingga sudah tidak bisa dilawan. Saya kira, kita harus kembali pada akar kolonialisme. Sesungguhnya kolonialisme dulu dan sekarang sama saja. Kolonialisme sejak dulu bekerja menyesuaikan dengan sistem sosial masyarakat yang ada. Dulu masyarakatnya masih feodal maka penjajahan memperalat para penguasa lokal untuk mengumpulkan hasil tanah. Jadi, bukan kolonialisme yang langsung memaksakan tanam paksa, tetapi cukup melakukan perjanjian dengan penguasa lokal yang akan disetor kepada penjajah. Dengan demikian, masih menggunakan model Leter of Intens. Bahkan kolonialisme dulu lebih halus karena mereka tidak mengubah struktur masyarakat yang ada. Secara perlahan perubahan struktur masyarakat di mulai dengan memasukan sistem kepemilikan tanah privat dengan menyempurnakan sistem kerja upahan, kemudian masuknya modal asing. Namun, itu pun belum sedramatis seperti sekarang.

Mengapa rakyat tidak berontak? Ini masalah waktu; perlawanan ada dimana-mana. Hanya saja, proses perlawanan terus dibunuh. Contoh: perlawanan pada periode 1966 kemudian dibunuh. Masyarakat kita masih mengalami trauma dan dibungkam pemerintahan otoriter selama 32 tahun. Kemudian selama itu pula agen-agen kolonial dibentuk secara efektif melalui kampus. Politik kolonial saat ini melakukan rekayasa agar proses pendidikan jadi proses percetakan agen-agen. Jika dulu kampus adalah motor penggerak anti kolonialisme, saat ini generasi tidak bergerak justru karena menjadi agen-gen yang menghalangi gerakan rakyatnya, orangtuanya, saudara-saudaranya sendiri dalam melawan penjajah. Memang, saat ini menjadi sulit melawan kolonialisme karena informasi direkayasa melalui pendidikan dan opini, perlawanan dan motivasi dialihkan sehingga rakyat kekurangan materi, informasi dan motivasi bergerak.

Kata kuncinya terletak pada informasi dan motivasi. Hanya saja, dalam hal ini kita membutuhkan kelompok yang terpanggil yang mau berbagi informasi dan motivasi tersebut.

Jadi, kondisi secara empirik semakin berat. Perusahaan dikuasai asing baik di sektor fiskal, moneter atau real. Bank Indonesia sudah dikontrol kapitalis. Pendidikan menjadi pencetak agen-agen asing. Bahkan suatu saat bisa saja kolonialis kembali pada cara-cara refresif demi kepentingan mereka, atau dengan metode adu domba jika memang cara demokrasi sudah tidak efektif lagi.

Semua itu dilakukan tidak hanya dieksekusi agen, tetapi terus dimonitor kolonialis. Misalnya, intel-intel mereka banyak bertebaran, mungkin juga di kampus-kampus, untuk segera melaporkan dan mendorong penindakan terhadap pihak penghalang kepentingan mereka, termasuk mengucurkan dana.

Bagaimana strategi bagi kelompok yg terpanggil supaya tidak mudah terjebak intervensi para penjajah?

Kolonial dipimpin negara adidaya dari 100 negara, disuport pendanaan oleh corporation atau MNC, didukung oleh rezim boneka dan agen-agen dengan jabatan yang terdidik dan jabatan publik lumayan. Nah, bagaimana melawannya? Jadi, kita seperti tikus melawan naga. Sejauh ini memang ada kelompok-kelompok yang terpanggil tetapi tidak memahami siapa hakikat musuh sebenarnya sehingga tidak serius dalam menetapkan sasaran, bentuk dan strategi perlawanan. Hal ini mengakibatkan pula kesalahan dalam menentukan stamina, misalnya untuk melawan kolonialis dibutuhkan kekuatan yang tidak sama dalam menghadapi perselisihan internal. Perlawanan terhadap kekuatan adidaya tersebut tidak cukup dengan kekuatan nasional, tetapi kekuatan global. Terbukti, misalnya, beberapa pihak yang komitmen melakukan perlawanan memang membuat jaringan internasional; misalnya Iran dengan Chavez, Chaves dengan Bolivia.

Jadi, pertama harus dipahami bahwa ini persoalan imperialisme, neokolonialisme. Karena itu, bentuk perlawan harus rapi, solid, dan membuat kekuatan skala internasional. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*