Allah Swt. memberikan beban hukum yang sama kepada laki-laki dan perempuan dalam melaksanakan kewajiban berdakwah dan amar makruf nahi munkar (QS at-Taubah [9]: 71). Allah pun memberikan ancaman yang serupa terhadap laki-laki dan perempuan yang meninggalkan amar makruf nahi munkar:
Kalian memerintahkan kemakrufan dan mencegah kemungkaran, kalau tidak, Allah pasti akan menjadikan orang-orang jahat di antara kalian menguasai kalian (HR al-Bazzar dan ath-Thabrani).
Demikian pentingnya kewajiban ini, setiap Muslim dituntut untuk terus berupaya melaksanakannya sekalipun hanya mampu mengutuk kemungkaran di dalam hatinya, dan inilah yang dikatakan sebagai selemah-lemahnya iman (HR Muslim).
Adapun dalam melaksanakan kewajiban berdakwah, kehidupan Rasulullah saw. merupakan satu-satunya teladan yang patut dicontoh dalam menyampaikan Islam, sejak Beliau berada di Makkah hingga hijrah ke Madinah dan membangun sebuah tatanan masyarakat yang didasarkan pada aturan dari Allah Swt. Pada periode Makkah, Rasul dan para Sahabat mengalami tekanan, kesulitan dan penderitaan yang amat berat dari orang kafir Quraisy. Sekalipun demikian, Rasul sanggup menanggung berbagai hambatan yang menghadang dakwah, karena di sisinya ada istri tercinta, Khadijah ra., yang selalu setia dan siap memberikan dorongan dan bantuan, moril maupun materil di jalan dakwah. Demikian pula pada periode Madinah saat Rasul tengah melakukan proses Perjanjian Hudaibiyah; Beliau juga memiliki Ummu Salamah ra. yang sangat bijak ketika memberi masukan kepada Rasul saat kaum Muslim tidak segera mematuhi perintah Beliau untuk bercukur dan menyembelih hewan kurban. Di sinilah arti penting adanya seorang pendamping setia yang sangat memahami tugas berat yang harus dipikul oleh Rasul, juga sangat memahami sifat dan karakter Rasul hingga dapat memberi masukan yang bijak dengan cara tepat.
Sebagai manusia, setiap Muslim pasti pernah mengalami pasang-surut dalam melaksanakan kewajiban ini. Ujian dalam bentuk kesulitan dan kenikmatan hidup datang silih berganti. Tak jarang semua itu membuat kita merasa terhimpit sesak atau bahkan terlena dengan kesibukan dan kemewahan sehingga tanpa disadari mengurangi waktu, bahkan meninggalkan dakwah.
Untuk itulah, orang terdekat, khususnya suami atau istri, harus selalu saling mengingatkan agar keduanya tetap konsisten dan bersemangat dalam melaksanakan kewajiban dakwah ini, apapun kondisinya.
Islam telah menetapkan bahwa suami adalah pemimpin bagi istri di dalam rumah tangga:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ
Laki-laki merupakan pemimpin bagi perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian lainnya (QS an-Nisa’ [4]: 34).
Di sisi lain, Islam juga menjelaskan bahwa hubungan antara suami dan istri adalah hubungan yang penuh persahabatan:
إِ نَّمَا النِّسَا ءُ شَقَا ِئقُ الِرّجَالِ
Sesungguhnya perempuan (istri) itu adalah sahabat laki-laki (suami) (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Karena itu, pergaulan di antara keduanya adalah pergaulan sebagaimana dua orang yang bersahabat, satu sama lain dapat saling mencurahkan perasaan dan bertukar pikiran demi mencari solusi terhadap masalah yang dihadapi, dalam keadaan senang maupun sulit.
Biduk rumah tangga harus tetap terjaga pada rel yang semestinya, yaitu mencari keridhaan Allah di dunia dan akhirat. Demikian pula kemitraan antara suami dan istri juga dibangun atas dasar prinsip tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa, saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran, serta berlomba-lomba dalam menjalankan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya serta dalam menjauhi larangan-Nya.
Prinsip ini juga dapat diterapkan dalam rangka menjalankan kewajiban berdakwah. Suami dan istri dapat saling memberi semangat, nasihat, saran, juga koreksi satu sama lain. Namun, perlu diingat, dengan posisi suami sebagai pemimpin, saat istri memberi masukan, tidak mengurangi kewibawaan dan kehormatan suami. Sebaliknya, suami selayaknya juga dapat menjadi teladan dan inspirator bagi istri dalam berdakwah. Agar semangat berdakwah tetap terpelihara dalam suasana rumah tangga yang harmonis, diperlukan sikap dan langkah-langkah berikut ini:
- Menyatukan komitmen dalam berumah tangga, yaitu untuk mencapai keluarga sakinah mawaddah wa rahmah dalam naungan Islam. Suami-istri harus memiliki cita-cita untuk menerapkan ideologi Islam. Pendekatan yang makruf dengan disertai dalil yang kuat dapat ditempuh ketika salah satu dari pasangan belum memahami kewajiban ini. Pembinaan selanjutnya dapat diarahkan bersama jamaah laki-laki untuk suami dan jamaah perempuan untuk istri.
- Mengenal secara rinci karakter pasangan kita. Hal ini penting untuk mengetahui cara pendekatan yang tepat untuk saling memberi masukan dan mengingatkan. Misalnya, ada tipe suami yang tidak ingin terlalu sering diingatkan dengan kata-kata, bisa dilakukan dengan cara tidak langsung, seperti dengan bercerita seolah yang dimaksud adalah orang lain. Ada pula tipe suami yang suka jika diingatkan secara rinci sehingga istri yang harus rajin memantau, atau sebaliknya suami terhadap istri.
- Mengetahui kegiatan harian satu sama lain, beserta target dakwah yang ingin dicapai. Misalnya, jika suami banyak waktu di luar rumah seperti di kantor, di sekolah, di tempat usaha, dll, dapat ditentukan komunitas dan target apa yang hendak menjadi sasaran dakwahnya. Sebaliknya, istri yang memiliki banyak waktu di rumah, juga bisa melakukan hal yang sama. Keduanya bisa saling mendorong dan memberi semangat untuk mencapai target dakwah masing-masing.
- Jalin komunikasi yang lancar, melalui telepon atau SMS yang berisi kata-kata, ayat-ayat, atau hadis yang berisi motivasi untuk tetap konsisten dan bersemangat dalam dakwah. Misalnya, Sesungguhnya Allah pasti akan menolong orang-orang yang menolong (agama-Nya) (QS al-Hajj [22]: 40); Sesungguhnya Allah telah membeli jiwa dan harta orang-orang yang beriman, dengan memberikan surga untuk mereka (QS at-Taubah [9]: 111); Apabila Allah memberi hidayah kepada seseorang melalui upayamu, itu lebih baik bagimu daripada apa yang dijangkau matahari sejak terbit hingga terbenam (HR al-Bukhari dan Muslim); dll .
- Sempatkan untuk sama-sama mengikuti perkembangan berita lewat televisi, radio atau koran, kemudian bahas dari sudut pandang Islam. Tujuannya untuk mengembangkan cara berpikir Islam dengan proses analisis fakta serta mengaitkannya dengan pemahaman yang telah dimiliki.
- Guna memperkuat perasaan Islam (nafsiyah islamiyah), suami-istri dapat melaksanakan shalat berjamaah, shaum sunnah, qiyamul lail dan tadarus al-Quran bersama-sama. Bisa juga dengan mengajak anak-anak ataupun kerabat yang lain, agar suasana ruhiah anggota keluarga tetap terpelihara di dalam rumah.
- Sesekali melakukan kajian tentang sirah Rasul atau kisah para Sahabat di antara anggota keluarga, untuk menggugah semangat juang dan kerelaan berkurban di jalan Allah dengan mencontoh teladan dari Rasul dan para Sahabat dalam memperjuangkan agama Allah Swt.
- Melakukan shillah ukhuwah terhadap teman-teman seperjuangan yang memiliki komitmen tinggi terhadap dakwah, untuk mendapatkan energi baru dalam berdakwah melalui contoh dari orang lain.
- Mengajak seluruh keluarga untuk hadir pada acara-acara tertentu, seperti tablig akbar, aksi bersama (masîrah), agar tersuasana semangat juang yang tinggi dan keyakinan yang kuat akan dekatnya pertolongan Allah Swt. kepada umat Islam.
- Membuat perencanaan dakwah bersama untuk mewarnai lingkungan sekitar rumah. Istri terhadap kaum perempuan dan suami terhadap kaum laki-laki. Apalagi jika telah memiliki anak yang sudah beranjak dewasa, juga dapat dilibatkan dalam rencana ini, khususnya terhadap para remajanya.
Semoga setiap keluarga Muslim dapat menjadi tim yang kuat dan harmonis seperti halnya yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. dengan para istrinya.
Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. [Reta Fajriah]