AS Intervensi Indonesia. HTI: Disintegrasi Tak Bisa Dianggap Remeh
Empat puluh anggota Kongres AS berkirim surat kepada Pemerintah Indonesia, meminta agar 2 anggota OPM, Filep Karma dan Yusak Pakage, dibebaskan tanpa syarat.
“Surat itu merupakan bukti nyata, bukan hanya tentang adanya campur tangan AS terhadap urusan dalam negeri Indonesia, tetapi juga dukungan mereka terhadap OPM…Mereka berusaha memecah-belah kita, ini tidak bisa dibiarkan,” tegas Ketua DPP HTI, Farid Wajdi.
Aksi protes HTI atas intervensi AS atas Indonesia secara umum dan Papua secara khusus, terwujud dalam aksi damai pada hari sabtu (9/8) di depan kantor Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di Jakarta. Massa HTI berbaris melingkar dengan membawa spanduk besar bertuliskan, “HTI Menolak Campur Tangan AS di Papua”, spanduk berukuran kecil dengan tulisan “Cegah Disintegrasi Bangsa” dan lebih dari 30 bendera HTI yang berwarna dasar hitam dengan tulisan Arab putih.
Aksi penolakan atas intervensi AS juga dilaksanakan secara serentak pada hari Minggu (11/8) di kantor Konsulat Jenderal AS di Surabaya dan Medan. Di Surabaya, Fikri A Zudian (koordinator aksi damai) menegaskan, “AS berdalih bahwa ini adalah penghormatan pada kebebasan berpendapat.” Padahal kedua tokoh OPM tersebut, kata dia, terbukti terlibat dalam kasus makar pengibaran bendera Bintang Kejora di Lapangan Trikora, Abepura, Papua pada 1 Desember 2004. Bahkan atas tindakannya tersebut, kedua tokoh OPM tersebut oleh pengadilan telah dijatuhi hukuman 15 dan 10 tahun penjara.
Di Medan, Irwan Said Batubara (Ketua DPD HTI Sumut) juga menegaskan, surat Kongres AS mengenai permintaan pembebasan dua tokoh OPM, yaitu Filep Karma dan Yusak Pakage, adalah bentuk intervensi AS terhadap Pemerintah Indonesia.
“Jika Kongres AS meminta Pemerintah membebaskan tokoh OPM, berarti AS mendukung keberadaan OPM,” kata Irwan di Depan kantor konsulat AS di Jl Walikota, Medan, Sumatera Utara.
Untuk menyuarakan protes atas intervensi AS, HTI juga mengirim delegasi ke Komisi I DPR RI. Rombongan yang dipimpin Ketua DPP M. Rahmat Kurnia ditemui oleh Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PAN Abdillah Toha. Pada kesempatan itu, M. Rahmat Kurnia membacakan pernyataan sikap HTI tentang Dukungan AS terhadap Gerakan Separatis.
Abdillah Toha menyambut positif kedatangan rombongan HTI yang sudah dikenalnya sangat kritis dan vokal menanggapi kasus-kasus keumatan. Terkait masalah surat 40 anggota Kongres AS, Abdillah menganggap hal itu bukan representatif Kongres AS atau pun pemerintah AS.
Ketua Lajnah I’lamiyah HTI, Farid Wadjdi, mengatakan, meskipun tidak mewakili pemerintah AS, surat anggota Kongres AS tersebut membuktikan adanya intervensi terhadap Pemerintah Indonesia. “Pernyataan anggota Kongres ini bagaikan bola salju yang bisa akan membesar terus-menerus dan menjadi alat untuk mengintervensi,” ujarnya. Apalagi surat ini diawali dengan rekomendasi dari sebuah LSM Internasional asal AS, East Timor and Indonesia Asian Network atau ETAN, yang sudah berpengalaman menjadi salah satu arsitek lepasnya Timor Timur dari bumi pertiwi.
Adapun Ketua Umum DPP HTI Hafidz Abdurrahman menyatakan fakta adanya jaringan kuat di balik kelompok separatis disadari betul oleh HTI. Hal ini mengingatkan pada sejarah disintegrasi yang terjadi di beberapa wilayah Khilafah Turki Utsmani hingga keruntuhannya. Salah satu faktor terjadinya disintegrasi itu karena pengaruh kaum misionaris. Kasus yang sama terjadi pula di Timor Timur. Oleh karenanya, HTI mengingatkan kaum Nasrani bahwa sesungguhnya kepentingan AS dan negara-negara imperialis lainnya bukanlah untuk kepentingan Kristen, namun semata-mata hanya untuk mengeruk kekayaan yang ada. Kaum Kristen juga diingatkan supaya tidak mau diperalat demi kepentingan negara-negara imperialis tersebut. HTI juga mengingatkan kaum Muslim di Papua supaya berjuang agar Papua tidak lepas dari Indonesia.
Sebagai penutup, Ismail Yusanto menegaskan kedatangan HTI ke gedung DPR untuk menyampaikan penentangan terhadap intervensi AS dan kekhawatiran pada gerakan separatisme. Sikap ini merupakan bagian dari gagasan Khilafah. Substansi Khilafah adalah syariah dan ukhuwah. Perwujudan ukhuwah ini salah satunya adalah persaudaraan dalam kesatuan wilayah. Argumennya, kaum Muslim diperintahkan oleh Allah untuk bersatu, sementara fakta kaum Muslim saat ini telah berpecah-belah. “Bagaimana kalau sudah pecah, pecah lagi. Tentu ini sangat membahayakan,” ujarnya.
Delegasi juga diutus HTI ke Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) pada hari rabu (13/8). Rombongan pimpinan Hizbut Tahrir Indonesia ini diterima langsung oleh Deputi VII Kemenko Polhukam Bidang Koordinasi Komunikasi dan Informasi Irjen Pol. Drs. Doddy Sumantyawan dan Deputi I Kemenko Polhukam Bidang Politik Dalam Negeri Mayjen TNI Uddy Rusdilie, S.H.
Dalam kesempatan ini, Jurubicara HTI, menegaskan bahwa disintegrasi terhadap suatu negeri tak bisa dianggap remeh. Ismail Yusanto juga menyampaikan bahwa Hizbut Tahrir Indonesia menawarkan syariah Islam sebagai solusi atas persoalan yang menimpa negeri ini. HTI juga menawarkan ide Khilafah. Sebab, inti dari Khilafah itu tiada lain ialah persatuan dan ukhuwah. Ditambah lagi, perlu adanya kekuatan global untuk menghadang berbagai macam intervensi global.
Irjen Doddy Sumantyawan menghargai kepedulian Hizbut Tahrir Indonesia terhadap persoalan bangsa. Dia pun menyatakan bahwa Pemerintah menolak tegas terhadap surat Kongres AS, untuk membebaskan dua orang terpidana kasus pengibaran bendera Organisasi Papua Merdeka (OPM). Ini didasarkan bahwa Pemerintah asing tidak dapat mengintervensi hukum pemerintahan lain. []
Azwar: Indonesia Masih Bergantung Pada Negara Asing
Indonesia masih bergantung pada negara asing. Demikian dikatakan Bapak Azwar, Kepala Kesbang Linmas Pemda Depok Jawa Barat. Ia menyampaikan paparannya saat menggantikan Walikotamadya Depok Bp. Nur Mahmudi Ismail selaku keynote speaker dalam acara Forum Dialog Kemerdekaan RI, Ahad (10/08) di Cimanggis Depok. Acara ini mengangkat tema, “(1945 – 2008) 63 Tahun Indonesia di Persimpangan jalan”.
Menurut Azwar, kebergantungan negeri ini pada negara asing membuat Indonesia tidak merdeka secara hakiki. Sistem yang diadopsinya pun sesuai dengan apa yang didiktekan oleh asing. Selaku Muslim yang memiliki aturan dalam seluruh aspek kehidupan, haruslah kembali pada syariah agar dapat memberikan arah yang jelas bagi kemerdekaan Indonesia, jelasnya.
Adapun menurut Hanibal Wijayanta (pengamat politik), Indonesia sudah terikat dengan negara asing sejak zaman kemerdekaan. Ia membuktikan, bahwa Presiden Soekarno sempat meminta para pemuda untuk menunggu janji dari pemerintah Jepang yang akan memberikan kemerdekaan bagi RI. Ia juga menujukkan bahwa pemerintahan Soekarno berada di bawah bayang-bayang Rusia. Ketika AS ingin bermain di Indonesia, akhirnya dibuatlah skenario agar Soekarno turun. Kemudian Soeharto menggantikan kepemimpinannya. Tentu pencalonan Soeharto tidaklah gratis. Soeharto harus membayar mahal kepada AS agar dirinya bisa menjadi presiden, katanya. Harga yang harus dibayar oleh Soeharto adalah diizinkannya Freeport masuk ke Indonesia, dan penyerahan tambang minyak dan gas bumi lainnya kepada AS. Sejak saat itu hingga kini, AS berkuasa dan mengendalikan pemerintahan Indonesia.
Ironisnya peran ulama dari dulu hingga saat ini senantiasa termarginalkan. Padahal ulama-ulama telah turut berjuang memerdekakan negeri ini. Di antaranya Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Umar, dll. Demikian tegas KH. Amrullah Ahmad (MUI Pusat). Namun sayangnya, ketika mengisi kemerdekaan, peran ulama disingkirkan. Akibatnya, aturan-aturan yang diberlakukan sangat jauh dari syariah Islam. []
KH Baijuri: Khilafah Islamiyah: Kewajiban Seluruh kaum Muslim
“Kaum Muslim wajib bersatu karena dengan persatuan kaum Muslim, pelaksanaan syariah Islam dapat dilakukan.” Demikian tegas KH Baijuri (Pengasuh Ponpes Syeikh Kholid Martapura) dalam Dialog Rajab dengan tema “Syariah dan Khilafah untuk Persatuan Umat yang Hakiki”, yang diselenggarakan oleh Hizbut Tahrir Banjarbaru, Kalsel pada hari Rabu, 30 juli 2008 yang lalu.
Masih menurut KH Baijuri, menegakkan Khilafah Islamiyah adalah kewajiban bagi seluruh kaum Muslim dan merupakan wujud persatuan itu sendiri.
Persatuan seluruh kaum Muslim saat ini menjadi urgen karena akan mampu mengumpulkan potensi kaum Muslim yang besar. Oleh karenanya, menurut dr. HM Asnal, Sp.B. (Ketua Dewan Pengelola Masjid Istiqomah Banjarbaru), apapun dasarnya kaum Muslim harus bersatu.
Ditambahkan bahwa, “Baik secara dalil naqli maupun ‘aqli, kesatuan kaum Muslim merupakan sebuah kewajiban. Kesatuan kaum Muslim adalah tuntutan iman dan akidah yang diwujudkan dalam bentuk Khilafah Islamiyah.” Demikian tegas M. Natsir, SP (Anggota DPD I HTI Kalsel). [Humas HTI KalSel]
Symphoni Keagungan Islam di Jawa Timur
Hizbut Tahrir Jawa Timur dalam Symphoni Keagungan Islam, Rabu (30/7) bertajuk Hebatnya Islam dengan Syariah & Khilafah menggugah kembali kesadaran umat Islam atas kehebatan Islam yang pernah ada beserta keagungan penerapan syariah dan khilafahnya. Dihadapan lebih dari 4000 hadirin dari berbagai elemen umat islam, Ustadz Hisyam Hidayat yang tampil sebagai pembicara pertama menyampaikan tentang keagungan Islam dengan syariah dan khilafahnya. Selanjutnya Ust Ibnu Ali Tammam, Mpd. membawakan tema Menunggu Kemenangan Islam.
Kedua anggota DPD Hizbut Tahrir Jatim ini, membakar semangat hadirin agar umat Islam bersedia berkorban untuk berjuang mengembalikan tegaknya syariah dan khilafah. Mendorong umat Islam untuk turut serta berkontribusi dalam perjuangan menghidupkan kembali keagungan Islam dengan syariah dan khilafahnya. Membangun ukhuwah serta kepercayaan diri untuk menjadi seorang muslim sejati sekaligus sebagai pengemban dakwah.(LI Jatim)
Tokoh Pemuda Mahasiswa Islam Ikuti Sosialisasi Syariah dan Khilafah
Lebih dari seratus tokoh pemuda mahasiswa Islam Jakarta memadati ruang meeting utama Hotel Sofyan Cikini Jakarta, Sabtu (26/07/20008). Para pemuda yang berasal dari berbagai latar elemen pemuda mahasiswa, seperti OKP, BEM, serta elemen muda mahasiswa lainnya ini sangat antusias untuk mengikuti Dauroh Dirosah Islamiyah Hizbut Tahrir Indonesia yang digelar oleh Pengurus Pusat GEMA Pembebasan.
Menurut pihak panitia, acara tersebut dilakukan dalam rangka sosialisasi pemikiran syari’ah dan khilafah di tengah-tengah umat khususnya kalangan pemuda mahasiswa.”Acara ini dilakukan adalah dalam rangka sosialisasi ide-ide syari’ah khilafah beserta bagaimana metode pengejawantahan ide tersebut dalam kehidupan bernegara sehingga terwujud Indonesia yang memiliki masa depan,” kata Erwin Eljundi, Sekjen GEMA Pembebasan dalam sambutannya.
Tampil sebagai pembicara pada acara tersebut yaitu ust. Harist Abu Ulya (Anggota DPP HTI) dan Ust. Muhammad Al Khaththath (Anggota DPP HTI dan Sekjen FUI). Secara historis, Ust. Harits Abu Ulya menegaskan bahwa Islam juga sudah terbukti keampuhannya dalam membuat sebuah negara menjadi kuat bahkan digdaya. Dari sebuah negara kecil di Madinah Islam menjelma menjadi negara nomer satu dunia. Selama lebih kurang tiga belas abad Islam memerintah, sangat banyak kebaikan-kebaikan dan keutamaan yang dilahirkan.(LI Jakarta)
HTI Jogja Promosikan Pendidikan Integral Berbasis Aqidah Islam
Pada hari ahad tanggal 27 Juli 2008, bertempat di Aula Balai Kota Jogjakarta, Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) DPC Kota Jogjakarta menggelar Workshop dengan tema “Pendidikan Integral Anak Usia Dini Berbasis Aqidah Islam”. Acara yang diselenggarakan sebagai rangkaian peringatan Hari Anak Nasional ini menampilkan pembicara Ibu Nur Habibah, S.Psi, M.Si (Konsultan Masalah Anak dan Keluarga), Ibu Aini Qori’ah, A.Md (HTI Kota Jogjakarta), dan Ibu Shinta Asri Risnaeni, S.Psi (Home Schooling Group Karima Aqila).Dengan jumlah peserta kurang lebih 100 orang dari perwakilan pengurus PAUD mulai tingkat RW sampai tingkat kecamatan se-Kota Jogjakarta dan masyarakat umum.
Melalui Workshop ini, HTI ingin menjelaskan kepada para peserta, bahwa dengan Metode Pendidikan Anak Usia Dini Berbasis Aqidah Islam akan mencetak anak-anak yang sholeh, memiliki kepekaan sosial yang tinggi (tidak hanya memikirkan diri sendiri), dan berjiwa pemimpin (problem solver), artinya, tidak menjadi pembuat masalah tapi justru menjadi orang yang bisa memberi solusi atas berbagai masalah di masyarakat.(LI Jogjakarta)