Jagad perpolitikan Indonesia dari masa ke masa hingga hari ini masih didominasi parpol-parpol yang mengandalkan massa mengambang. Disebut massa mengambang karena umumnya mereka tidak tahu arah politik. Biasanya massa mengambang ini mudah terbawa oleh arus politik.
Karena itu, umumnya partai-partai politik memanfaatkan keberadaan massa mengambang ini dengan menyambangi mereka pada musim-musim kampanye menjelang pemilihan legislatif, dan belakangan ini pada musim-musim Pilkada yang memang menjadikan suasana perpolitikan Indonesia semakin marak, termasuk dengan berbagai eksesnya. Dengan bekal kaos, topi dan berbagai atribut kampanye, serta uang bensin dan uang lelah, tim kampanye parpol untuk pemenangan Pemilu maupun Pilkada bisa menggiring massa mengambang ini kesana-kemari sesuai keperluan.
Karena Indonesia adalah negara dengan penduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia, wajar kalau kebanyakan massa mengambang di Indonesia adalah massa umat Islam. Mereka ini tersebar di masayarakat dan mudah diorganisir oleh simpul-simpulnya, baik itu simpul formal dan semi formal seperti lurah/kepala desa dan RT/RW, maupun simpul non formal seperti kyai, ulama, ustadz, ajengan, buya, tuan guru dan lain-lain. Melalui simpul-simpul inilah biasanya parpol menggelontorkan biaya kampanye untuk menarik-narik massa mengambang sesuai kepentingan.
Satu hal yang menarik adalah simpul-simpul para ulama, kyai, ajengan, buya, tuan guru, juga para habaib. Simpul-simpul ini punya modal akidah untuk mengikat massa mengambang lantaran kesamaan akidah antara simpul dan massa. Kesadaran perjuangan berdasarkan akidah sangat memungkinkan pergerakan massa tanpa pamrih, kecuali hanya untuk membela agama; demi kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya; serta untuk mencari ridha dan surga-Nya. Massa dengan simpul akidah ini memiliki kekuatan yang dahsyat dan bisa bergerak sewaktu-waktu.
Satu fenomena yang membuktikan tesis tersebut adalah gerakan puluhan ribu massa yang menuntut pembubaran Ahmadiyah pada tanggal 9 Juni lalu. Massa datang bak air bah dari empat penjuru Jakarta: Jakarta Barat dari daerah Rawa Belong; Jakarta Selatan dari daerah Tebet; Jakarta Timur dari daerah Cawang; dan dari Jakarta Utara dari arah Priok. Massa yang mayoritas adalah massa majelis-majelis taklim yang diasuh oleh para habaib, para ulama, dan para ustadz dengan mengenakan pakaian putih-putih datang dengan tertib sesuai kelompok dan bendera masing-masing. Satu saja tuntutan mereka: Bubarkan Ahmadiyah!
Setelah sekitar 15 orang perwakilan massa yang terdiri para ulama, habaib, dan pimpinan ormas Islam diterima di istana oleh Jubir Kepresidenan, Andi Mallarangeng yang didampingi oleh Dirjen Bimas Islam Prof. Nasaruddin Umar, massa bergerak meninggalkan Istana dan bergerak ke arah Thamrin dan Sudirman, menuju Polda Metrojaya. Di Polda, atas inisiatif KH Abdul Rasyid Abdullah Syafi’i, Pimpinan Perguruan Asy-Syafi’iyyah, dan kawan-kawan tokoh Forum Umat Islam (FUI), Kapolda Metrojaya mengizinkan Habib Rizieq Shihab yang sudah sekitar 6 hari ditahan bisa diberi kesempatan untuk menemui massa di halaman depan Polda, menyampaikan taushiyyah, dan meminta massa tetap tenang dan kembali ke rumah masing-masing. Belum sampai massa demonstran tiba di rumah, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung di kantor Depag di Lapangan Banteng sudah menandatangani SKB untuk pelarangan Ahmadiyah.
Turunnya SKB, walau belum memuaskan, merupakan kemenangan politik yang besar. Suatu hari sebelum turunnya SKB, seorang pengamat politik berbicara di depan seorang pejabat tinggi negara dan para tokoh, “Wah, kalau SKB turun ini bahaya, bargaining politik Hizbut Tahrir akan naik. Karena otak di belakang gerakan tersebut adalah Hizbut Tahrir.”
Laporan International Crisis Group (ICG) yang dinakhodai Sydney Jones ternyata menyebut hal serupa. Karena itu, gerakan pembubaran Ahmadiyah sudah dilihat dari dimensi politik.
Dalam perspektif pergerakan massa, memahami realitas massa umat Islam dari berbagai kalangan yang bersatu berjuang untuk membela kesucian agama Islam adalah suatu modal besar, yang tidak boleh dibiarkan idle bagi perjuangan untuk melanjutkan kehidupan (isti’nâf al-hayâh al-islâmiyyah).
Tentu diperlukan suatu proses ideologisasi massa tersebut. FUI secara simbolik sudah mengawali. Pada tanggal 25-26 Juni FUI menggelar pertemuan besar sekitar 200 orang ulama dan habaib serta pimpinan ormas. Mereka datang dari seluruh Indonesia untuk membahas masalah-masalah umat yang berkaitan dengan penjajahan baru di negeri ini. Tujuannya adalah membangun kesadaran politik (al-wa’y as-siyâsi) para ulama, habaib, dan pimpinan ormas. Dengan itu, diharapkan mereka selalu care terhadap berbagai persoalan yang melanda negeri yang berpenduduk mayoritas Muslim ini.
Alhamdulillah, pertemuan ini diakhiri dengan menghasilkan Deklarasi Darun Najah. Deklarasi ini diharapkan bisa menjadi titik awal bagi perubahan realitas massa mengambang umat Islam menjadi massa ideologis. Sebab, kepada para ulama yang hadir kita menitipkan amanat proses penyadaran politik kepada umat yang selalu berada di sekeliling mereka.
Umat yang bergerak dengan dasar akidah dan kesadaran politik—bahwa segala persoalan hidup ini harus diselesaikan dengan hukum syariah—ini akan menjadi kekuatan politik yang luar biasa. Inilah umat yang telah menjadi massa ideologis. Saya melihat dalam mimpi saya, bahwa dalam berbagai kampanye bersama yang dilakukan oleh sindikat partai-partai Islam pada tahun 2009 nanti para jurkam tidak lagi sekadar mengeksploitasi emosi umat dengan simbol-simbol agama, tetapi betul-betul melakukan paparan solusi syariah yang komprehensif atas berbagai krisis yang melanda negeri ini dalam dekade terakhir ini. Massa pun tidak sekedar takbir serta memberikan applause, tetapi memberikan respons yang cerdas dengan pandangan-pandangan yang ideologis. Itulah yang terbayang di benak saya bilamana proses penyadaran politik ini tidak terhenti. Wallahua’lam! []
luar biasa Allahu akbar
ALLAHU AKBAR Semoga Rahnat dan Pertolongan Allah segera turun..Syariah dan Khilafah bisa kembali tegak..amien…!!