Assalâmu‘alaikum wa rahmatullâhi wa barakâtuh.
Pembaca yang budiman, sudah menjadi ‘rahasia umum’, pemilu langsung di Indonesia, khususnya Pilkada di sejumlah daerah, ‘dimenangkan’ oleh golput. Fenomena golput, diakui atau tidak, menunjukkan bahwa masyarakat kita sudah apatis dengan ‘pesta demokrasi’ ini.
Fenomena golput di Indonesia tentu ironis mengingat: (1) Indonesia baru saja mendapat predikat sebagai ‘juara demokrasi’ dan mendapat puja-puji internasional sebagai salah satu negara paling demokratis, setelah sukses melangsungkan Pemilu 2004. (2) Biaya yang dikeluarkan selama lima tahun terakhir dalam penyelenggaraan pemilu langsung, menurut penelitian LIPI, mencapai lebih dari Rp 400 triliun. (3) Indonesia adalah satu-satunya negara di dunia yang menyelenggarakan pemilu langsung terbanyak, yakni 160 pilkada pada tahun 2008 atau 3 hari sekali.
Yang lebih ironis dari sekadar golput, pemilu langsung yang menghabiskan ratusan triliun rupiah itu menghasilkan banyak para wakil rakyat dan kepala daerah yang korup dan bermasalah. Sudah terlalu sering media kita mempublikasikan para pejabat dan wakil rakyat yang korup di seluruh daerah di Indonesia. Bahkan menurut catatan Kompas, pemerintahan dari Aceh hingga Papua sudah terjerat korupsi, tanpa kecuali.
Kita jadi bertanya, apa sesungguhnya yang sedang terjadi di negeri ini? Mengapa rakyat cenderung apatis dengan Pemilu/Pilkada? Mengapa pula demokrasi tak kunjung mensejahterakan rakyat? Apa sebetulnya yang dikehendaki oleh mayoritas masyarakat kita yang sering dikatakan sebagai ‘massa mengambang’? Bagaimana pula nasib partai-partai Islam ke depan? Yang lebih penting lagi, bagaimana peluang dan tantangan perjuangan penerapan syariah Islam di Indonesia ke depan terkait dengan semakin apatisnya rakyat terhadap ‘pesta demokrasi’?
Itulah beberapa pertanyaan yang coba dicarikan jawabannya dalam tema utama al-wa’ie kali ini. Simak pula sejumlah tema menarik lainnya yang juga layak untuk dikaji. Selamat membaca!
Wassalâmu‘alaikum wa rahmatullâhi wa barakâtuh.
Allahu Akbar!
Allohu Akbar, Menurut saya bukan kegagalan, tetapi belum signifikan perubahan dari partai politik terutama berbazis massa muslim. sehingga orang menjadi semakin cuek. sebenarnya PR bagi kita harusnya membuat Parpol yang dapat dijadikan saluran buat ummat islam.
tiada kata terucap kecuali ganti sistem. sudah cukup penderitaan yang kita alami. kita bangunkan umat islam…
mari kita tegakkan aturan Allah. hanya kepada-Nya kita berwala’
Saya setuju bahwa sistem demokrasi bukanlah satu-satunya sistem yang terbaik. Tetapi prinsipnya tentang pembatasan kekuasaan dan pemenuhan hak minoritas adalah hal yang harus kita akui perlu untuk diapdosi. Tetapi prosedur demokrasi, seperti pemilu, perwakilan saya kira harus difikir-ulang.
Korupsi bukan hanya dipicu oleh sistem demokrasi. Pada setiap sistem dunia (feodal, kerajaan, perbudakan, dll) dan jaman pertengahan Islam pun, korupsi dan penyelwengan kekuasaan sudah banyak terjadi.
Khilafah Islamiyah, haruslah mencerminkan suatu pembalikan total (revolusi) dari kondisi ekonomi, politik-legal dan kebudayaan saat ini. Tetapi hal itu harus dilakukan dengan mempelajari betul-betul bagaimana mekanisme bekerjanya sistem ekonomi, politik-legal dan logika kebudayaan saat ini. Sebab, kalau tidak, kita hanya akan mengganti eksploitasi kapitalisme dengan eksploitasi ekonomi islam, mengganti demokrasi liberal yang elitis dan korup dengan sistem khilafah yang serupa, mengganti budaya yang penuh dengan dogma dan kesadaran palsu ini dengan budaya islami yang sama. Sekali lagi, kita harus belajar.
Salut HTI!!