Pengantar Redaksi:
Indonesia ‘dalam bahaya’! Indonesia telah terjual. Benarkah demikian? Apa indikasi bahwa Indonesia telah terjual? Siapa yang dengan tega menjual Indonesia? Bagaimana modus operandinya? Atas dasar kepentingan apa mereka menjual Indonesia?
Untuk mengupas tuntas pertanyaan diatas, redaksi al-wa’ie (Gus Uwik) mewawancarai Bapak Hidayatullah Muttaqin, SE, MSI, Dosen Tetap Ekonomi Pembangunan Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin serta Direktur Institut Ekonomi Ideologis Banjarmasin. Berikut petikannya.
Sejak kapan privatisasi dilakukan Pemerintah Indonesia?
Privatisasi BUMN pertama kali dilakukan penguasa Orde Baru pada tahun 1991 dengan cara menjual 35% saham PT Semen Gresik di pasar modal Indonesia dan pasar modal Amerika. Kemudian privatisasi dilanjutkan pada tahun 1994 hingga 1997 dengan mencatatkan (listing) 5 BUMN besar di pasar modal.
Apa yang menjadi motif privatisasi BUMN pada waktu itu?
Penguasa Orde Baru melakukan privatisasi untuk pembayaran hutang luar negeri (HLN). Tahun 1991 HLN sudah mencapai US$ 45,72 miliar, atau hampir dua kali lipat jumlah HLN tahun 1985 sebesar US$ 25,32 miliar. Tahun 1995 HLN Pemerintah Indonesia bertambah lagi menjadi US$ 59,58 miliar sehingga beberapa BUMN kembali diprivatisasi.
Apa bedanya pola privatisasi sekarang dengan era Orde Baru?
Dulu privatisasi dilakukan melalui Initial Public Offering (IPO) atau penjualan saham perdana di pasar modal. Sekarang privatisasi tidak hanya dilakukan melalui IPO, tetapi juga dengan cara strategic sales, yakni menjual langsung sebagian atau seluruh saham BUMN kepada investor asing. Pemerintahan Presiden BJ Habibie, misalnya, menjual 14% saham PT Semen Gresik kepada Cemex dari Mexico, 51% saham PT Pelindo II kepada investor Hongkong, dan 49% saham PT Pelindo III kepada investor Australia. Pada tahun 2002 pemerintahan Presiden Megawati menjual 41,94% saham Indosat milik Pemerintah kepada BUMN Singapura.
Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Pemerintah semakin rajin mengobral aset negara. Tahun 2007 Pemerintah merencanakan 15 BUMN diprivatisasi, sedangkan tahun 2008 BUMN yang hendak diprivatisasi mencapai 44. Wapres Jusuf Kalla pernah menyampaikan bahwa hingga tahun 2009 jumlah BUMN yang diprivatisasi mencapai 69. Target Pemerintah tahun 2015 hanya memiliki 25 BUMN.
Jika pada Orde Baru hutang Pemerintah hanya berasal dari pinjaman luar negeri, kini hutang negara sudah berlipat dua. Hutang luar negeri Pemerintah mencapai US$ 64,49 miliar, sedangkan hutang obligasi negara sekitar Rp 779 triliun. Dengan hutang negara yang terus bertambah, target privatisasi 2008-2009 tidak lepas dari upaya Pemerintah untuk mengamankan pembayaran hutang. Tahun ini jumlah pembayaran hutang yang dianggarkan dalam APBN-P 2008 mencapai Rp 61,254 triliun untuk cicilan pokok dan Rp 94,79 triliun untuk cicilan bunga.
Benarkah tujuan privatisasi baik?
Pemerintah mengklaim privatisasi bukan untuk menjual BUMN, melainkan untuk memberdayakan BUMN agar lebih dinamis, transparan, kompetitif, dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam kepemilikan saham. Tentu saja klaim ini sangat tidak berdasar. Sebab, privatisasi merupakan penjualan aset-aset negara sehingga terjadi pemindahan kepemilikan dari harta milik negara/publik menjadi milik swasta (private sector).
Kemudian pandangan jika BUMN dikelola investor akan bertambah baik kinerjanya dan lebih transparan hanyalah akal-akalan Pemerintah saja. Faktanya, BUMN yang dijual bukanlah BUMN yang rugi dan berkinerja buruk. Justru BUMN yang memiliki perolehan laba yang sangat tinggi. PT Semen Gresik, misalnya, baru-baru ini melaporkan perolehan laba semester I 2008 mencapai Rp 1 triliun. Bahkan tidak jarang BUMN yang diprivatisasi memiliki peranan vital dalam perekonomian, seperti PT Pelindo II dan PT Pelindo III yang mengelola pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak, PT Telkom, PT Telkomsel dan PT Indosat yang menguasai sektor telekomunikasi Indonesia.
Juga tidak benar dengan memprivatisasi BUMN peran serta masyarakat dalam kepemilikan saham akan bertambah. Pertanyaannya, masyarakat mana yang dimaksud Pemerintah? Tentu yang bisa membeli saham BUMN di pasar modal hanyalah masyarakat menengah ke atas, sementara pembelian saham di lantai bursa tujuannya bukanlah investasi tetapi sekadar cari untung dari bermain saham, sehingga pada dasarnya kebijakan privatisasi berpihak kepada kaum bermodal, bukan pada rakyat secara keseluruhan.
Untuk menghindari resistensi, privatisasi dikemas dengan istilah yang berbeda-beda dengan alasan yang menyesatkan sebagaimana yang sering dikemukakan Pemerintah. Misalnya, untuk menjadikan Pertamina lebih transparan dan kompetitif di pasar global, Pemerintah memisahkan peran Pertamina sebagai regulator dan operator, memisahkan keterkaitan sektor hulu dan hilir migas. Contoh yang lain, PLN dipecah-pecah (unbundling) sehingga antara pembangkit listrik, distribusi dan retailnya tidak dalam satu kesatuan.
Jadi, berbagai alasan privatisasi yang dikemukakan Pemerintah merupakan suatu kebohongan publik. Alasan-alasan Pemerintah, argumentasinya dibangun oleh asing, khususnya World Bank, IMF, ADB, USAID, seperti yang tertuang dalam dokumen Legal Guidelines for Privatization Programs.
Mengapa Pemerintah tega membohongi rakyat dan untuk apa sebenarnya privatisasi BUMN?
Sebenarnya kebijakan privatisasi yang dilakukan Pemerintah tidak berdiri sendiri. Pemerintah kita berada dalam kendali kekuatan asing, di samping ada perang kepentingan para elit politik. Pertama: sejak Orde Baru kemandirian ekonomi sudah rapuh seiring dengan keterikatan negara kita terhadap lembaga-lembaga imperialisme seperti World Bank, Asian Development Bank, IMF, USAID, dan IGGI/CGI.
Negara-negara kapitalis dan perusahaan multinasional (MNC) memiliki kepentingan politik-ekonomi untuk menguasai sumberdaya alam dan pasar Indonesia. Karena itulah, mereka menggunakan lembaga-lembaga ini untuk merealisasikan penjajahan ekonomi di Indonesia. Mereka memberikan pinjaman yang didesain sedemikian rupa agar kita tidak dapat melunasi hutang luar negeri (HLN) selama-lamanya. Dengan HLN negara kita diikat untuk melayani mereka sehingga posisi Pemerintah Indonesia seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Misalnya, dalam rilis berita ADB, Project Information: State-Owned Enterprise Governance and Privatization Program, Indonesia diberikan pinjaman US$ 400 juta dengan syarat harus menjalankan program privatisasi. Pemerintah Amerika Serikat melalui USAID juga melakukan kerjasama dengan World Bank dalam pelaksanaan program privatisasi di Indonesia sebagaimana tertuang dalam dokumen USAID Strategic Plan for Indonesia 2004-2008.
Lembaga-lembaga ini memiliki peranan vital dalam memaksa liberalisasi ekonomi di Indonesia. Mereka menamakannya reformasi ekonomi (economic reform). Liberalisasi ekonomi semakna dengan pengamputasian peranan Pemerintah di dalam perekonomian. Karena itu, mengobral aset-aset negara merupakan syarat mutlak liberalisasi ekonomi Indonesia.
Pada 24-26 Juli lalu, delegasi negara-negara maju yang terhimpun dalam OECD di bawah pimpinan Sekjen OECD Angel Guria bertemu dengan Presiden SBY, Menteri Keuangan, Gubernur BI, dan pejabat tinggi negara lainnya. Mereka memuji Pemerintah Indonesia yang sudah menggolkan Undang-Undang Penanaman Modal. Namun, mereka menilai undang-undang yang sudah sangat liberal ini masih membatasi kepemilikan asing. Mereka meminta Pemerintah Indonesia tidak membatasi kepemilikan asing dan meliberalisasi sektor-sektor ekonomi yang dikuasai BUMN, khususnya industri-industri yang paling vital. Mereka menawarkan jika Indonesia berani menjual seluruh aset-aset vital kepada investor asing, Indonesia akan dimasukan menjadi anggota OECD. Presiden SBY menyambut baik tawaran OECD tersebut.
Kedua: para elit politik yang korup menjadikan privatisasi sebagai metode korupsi politik. Dalam kasus privatisasi Indosat 2002, partai politik yang berkuasa waktu itu disinyalir menerima komisi penjualan sebesar 7% untuk pemenangan Pemilu 2004. Sementara itu, banyaknya jumlah BUMN yang diprivatisasi dari 2008 hingga 2009 diindikasikan sangat berkaitan dengan Pemilu dan Pilpres 2009. Indikasi ini dilaporkan ICW dalam Corruption Outlook 2008. Indikasi yang lainnya, terjadi peningkatan laporan transaksi keuangan yang mencurigakan pada tahun ini. Menurut Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK), transaksi keuangan yang mencurigakan hingga Juni 2008 meningkat drastis menjadi 17.331 kasus.
Bagaimana pandangan Syariah Islam terhadap privatisasi?
Privatisasi merupakan bagian tak terpisahkan dari ideologi Kapitalisme yang menonjolkan kepemilikan individu atau kebebasan kepemilikan. Islam melarang kita mengadopsi konsep-konsep ekonomi yang secara asas bertentangan dengan akidah, apalagi fakta privatisasi menyebabkan kesengsaraan masyarakat dan ketidakmandirian perekonomian nasional.
Ide privatisasi pada dasarnya meniadakan peranan Pemerintah dalam perekonomian dan pelayanan publik, kemudian menyerahkannya kepada para investor. Ide ini berpijak pada pandangan Adam Smith yang menghendaki perekonomian berjalan tanpa campur tangan pemerintah atau laissez faire.
Paradigma laissez faire sangat bertentangan dengan paradigma Islam, yakni negara merupakan pengatur dan pelayan urusan umat (ri’âyah as-su’ûn al-ummah). Privatisasi memiliki konsekuensi semakin minimnya pelayanan publik dan penyediaan kebutuhan pokok bagi masyarakat oleh negara. Padahal Rasulullah saw. pernah bersabda, “Seorang imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan dia akan diminta pertanggungjawabannya terhadap rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dari sisi bidang usaha, sebagian BUMN bergerak di sektor pertambangan dan pengelolaan sumberdaya alam seperti PT Tambang Timah, PT Aneka Tambang, PT Pertamina, PT PGN, PT Semen Gresik, Perhutani; sebagian lagi berkaitan dengan penyediaan fasilitas umum atau memanfaatkan harta milik umum seperti PT Telkom, PT Jasa Marga, PT PLN. Bidang usaha BUMN ini termasuk harta milik umum sehingga Islam melarang negara menjual dan menyerahkan kepada investor sebagaimana hadis Rasulullah saw., “Kaum Muslim berserikat dalam tiga barang, yaitu air, padang rumput, dan api.”
BUMN-BUMN strategis yang memiliki peranan vital dalam perekonomian dan mengusung kepentingan nasional seperti PT Dirgantara, PT Pindad, PT Pal, PT Krakatau Steel, PT Kimia Farma, PT Indofarma, dan lain-lainnya, juga harus dikuasai negara. Jika BUMN ini dikuasai investor maka kepentingan nasional dan masyarakat berada dalam bahaya. Hal ini menyebabkan lemahnya kemampuan negara melaksanakan pembangunan dan pelayanan publik, sehingga BUMN-BUMN strategis juga harus dikuasai negara dan tidak boleh diprivatisasi. Rasulullah saw. melarang kaum Muslim, termasuk pejabat negara, melakukan kebijakan yang dapat membahayakan umat. Rasul bersabda, “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan membahayakan orang lain.”
Jadi, bagaimana sikap yang harus kita ambil terhadap kebijakan privatisasi BUMN?
Akibat privatisasi aset negara semakin menyusut, hutang Pemerintah semakin menggunung, sedangkan subsidi dan pelayanan publik semakin tidak diperhatikan. Masalah ini menjadi tanggung jawab bersama, termasuk para ulama, tokoh masyarakat, intelektual, politisi, militer, dan umat. Penjualan aset-aset negara harus dihentikan.
Karena itu, umat harus diberikan pemahaman yang benar mengenai hak-hak publik dalam Islam, bagaimana sistem Khilafah mengatur pelayanan publik dan aset-asetnya untuk kesejahteraan mereka. Dengan ini diharapkan umat memilih syariah dan Khilafah sebagai sistem kehidupan mereka, dan mencampakkan ide-ide kapitalis dari kehidupan bernegara dan bermasyarakat. []
Profil:
Nama: Hidayatullah Muttaqin, SE, MSI
TTL: Alabio/ 14 Juni 1979.
Pekerjaan: Dosen Tetap Ekonomi Pembangunan Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin
Organisasi: Ketua Lajnah Siyasiyah HTI Kalsel
Direktur Institut Ekonomi Ideologis Banjarmasin
Website: www.jurnal-ekonomi.org
artikel yang sangat menarik dan mengharukan, semoga kami generasi muda penerus perjuangan bangsa ini dapat selalu mengerti permsalahan bangsa dan belajar untuk memahami dalam mencari sedikit solusi. mohon beritahu kalau ada artikel baru, yang lebih mengarah ke nasionalime. terima kasih.