HTI

Liputan Khusus (Al Waie)

Kata-kata Kebenaran untuk Amerika

Siapapun tahu, AS saat ini adalah negara adidaya yang paling perkasa di dunia. Dengan kekuatan politik, ekonomi dan militernya, AS tak segan menginjak, menekan bahkan menyerang dan menghancurkan siapa pun yang mencoba menentangnya.

Sebagai gerakan dakwah, Hizbut Tahrir, salah satu prinsip dakwahnya adalah la ‘unfiyah (non-kekerasan). Karena itu, ‘senjata’-nya hanyalah kata; tentu bukan sembarang kata, tetapi kata-kata yang bisa meruntuhkan kebatilan dan menunjukkan kebenaran sejati.

Inilah serangkaian kisah Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia dalam ’menghadapi’ Kedutaan AS di Jakarta. Bukan kisah baru, tetapi mungkin menarik untuk disimak.


Penyerangan Irak

Tepat sehari sebelum penyerangan AS ke Irak, Maret 2003, di Jakarta terjadi demo besar yang diselenggarakan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Massa menyemut dari Bundaran HI menuju gedung Kedutaan AS di Jalan Medan Merdeka Selatan. Jubir HTI bersama delegasi pendemo, di antaranya Hidayat Nur Wahid, Adhyaksa Dault, Anis Matta, Tuti Alawiyah dan lainnya, diterima oleh Duta Besar AS, Ralp L. Boyce. Suasana ruang pertemuan tegang. Penjagaan ketat. Duta Besar duduk di tengah menghadap kepada seluruh anggota delegasi yang duduk membentuk format huruf U. Wajah lelaki berambut dan berjenggot putih dengan kacamata tebal tampak keruh.

Satu-persatu anggota delegasi menyampaikan aspirasinya. Semua dengan nada keras. Tiba giliran Jubir HTI angkat bicara. Dengan lantang, dimulai dengan pertanyaan tajam, “Atas hak apa Anda menyerang Irak? Kalau dikatakan untuk menghancurkan senjata pemusnah massal, bukankah Komisi Independen PBB telah menyatakan tidak menemukan senjata itu dan meminta waktu untuk penyelidikan lebih lanjut? Kalau dikatakan untuk menghancurkan sarang teroris, bukahkah juga tidak ada laporan yang menyebut ada hubungan antara apa yang disebut al-Qaida dengan Saddam? Kalau tidak ada itu semua, mengapa Anda tetap saja menyerang? Jadi, siapa sebenarnya yang teroris?”

Meski mungkin gerah, sang Duta Besar berusaha tenang. Akhirnya, Jubir menyatakan, “Terakhir, saya ingin mengundang nurani Anda. Kalau diandaikan sekarang bukan Irak yang diserang, tapi negara Anda yang diserang oleh negara lain yang lebih kuat. Di sana Anda menyaksikan, rumah Anda hancur, istri dan anak Anda terbunuh. Apa yang akan Anda lakukan?”


Senjata Pemusnah Massal

Sekitar 3 bulan kemudian sejak demo besar menentang invasi AS ke Irak itu, mungkin dengan maksud melakukan pendekatan, John Rath, Sekretaris 1 Bidang Politik Kedutaan Besar AS di Jakarta meminta untuk bertemu dengan Jubir HTI. Ringkas cerita, terjadilah pertemuan itu di sebuah hotel berbintang di bilangan Kuningan Jakarta. Belum lagi duduk sempurna, Jubir sudah bertanya kepada Rath, “Mana senjata pemusnah massalnya?”

Ketika itu, meski sudah menguasai Irak hampir tiga bulan, tidak juga ditemukan senjata pemusnah massal yang disebut-sebut oleh AS dikembangkan oleh Saddam.

Terkejut dengan pertanyaan itu, John Rath, Muslim beristrikan perempuan asal Garut itu, balik bertanya, “Apakah Anda menuduh kami berbohong?”

“Saya tidak menuduh Anda berbohong. Saya cuma bertanya, mana senjata pemusnah massalnya? Bukankah Anda yang mengatakan bahwa Amerika harus menyerang Irak untuk menghancurkan senjata pemusnah massal? Jadi, wajar, kan, sekarang saya bertanya, mana senjata itu?” jawab Jubir enteng.

Lalu ia berusaha menjelaskan, “Kalau sekarang belum ditemukan, kan ada beberapa kemungkinan.”

“Oke, sekarang sebutkan kemungkinan-kemungkinan itu.”

“Pertama, senjata itu sudah dipindahkan oleh Saddam.”

Dengan cepat, Jubir memotong, “Itu kemungkinan mustahil, sebab sebelum menyerang saja, Anda bilang sudah tahu posisinya. Kalau benar senjata-senjata itu dipindahkan Saddam, pasti Anda juga akan tahu. Terus kemungkinan kedua?”

“Mungkin sudah dihancurkan.”

“Sama dengan kemungkinan pertama, ini juga mustahil. Anda tentu juga akan tahu. Terus apa kemungkinan ketiga?”

“Ya, memang tidak ada,” jawabnya sekenanya.


Citra AS

Meski gemar menebar angkara murka di seantero dunia, ternyata Amerika Serikat sangat peduli terhadap citra dirinya di dunia. Suatu hari diadakan pertemuan antara tokoh-tokoh pemuda dari berbagai ormas Islam Indonesia dengan Direktur Urusan Asia Kementrian Luar Negeri AS di salah satu rumah di kompleks Kedutaan AS di kawasan Taman Suropati, Menteng, Jakarta. Topiknya tidak lain soal citra Amerika di mata Dunia Islam.

Hadir pada kesempatan itu sejumlah tokoh dari berbagai ormas Islam dan organisasi kepemudaan Islam tingkat pusat. Berbagai saran diberikan untuk meningkatkan citra AS di Dunia Islam. Ada yang mengusulkan pertukaran pemuda. Ada lagi yang mengusulkan pendekatan budaya dan pendidikan dengan meningkatkan bantuan pendidikan dan kampanye budaya, seperti terbitnya buku berjudul Islam di Amerika. Lalu ada lagi yang mengusulkan untuk mengadakan forum dialog dan sebagainya.

Menanggapi hal itu, Jubir HTI mengatakan, “Anda boleh saja melakukan semua yang disarankan tadi, kampanye, dialog, pertukaran pemuda dan sebagainya untuk meningkatkan citra negeri Anda di negeri Muslim. Tapi, selama perlakuan Anda terhadap negeri-negeri Muslim seperti di Palestina, Afganistan, Irak dan sebagainya tidak berubah, jangan harap citra negeri Anda akan berubah menjadi baik. Anda boleh berbicara apa saja tentang negeri Anda, tapi politik luar negeri Anda atas negeri Muslim yang tidak adil, menindas dan menimbulkan keonaran adalah fakta yang tak terbantahkan. Itu semua lebih berpengaruh daripada kampanye untuk meningkatkan citra yang akan Anda lakukan, seperti pepatah bilang, “The facts speak louder than words.”

Tampak agak masygul mendengar ucapan Jubir, Ibu Direktur ini menjelaskan panjang lebar mengenai politik luar negeri AS atas negeri-negeri Muslim. Semua itu tentu sangat berbau apologia.

Masih soal citra, beberapa waktu sepulang Jubir dari Universitas Harvard di AS, memenuhi undangan untuk berbicara dalam Konferensi Internasional tentang “Islamic Law in Modern Indonesia”, April 2004, John Rath meminta lagi bertemu. Kali ini, segera setelah jumpa, dia yang bertanya lebih dulu, “Apakah ada perubahan penilaian Pak Ismail terhadap Amerika setelah berkunjung ke sana?”

Mungkin ia berharap, setelah sekian hari melihat langsung keadaan Amerika Serikat, Jubir kemudian berubah. Mungkin, hal seperti itu sering ia jumpai pada aktifis Islam yang setiap kali datang ke AS lantas berubah sikap. Menilik keadaan negara-negara maju yang memang secara fisik tampak lebih teratur dan lebih wah dan mempesona, tanpa bekal kesadaran ideologi yang kokoh, perubahan-perubahan semacam itu sangat mungkin terjadi.

“Pak Rath,” sapa Jubir, “Apa yang saya lihat, semua adalah politik dalam negeri Amerika. Baik atau buruk, semua itu mengenai warga negara Anda sendiri. Padahal, yang selama ini kami persoalkan adalan politik luar negeri Anda di Palestina, di Afganistan, Irak dan sebagainya. Jadi bagaimana saya bisa berubah hanya dengan melihat keadaan dalam negeri Anda, sementara politik luar negeri Anda, khususnya atas negeri-negeri Muslim, tidak berubah?”

Wallâhu a’lam bi ash-shawb [Kantor Jubir HTI-Jakarta]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*