Apatis. Barangkali itu salah satu kata yang dapat menggambarkan
psikologis politik banyak masyarakat di Indonesia. Orang-orang tidak peduli
terhadap proses politik semu yang berjalan. Hasilnya, berbagai pemilihan kepala
daerah (Pilkada) dimenangkan oleh golput. Golput pada Pilkada di Kalsel sebesar
40%, di Sumbar 37%, di Jambi 34%, di Kepulaian Riau 46%, di Banten 40%, di
Daerah Khusus Ibukota Jakarta 35%, Jawa Barat 33%, Jawa Tengah 44%, dan
Sumatera Utara 43%. Terakhir, golput pada Pilkada di Jawa Timur secara
keseluruhan sebesar 39,2%. Fenomena ini lebih menegaskan sikap masyarakat yang
makin tidak percaya kepada elit politik.
Menjelang pemilihan umum (Pemilu) 2009 tidak sedikit masyarakat yang
cenderung bersikap apatis. Menurut survei, ada 69,0% masyarakat tidak merasa
dekat dengan salah satu partai politik. Hanya 24,3% saja yang merasa dekat
dengan partai politik tertentu. Artinya, sekitar 76% merupakan massa mengambang
yang dapat menentukan pilihan kemana-mana (Indo Barometer, Juli 2008).
Massa mengambang seperti ini dapat berubah-ubah. Persoalannya adalah bagaimana
meraih massa mengambang ini hingga mendukung partai Islam ideologis.
Penyebab
Mengapa fenomena golput dan massa mengambang terjadi demikian besar?
Pertanyaan ini penting dijawab sebelum berbicara tentang bagaimana meraih massa
tersebut. Sebab, sejatinya, alternatif pilihan masyarakat saat ini adalah
partai-partai Islam, tetapi ternyata tidak.
Siapapun yang mengikuti dinamika masyarakat kekinian akan menemukan
beberapa faktor penyebab tersebut. Pertama: kegagalan partai
dalam berpihak kepada masyarakat. Keinginan masyarakat pada partai yang
benar-benar memperjuangkan aspirasi Islam sangat ditunggu-tunggu. Survei yang
dilakukan oleh Roy Morgan Research pada awal 2008, melibatkan 8.000 responden
dari seluruh negeri, menemukan bahwa 52 persen orang Indonesia mengatakan bahwa
syariah Islam harus diterapkan di wilayah mereka. Pada survei yang lain yang
diadakan oleh aktivis gerakan nasionalis pada 2006, sebanyak 80 persen
mahasiswa memilih syariah sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara.
Penelitian tahun 2003 oleh PPIM-UIN Jakarta menggambarkan 74% masyarakat
Indonesia menghendaki penerapan syariah Islam. Bahkan tahun 2008 hasil
penelitian SEM-Institute menunjukkan rakyat yang setuju dengan penerapan
syariah Islam di Indonesia mencapat 83%.
Namun, mengapa keinginan kuat terhadap syariah ini tidak mewujud dalam
dukungan terhadap partai politik Islam? Ternyata, penelitian Indo Barometer
(2008) menunjukkan persepsi masyarakat bahwa tidak ada bedanya partai Islam
dengan partai lain (43,3%), dan perilaku elit/pengurus dari partai Islam sama
dengan partai lain yang bukan dari partai Islam (34,8%). Wakil-wakil rakyat di
DPR pada periode ini menunjukkan perilaku yang mirip dengan wakil rakyat dari
partai sekular. Pembelaan wakil rakyat terhadap kepentingan umat Islam tidak
tampak. Justru sebaliknya, terbaca oleh masyarakat, partai-partai yang ada, tak
terkecuali partai Islam, hanya menjadikan parlemen sebagai ajang untuk mencari
penghidupan dan berebut kue kekuasaan. Kalangan DPR, termasuk dari partai Islam
justru setuju dengan kenaikan harga BBM. Ketika masyarakat teriak-teriak antri
minyak tanah dan harga sembilan kebutuhan pokok melambung, kebanyakan para
wakil rakyat hanya diam.
Kedua: kegagalan
pendidikan politik ideologis. Hal ini adalah akibat politik pragmatisme yang
menguasai kancah perpolitikan saat ini. Sikap pragmatis bukan menguntungkan
umat Islam dan partai Islam, justru merugikan. Pragmatisme akan mendegradasi
tujuan dan cita-cita perjuangan Islam. Siapapun tak dapat menyangkal, pragmatisme
berarti harus merelakan diri menyesuaikan diri dengan keadaan/fakta; artinya
melepaskan nilai-nilai dasar perjuangan dan ideologi partai yang telah
digariskan. Karakter dasar partai Islam akan luntur. Memang bisa saja berdalih,
itu semua masih dalam koridor Islam. Namun, dalih ini sebenarnya hanya pemanis
mulut, bukan arus utama.
Proses pendidikan politik masyarakat mandeg. Apa yang dilihat oleh
masyarakat hanyalah dagelan elit politik. Partai-partai hanya menyapa rakyat
ketika akan Pemilu atau Pilkada. Kaderisasi, penanaman Islam sebagai way of
life, dan pemikiran politik tidak tergarap. Sumberdaya hanya dikerahkan
demi suara. Wajar belaka jika kesadaran politik rakyat tidak meningkat.
Ketiga: pembusukan
citra partai Islam. Tidak dapat dipungkiri, ada upaya untuk mencitraburukkan
partai Islam. Hal sederhana, masalah poligami dipolitisasi sedemikian rupa
sehingga seakan-akan pelakunya berbuat kriminal. Belum lagi, isu kekerasan
terus dilekatkan pada gerakan/lembaga dan partai Islam. Untuk menghindari hal
tersebut, bergeraklah partai Islam untuk meninggalkan ideologi Islam, citra
Islam, bahkan simbol-simbol Islam. Alih-alih bersifar ofensif menawarkan Islam
sebagai solusi, justru sibuk cuci-tangan terhadap pelekatan Islam pada dirinya.
Sudah dapat ditebak, partai Islam pun tinggal sekadar nama.
Keempat: skandal politisi. Sudah menjadi rahasia umum
citra politisi baik DPR maupun pejabat pemerintah, jeblok di mata masyarakat.
DPR dilanda skandal seks sebagian anggotanya; kasus suap dan gratifikasi yang
begitu telanjang dilakukan anggota DPR. Tingkat kesadaran anggota DPR
melaporkan gratifikasi hanya 1,9%. Main-mata dalam setiap pembuatan
undang-undang bukan rahasia lagi. Semua ini bukan hanya melibatkan partai
sekular. Partai yang menamakan dirinya Islam sekalipun ada yang terlibat di
dalamnya. Lembaga Survei Indonesia menyebutkan kepuasan publik terhadap
pemerintah dalam 3 tahun terakhir turun, dan kepercayaan rakyat terhadap DPR
pun di bawah 50%.
Last but not least,
penyebab utamanya adalah sistem demokrasi itu sendiri. Dalam sistem demokrasi
opini menjadi penting. Orang harus terkenal untuk bisa memenangkan Pemilu. Uang
pun digelontorkan untuk beriklan di media massa. Kampanye pun membutuhkan dana
yang tidak sedikit. Darimana uangnya? Dari para anggota partai yang menjadi
pejabat, para pengusaha, atau asing. Tidaklah mengherankan, anggota DPR makan
suap, karena sebagian uangnya masuk ke dalam kocek partai. Begitu juga, logis
sekali main-mata dengan pengusaha dan asing hingga pembuatan UU selalu berpihak
kepada mereka karena mereka dibiayai oleh para pengusaha dan asing itu. Negara
pun berubah dari nation state (negara-bangsa) menjadi corporate state
(negara-perusahaan). Negara laksana sebuah perusahaan besar: para konglomerat
sebagai pemilik modal; para pejabat menjadi pengelolanya; dan rakyat sebagai
pihak pembeli yang dieksploitasi. Pilkada dan Pemilu pun tidak lebih dari suatu
industri politik. Karenanya, mempertahankan sistem demokrasi sama dengan
memelihara penyakit.
Melepas Pragmatisme
Kondisi saat ini menjadi lebih parah dengan adanya ideologi
pragmatisme yang dijadikan pegangan partai-partai, termasuk partai yang
menyebut partai Islam. Dalam situasi politik yang didominasi oleh kepentingan
sesaat seperti sekarang, bukan persoalan mudah untuk tidak tergiring dalam arus
pragmatisme. Apalagi jika orang-orang yang menjadi anggota partai politik Islam
tidak memiliki tameng diri yang kuat. Permasalahannya, pragmatisme seperti
sudah menjadi budaya sehari-hari yang sudah kadung mendarah daging.
Namun, bukan berarti itu tidak bisa dihindari oleh partai-partai
Islam. Caranya, partai-partai harus kembali memahami asas perjuangannya, yakni
Islam dan cita-cita Islam itu sendiri, bagaimana harus diterapkan. Partai Islam
harus secara lantang menolak berbagai UU yang lahir dari sekularisme dan
bertentangan dengan Islam. Partai Islam harus terus melakukan koreksi terhadap
berbagai kebijaan keliru penguasa (muhâsabah hukkâm). Para anggota
partai Islam harus ingat betul bahwa mereka berjuang untuk Islam, karenanya mereka
bergabung dengan partai Islam. Jangan sampai terbalik, dengan dalih Islam,
mereka berebut mencari penghidupan dengan duduk sebagai wakil rakyat, setelah
itu lupa akan tujuan pembentukan partai Islam itu sendiri.
Karenanya, jika partai-partai Islam ingin meraih dukungan yang
signifikan, tidak ada jalan lain, mereka harus mendefinisikan dirinya kembali
sebagai partai Islam sesungguhnya, bukan sekadar nama belaka. Partai-partai
Islam lama harus jantan dan berani mengoreksi diri, bahwa apa yang mereka lakukan
sebelumnya tidak tepat. Posisi abu-abu yang selama ini mendominasi harus segera
disingkirkan. Adapun bagi partai-partai Islam baru, mereka pun harus berani
mendobrak kebuntuan saluran aspirasi Islam dan umat Islam yang selama ini
tertutup. Jatidiri sebagai partai Islam sejati harus ditunjukkan. Jangan
sekali-kali pernah meniru perilaku salah yang pernah terjadi sebelumnya. Tegas
menyatakan yang benar sebagai benar dan yang salah sebagai salah. Jadikan
parlemen sebagai mimbar dakwah. Konsekuensinya, berbagai hal yang bertentangan
dengan syariah Islam akan ditentangnya.
Dalam kaitan itu, pembinaan kader-kader partai Islam tidak bisa
diremehkan. Partai Islam harus melahirkan kader-kader pejuang Islam, bukan
kader karbitan yang didapat di jalanan. Partai-partai Islam harus selalu
mewaspadai penumpang-penumpang gelap yang berusaha mendompleng partai untuk
kepentingan uang dan kepentingan pribadi. Partai Islam akan besar jika didukung
oleh ideologi Islam yang kuat dan kader pejuang Islam yang mumpuni.
Kini saatnya partai-partai Islam meniti jalan Islam yang sesungguhnya,
sesuai khittahnya sebagai partai pembawa suara Islam (shawt al-Islâm),
bukan sekadar basa-basi.
Menggarap Massa
Masyarakat mulai apatis. Partai-partai yang ada sulit dijadikan
harapan. Ada satu yang harus dilakukan, yakni bagaimana menggarap massa seperti
itu hingga benar-benar menjadi pendukung dan benteng perjuangan Islam.
Ada beberapa hal yang segera harus dilakukan. Pertama:
memperkuat partai ideologis. Partai ideologis (hizb[un] mabda’i) merupakan
partai yang berbasis akidah islamiyah dan memperjuangkan syariah Islam sebagai
konsekuensi dari akidah tersebut, sebagai perwujudan dari QS Ali ’Imran ayat
104. Ideologinya Islam. Jalan yang ditempuhnya jalan Rasulullah saw. dan para
Sahabat. Arah perjuangannya menegakkan hukum Allah Swt. (syariah Islam).
Tujuannya adalah melanjutkan kehidupan Islam (isti’nâf hayât al-islâmiyyah).
Metode pelaksanaannya memerlukan sistem kehidupan yang utuh dan menyatu
sebagaimana yang dicontohkan Nabi saw. dan diwariskan oleh para Sahabat, yakni
sistem Khilafah, tempat bersatunya kaum Muslim. Partai seperti ini merupakan
entitas yang bergerak dan berjuang di tengah-tengah masyarakat dan bersama-sama
dengan mereka.
Kedua: memperkuat konsistensi metode (tharîqah)
perjuangan yang ditempuh. Tharîqah bersifat tetap. Jika melihat sirah
Rasulullah Muhammad saw., jelas bahwa tharîqah yang ditempuhnya diawali
dengan kaderisasi/pembinaan umat (tatsqîf al-ummah). Ada dua pembinaan
yang beliau lakukan, kaderisasi dan pembinaan umum di bukit Shafa, undangan
makan, di kebun-kebun kurma, dll. Hasilnya: munculnya kader-kader pejuang
sekaligus terbentuknya opini umum di tengah masyarakat, yang memiliki kesadaran
umum tentang pentingnya penegakkan Islam sebagai pengganti sistem buruk yang
selama ini menzalimi rakyat. Perjuangan Islam haruslah berbasis kesadaran umat
akan kewajiban memperjuangkan Islam, bukan kerelaan memberikan suara saat
Pemilu.
Ketiga: berjuang untuk kepentingan umat. Partai dibuat
untuk membela kepentingan rakyat. Tanpa pembelaan terhadap kepentingan mereka
seperti dalam persoalan BBM, harga sembako, pendidikan, pupuk petani, nelayan,
dll; berarti partai telah kehilangan ruhnya.
Keempat: membangun nafsiyah aktivis partai. Partai
Islam ideologis merupakan partai yang ditopang oleh para aktivis yang takut
kepada Allah, tidak terdorong melakukan kemaksiatan, rajin ibadahnya, besar
pengorbanannya, mendudukkan partai bukan untuk cari makan tetapi tempat
memperjuangkan Islam, selalu terikat dengan hukum syariah, dll hingga
benar-benar menjadi suri teladan.
Kelima: memperkuat edukasi politik kepada umat tentang
syariah dan Khilafah. Rakyat sudah apatis. Saatnya mendidik mereka dengan
akidah dan syariah dari Allah Swt. Pembinaan syariah dan penyatuan umat ke
dalam Khilafah menjadi sebuah keniscayaan. Sebab, dis itulah solusinya.
Setiap komponen umat penting melakukan penyadaran Islam. Massa
mengambang harus berubah menjadi massa pendukung Islam. Insya Allah. [MR
Kurnia]