Pengantar:
Fenomena Pilkada memperlihatkan bahwa partai-partai, khususnya partai Islam, semakin bersifat pragmatis. Kepentingan-kepentingan jangka pendek terlihat begitu mendominasi pengambilan keputusan politik. Tampak bahwa kepentingan lebih menonjol daripada ideologi. Apakah ini pertanda bahwa partai-partai itu telah luntur ideologinya dan digantikan oleh kepentingan? Atau bahkan menunjukkan partai itu sebenarnya nir-ideologi? Apa efeknya terhadap masyarat dan sikap terhadap Islam? Lalu seberapa penting dan bagaimana mewujudkan partai politik ideologis itu? Untuk membahas seputar masalah krisis partai ideologis ini, redaksi al-wa’ie mewawancarai Prof. Djaja Saefullah. Berikut petikannya.
Bagaimana Bapak melihat parpol Islam sekarang?
Terus terang, sulit untuk mengatakan bahwa itu adalah parpol Islam, seperti halnya (sulit) mengatakan bahwa di Indonesia ada partai politik. Dilihat dari literatur-literatur yang ada, di Indonesia itu tidak ada partai politik, kalau dilihat dari sisi ideologi, karena ketidakjelasan ideologi. Apalagi berbicara tentang partai politik Islam. Kita juga harus bertanya, apa sih yang dikatakan partai politik Islam itu? Jadi, bukan hanya mencantumkan bahwa asasnya asas Islam, tetapi mulai dari visi, program dan perilaku orang-orangnya harus islami, baru dikatakan partai Islam. Jangan menyatakan partai Islam hanya karena mencantumkan asasnya Islam. Jadi, tentang partai politik Islam, harus kembali dulu pada pertanyaan, apakah memang ada partai politik Islam?
Menurut Bapak, di Indonesia ada atau tidak parpol Islam?
Dilihat secara kâffah tidak ada, kalau asasnya Islam, iya. Jadi, yang ada adalah partai berasaskan Islam. Kalau berbicara partai politik Islam, bukan hanya asas, tetapi mulai dari visi, misi, program dan perilaku orang-orangnya harus islami. Kemudian kalau di partai itu dikenal lobi-lobi, ia tidak mengabaikan keislaman atau Islamnya. Karakter Islamnya itu harus kelihatan. Jadi, karakter Islam itu bukan hanya kelihatan pada lembaganya saja, tetapi harus kelihatan pada orang-orangnya sendiri.
Jadi betul kalau dikatakan bahwa sekarang ada krisis partai Islam ideologis?
Betul. Sekarang itu sulit. Kalau pada Pemilu tahun 1955 kelihatan beda antara partai Islam dan bukan Islam. Sekarang, sulit batas-batasnya; mana (partai) yang islami dan yang tidak islami. Mungkin kalau asasnya Islam, tetapi programnya bagaimana islami atau tidak? Mungkin programnya ya, tetapi perilaku orang-orangnya apakah islami atau tidak?
Dalam konteks politik sekarang, mengapa parpol Islam tidak bisa dibedakan dengan parpol non-Islam?
Karena semua berdasar kepentingan, kepentingan jangka pendek. Contohnya sekarang, ramai menghadapi Pemilu dan Pilkada sehingga kepentingannya pada kursi dan kepala daerah. Antara partai Islam dan non-Islam, bahkan yang berbeda agama, mohon maaf, malah bisa koalisi hanya untuk merebut kursi baik legislatif maupun eksekutif pimpinan daerah. Jadi, jangka pendek melihatnya. Kalau betul-betul partai, ya harus melihat ke depan. Bagaimana mengatur negara, sistem pemerintahan berdasarkan idelogi yang dipegangnya. Jadi, harus diyakini dulu. Ini akan kelihatan dan kembali kepada orang-orangnya.
Bisakah dikatakan bahwa sekarang parpol Islam mengalami krisis ideologi, atau bahkan menjadi partai nir-ideologi?
Bahkan bagi saya tidak jelas ideologinya. Makanya tadi, hanya mencantumkan asas Islam, nama Islam atau simbol Islam. Tapi perilakunya, baik lembaga ataupun individu, sulit. Hampir tidak kelihatan yang islami. Apalagi berhadapan dengan kepentingan, bisa berupa kursi atau kepentingan di dalam pengambilan kebijakan tertentu.
Apa yang menyebabkan begitu?
Pertama: karena ketidakjelasan ideologi. Kedua: karena faktor manusianya. Rekrutmen anggota kepartaian saat ini sudah tidak jelas, bahkan sudah dipaksakan. Kalau dulu, partai itu untuk menjadi anggota tidak semudah sekarang; mulai dari simpatisan sekian tahun, lalu calon anggota; calon anggota itu harus mengikuti kursus-kursus mulai tingkat basic, intermediete dan leadership. Kalau sudah teruji baru menjadi anggota. Kalau tidak jadi anggota tidak mungkin jadi pengurus, karena pengurus itu juga dari bawah. Sekarang malah bisa langsung jadi caleg, bahkan keluar dari partai yang satu, langsung menjadi caleg di partai yang lain. Jadi krisisnya itu: ideologinya tidak jelas; juga sumberdaya manusianya. Bagaimana dikatakan partai Islam kalau sumberdaya menusianya tidak islami. Orangnya Islam, namanya Islam, partainya Islam dan bahkan organisasinya Islam. Sebab, bagaimanapun, termasuk sistem negara, itu bergantung pada orangnya. Bagaimanapun sistemnya baik secara konseptual, kalau orangnya buruk, ya hasil pelaksanaannya buruk. Jadi, bagi saya masalahnya itu karena ideologinya sudah tidak jelas.
Seberapa penting adanya partai yang bersifat ideologis dan perjuangannya yang bersifat jangka panjang itu?
Kalau yang namanya partai, ya bukan jangka pendek, tetapi harus jangka panjang. Justru harus jelas ideologinya. Partai Islam harus punya visi menegakkan Islam di Indonesia yang seluas-luasnya dan setinggi-tingginya. Jangan satu sisi mengatakan kâffah, tetapi di sisi lain parsial saja. Ini harus dipahami oleh semua, baik pengurus maupun anggotanya, apalagi yang namanya caleg-caleg, karena mereka akan terlibat dalam perumusan kebijakan. Itu harus melihat jangka panjang. Jadi harus melihat ke situ. Umpamanya melihat bagaimana membangun Indonesia, itu bukan hanya untuk lima-sepuluh tahun, tetapi jauh ke depan. Ini harus dimulai dari manusia yang bagaimana yang dikehendaki. Tentu saja kalau partai Islam yang dikehendaki haruslah manusia-manusia yang islami.
Kalau partai itu ideologinya tidak jelas, apakah ada efeknya kepada umat?
Tentu ada efeknya. Masyarakat kita daya nalarnya masih rendah; masih menangkap situasi secara emosional, belum secara rasional. Jadi akan jadi bumerang bagi Islam. Mereka akan berpandangan, “Ah partai Islam juga begitu, tidak ada bedanya.” Jadi nanti bisa merendahkan sendiri. Apalagi yang dianutnya itu kan parsial, tidak utuh; mana yang menguntungkan diambil. Jadi, ada dampaknya secara jangka panjang. Masyarakat bukan hanya tidak percaya pada partai Islam. Dikhawatirkan merembet jadi tidak percaya pada Islam. “Ah, Islam juga begitu.” Sekarang kan kelihatan, (masyarakat) sudah tidak percaya pada partai. Masyarakat yang golput itu bukan hanya tidak percaya pada partai sekuler, tetapi termasuk juga pada partai Islam.
Apa yang harus diperhatikan untuk mewujudkan parpol ideologis?
Kita harus ada keberanian, walau tantangannya besar. Kalau mau memperjuang-kan Islam, ya harus melalui partai politik. Tapi harus kuat, bukan hanya untuk kepentingan, apalagi untuk bargaining (untuk mendapatkan posisi). Jangan melihat satu-dua Pemilu, tetapi harus jauh ke depan. Seperti di Jerman, kan ada partai yang sekian puluh tahun baru berkuasa; atau seperti di Aljazair atau di Turki. Harus begitu, jauh ke depan. Mungkin hasilnya tidak bisa dirasakan oleh pengurus yang sekarang atau bahkan generasi sekarang, tetapi oleh generasi yang akan datang. Namun, fundamennya harus dibangun dari sekarang. Jadi harus ada keberanian bagaimana menanamkan bahwa Islam itu, ini. Kemudian keanggotaan jangan melihat massa, tetapi harus menjadi partai kader. Jadi, harus melalui kaderisasi, pembinaan. Ini saya kira penting kalau betul-betul ingin memperjuangkan Islam melalui partai politik.
Bagaimana dengan fenomena golput yang jumlahnya cukup besar bahkan menjadi “pemenang Pemilu/Pilkada”?
Sekarang yang terjadi adalah ketidakpercayaan pada parpol, lalu kepada orangnya. Jadi, sekarang itu sudah jenuh; sudah tidak percaya pada partai, akhirnya memilih golput. Menurut saya, kebanyakan itu berasal dari kelas menengah.
Ada yang mengatakan bahwa golput itu karena tidak tercatat?
Golput itu menurut saya justru orang yang sadar, menunjukkan ketidaksetujuan pada situasi sekarang; juga bukan masalah administrasi karena tidak tercatat. Memang itu ada, tetapi kecil. Yang lebih banyak orang-orang yang tercatat dan sadar.
Apa yang harus dilakukan dengan fenomena golput ini?
Justru yang golput ini harus digarap, meski kita tidak tahu batas-batasnya. Caranya, ya diberikan alternatif. Maksudnya kalau betul-betul Anda memperjuangkan Islam melalui partai politik, ini yang harus digarap. Jadi, harus lahir satu partai lain sebagai alternatif. Terus terang, tempo hari ada partai A yang dianggap lebih bagus, tetapi akhirnya saya juga termasuk yang kecewa. Tidak tahan dengan godaan material dan syahwat kekuasaan. Jadi, melihatnya jangan lima sepuluh tahun, tetapi jangka panjang jauh kedepan. Inilah partai politik Islam yang sebenarnya. Memang tidak mudah. Jadi, golput ini mesti digarap, diberikan alternatif, tetapi yang meyakinkan.
Bagaimana tentang partai yang bergerak di luar parlemen, yang di antaranya fokus melakukan edukasi politik kepada masyarakat?
Yang penting saya kira partai politik itu bukan dalam arti nama, yakni menyebut diri partai politik Islam. Namun, mungkin ada satu organisasi atau lembaga yang betul-betul memperjuangkan Islam. Kan banyak partai yang sebelumnya bukan partai politik. Tapi disayangkan, setelah jadi partai politik, lantas tergoda oleh kekuasaan. Yang seperti ini harus disadari. Kalau sudah jadi menamakan diri partai politik, bahkan organisasi secara umum, kan ada saja kemungkinan orang menyusup. Saya bukannya su’uzhan, tetapi kemungkinan itu kan ada. Oleh karena itu, kalau perjuangannya bukan jangka pendek, tetapi jangka panjang, jangan tergesa-gesa muncul sebagai partai. Sekarang ini kan mudah membuat partai. Lima puluh orang bersama-sama datang ke notaris bisa bikin partai. Sekarang, betul-betul lembaganya apa, bagaimana dan sebagainya. Nah, Hizbut Tahrir, sebelum waktunya, jangan dulu memproklamirkan jadi partai; kecuali kalau sudah kuat, di mana-mana ada, nah baru.
Pesan Bapak kepada masyarakat, parpol dan Hizbut Tahrir?
Masyarakat, kalau memilih atau tidak, hendaknya dengan disertai kesadaran. Jangan hanya emosional, tetapi yang rasional.
Partai politik hendaknya betul-betul sebagai partai politik, karena menurut saya, sekarang belum betul-betul ada partai politik, karena melihatnya hanya jangka pendek.
Hizbut Tahrir, kalau tujuannya adalah memperjuangkan Islam, perjuangkanlah, tidak usah mulai parpol dulu. Pada satu ketika, bisa saja muncul; tetapi secara rapi, strateginya bagaimana. Untuk sekarang justru lebih bebas kalau bukan parpol. Untuk daerah ini, pendekatan dakwahnya begini. Untuk daerah itu, begitu. Ini kan dari sisi strategi dakwah. Sekarang adalah bagaimana membuat kader yang kuat sehingga betul-betul yakin. Nanti siapa tahu, sekian belas tahun, bisa saja. []