Kalimantan Timur pada mulanya meliputi Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, Kesultanan Bulungan, Kesultanan Berau (Sambaliung & Gunung Tabur) dan Kesultanan Pasir, yang semuanya memerintah berdasarkan syariah Islam.
Seiring penerimaan Kesultanan Islam lainnya di berbagai penjuru Nusantara untuk bergabung dalam pemerintahan Indonesia yang baru merdeka, kesultanan-kesultanan tersebut dengan status Daerah Swapraja masuk ke dalam Federasi Kalimantan Timur dan membentuk Dewan Kesultanan, kemudian pada 27 Desember 1949 bergabung dalam Republik Indonesia Serikat.
Status Daerah Swapraja kemudian berubah menjadi daerah Otonom atau Istimewa pada tahun 1953, lalu pada tahun 1959 kembali diubah status menjadi daerah tingkat II. Kabupaten Paser yang sebelumnya masuk ke daerah Kalimantan Selatan dimasukkan kembali ke Kalimantan Timur. Sejak itu pemekaran demi pemekaran terus dilakukan.
Sinergi Dakwah Multi Sektor: Kunci Penerimaan Islâm
Senada dengan pola dakwah Islam di berbagai penjuru Nusantara lainnya, para penerus dakwah Nabi di Kalimantan Timur juga menyampaikan seruan Islam ke segenap elemen masyarakat, mulai dari kalangan rakyat biasa, para pemuka masyarakat hingga kalangan keluarga kerajaan yang umumnya masih menganut Hindu.
Keberanian dan keberhasilan menyampaikan kebenaran Islam di kalangan Istana menjadi tonggak akselerasi percepatan penerimaan masyarakat yang memiliki loyalitas sangat tinggi kepada rajanya, untuk lebih terbuka juga menerima Islam. Terukir harumnya kemasyhuran nama Syaikh Abdul Qadir atau Abdul Makmur Khatib Tunggal yang bergelar Datuk ri Bandang (Tuan Di Bandang) dan Syaikh Yusuf Abdul Jawad Khatib Bungsu atau Datuk ri Tiro yang dikenal dengan gelar Tuanku Tunggang Parangan ini berhasil mendakwahkan Islam di kalangan raja dan pembesar Kerajaan Kutai Kartanegara. Keduanya datang ke Jaitan Layar (Ibukota Kutai Kartanegara waktu itu; sekarang Kutai Lama) setelah mengislamkan raja dan rakyat Kerajaan Goa–Tallo. Beliau berdua, bersama Syaikh Sulaiman Khatib Sulung yang populer dengan gelar Datuk Patimang adalah tim ekspedisi dakwah Islam yang diutus khusus oleh Sultan Aceh bersama Sultan Johor.
Seiring pernyataan Islam sebagai agama resmi pemerintahan, sistem kerajaan pun dikonversi menjadi kesultanan dengan sultannya bergelar Mahkota Mulia Islam (1565-1605), Bahkan sang Sultan sempat menyertai Tuanku Tunggang Parangan berkeliling untuk berdakwah ke hampir seluruh wilayah kekuasaan sehingga dalam waktu singkat Islam sudah dipeluk oleh rakyat Kutai Kartanegara.
Penyebaran Islam di Pasir bermula saat pernikahan Putri Di Dalem Petung/Betung (Ratu Kerajaan Sadurangas) dengan Pangeran Abu Mansyur Indra Jaya (pimpinan ekspedisi dakwah Islam dari Kesultanan Demak-Giri) pada tahun 1523 M. yang kemudian berujung pada Konversi Kerajaan Sadurangas menjadi Kesultanan Pasir yang wilayahnya bahkan mencapai Tanah Bumbu di Kalimantan Selatan.
Untuk Bulungan, penyebaran awal Islam dilaksanakan dengan baik oleh Sayyid Ali Idrus dan Sayyid Abdullah Bilfaqih, tepatnya bermula di Salimbatu Kecamatan Tanjung Palas, wilayah kekuasaan Kesultnan Bulungan juga mencakup Sipadan dan Ligitan yang sekarang menjadi bagian wilayah Malaysia. Bahkan pada masa Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin (1931-1958) Tawau pun masuk dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Bulungan yang setiap tahunnya selalu menyerahkan ‘upeti’ berupa uang ringgit emas.
Adapun masuknya dakwah Islam di Berau dibawa oleh seorang ulama besar Imam Sambuayan dengan pusat penyebarannya bermula di sekitar Desa Sukan sekitar tahun 1810. Keberhasilan dakwahnya melahirkan Kesultanan Gunung Tabur (1820) serta Kesultanan Batu Putih (1830) yang kemudian berganti nama Kesultanan Tanjung (1834/1836), lalu berubah kembali menjadi Kesultanan Sambaliung (1849).
Jauh sebelumnya, ditemukan bahwa hadirnya Islam di Berau juga tidak terlepas dari perkembangan Islam di Kepulauan Sulu (Solok) dan Mindanau Selatan yang dengan cemerlang berhasil dirintis di tahun 1380 oleh ulama terkemuka dari Kesultanan Malaka bernama Makdum serta dibantu oleh seorang ulama yang diutus dari Minangkabau-Sumatera Barat bernama Raja Baginda di tahun 1390. Mereka kemudian berhasil mendirikan Kesultanan yang berpusat di Bwansa Kepulauan Sulu dengan Sultan bernama Syarif Abu Bakar yang datang dari Palembang dan menikah dengan Putri Ulama Raja Baginda.
Setelah keberhasilan dakwah Islam di Kepulauan Sulu inilah, maka Ulama Raja Baginda terus melanjutkan syiar Islam di Kalimantan Utara (Brunei Darussalam) dan terus menyebar ke bagian Timur Kalimantan, yaitu daerah Kerajaan Berayu yang wilayahnya meliputi Berau, Bulungan, Tidung dan Sabah. Bahkan dalam ‘Memorie over en overname’ yang ditulis Kontler J.S. Krom disebutkan bahwa proses islamisasi besar-besaran sudah terjadi saat Kesultanan Berau dipimpin oleh Sultan Zainal Abidin sekitar tahun 1720.
Demikianlah, secara umum dapat dilihat gencarnya dakwah Islam adalah berkat upaya optimal para ulama yang didukung penuh oleh kesultanan-kesultanan Islam yang telah berdiri dengan baik sebelumnya. [Hamdani, Staf Pengajar Tata Negara, FH Unmul Samarinda]
Rujukan :
A.B., Abdurrahman. ——. Sedikit Kutipan dari Catatan Sejarah dan Adat Istiadat dari Kerajaan Kutai Kartanegara ing Martadipura di Kalimantan Timur.
Adham, D. 1980. Salasilah Kutai. Tenggarong: Pemda. Kabupaten Kutai Kalimantan Timur.
Ahyat, Ita Syamtasiyah. 2000. Politik Ekonomi Kerajaan Kutai dalam Perluasan Kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda (1825-1910). Bojonggede: Akademia.
Amin, M. Asli. 1975. Pertumbuhan Kerajaan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Dalam “Dari Swapraja ke Kabupaten Kutai.” Tenggarong: Pemda. Kabupaten Kutai Kalimantan Timur.
ARS, H. M. Noor. 2004. Sejarah Perjuangan Raja Alam Sultan Alimuddin. Jogjakarta: Karang Press.
Hamdani. Pancasila Dalam Timbangan Ideologi. (Artikel Kaltim Post; Samarinda, 10-12 Agustus 2006)
—. Sejarah Pergerakan Nasional, Mencari Akar Ideologi Bangsa. (Makalah Smart School KAMMI Kaltim; Samarinda, 02 September 2006)
Suryanegara, Ahmad Mansur. 1998. Menemukan Sejarah, Wacana Pergerakan Islam di Indonesia. Bandung: Mizan.
Serta kompilasi data yang dihimpun dari Situs Resmi Departemen Dalam Negeri RI, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, dan Pemerintah Kabupaten serta Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten (Kutai Kartanegara, Berau, Bulungan dan Pasir).