HTI

Soal Jawab (Al Waie)

Bagaimana Mendudukkan Silaturahmi Secara Syar’i?

Soal:

Sebagai istilah, kata silaturahmi sudah jamak digunakan. Akan tetapi, antara fakta dan maksud syar’i-nya berbeda. Lalu, bagaimana fakta dan maksud silaturahmi yang benar menurut syariah? Kapan dan bagaimana pula bentuk-bentuk silaturahmi yang diperintahkan?

Jawab:

Sebelum menjelaskan fakta silaturahmi, kita harus memahami fakta kerabat (aqârib) dalam pandangan Islam. Islam membedakan kerabat menjadi dua: Pertama, yang disebut dzawu al-irts (mereka yang berhak menjadi ahli waris). Kedua, yang disebut dzawu al-arham (mereka yang mempunyai hubungan mahram). Dalam Ilmu Faraidh, orang-orang yang masuk kategori dzawu al-irts ini juga disebut ashhâb al-furûdh (orang yang mendapat bagian waris) dan ‘ashabah (orang-orang yang mendapat bagian sisa). Dengan kata lain, dzawu al-‘irts adalah orang-orang yang mendapatkan bagian waris, sementara dzawu al-arhâm tidak.

Siapa dzawu al-arhâm ini? Mereka adalah sepuluh orang: paman dan bibi (saudara ibu), kakek seibu, cucu laki-laki dari anak perempuan, keponakan laki-laki dari saudara perempuan, keponakan perempuan dari saudara laki, saudara sepupu perempuan dari paman (saudara ayah), bibi (saudara ayah), paman (saudara ayah) seibu dan keponakan laki-laki dari saudara laki-laki seibu; termasuk keturunan dari mereka. Selain mereka, inilah yang disebut dzawu al-irts atau ashhâb al-furûdh dan ‘ashabah. Inilah fakta kerabat dalam pandangan Islam.

Dari fakta ini, Islam membedakan antara menjaga hubungan baik dengan dzawu al-arhâm dan menjaga hubungan baik dengan dzawul al-irts. Menjaga hubungan baik dengan dzawu al-arhâm inilah yang disebut silaturahmi (sillah ar-rahm). Adapun menjaga hubungan baik dengan dzawul al-irts tidak disebut sillah ar-rahm, melainkan sillah al-aqârib. Pertanyaannya, mengapa harus dibedakan? Karena hukumnya berbeda. Sillah ar-rahm ini hukumnya wajib dan memutuskannya haram. Adapun sillah al-aqârib hukumnya sunah.

Ini didasarkan pada riwayat, bahwa pernah ada seorang pria bertanya kepada Nabi saw.:

مَنْ أَبُرُّ؟ فَقَالَ لَهُ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أُمَّكَ وَأَبَاكَ وَأُخْتَكَ وَأَخَاكَ

“Siapakah yang harus saya perlakukan dengan baik?” Nabi saw. bersabda kepadanya, “Ibumu, bapakmu, saudara perempuan dan saudara lelakimu.” (HR at-Tirmidzi dan al-Hakim. Hadis ini disahihkan oleh al-Hakim dalam Al-Mustadrak).

Ada juga riwayat dari Asma’ binti Abi Bakar yang menyatakan:

قَدَمَتْ عَلَيَّ أُمِّي، وَهِيَ مُشْرِكَةٌ – فِيْ عَهْدِ قُرَيْشٍ إِذْ عَاهَدَهُمْ – فَاسْتَفْتَيْتُ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ: يَارَسُوْلَ اللهِ إِنَّ أُمِّي قَدَمَتْ عَلَيَّ – وَهِيَ رَاغِبَةٌ – أَفَأَصِلُهَا؟ قَالَ: نَعَمْ، صِلِيْ أُمَّكِ

Saya pernah didatangi oleh ibuku, sementara dia masih musyrik–pada zaman Quraisy, saat Nabi mengadakan perjanjian (Hudaibiyah) dengan mereka. Saya lalu bertanya kepada Nabi saw. “Ya Rasulullah, ibuku telah mendatangiku, sementara dia masih musyrik. Apakah saya boleh menjaga hubungan baik dengannya?” Nabi saw. menjawab, “Boleh. Jagalah hubungan baik dengan ibumu.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Hadis-hadis ini menjadi dalil tentang sillah al-‘aqâib (menjaga hubungan kekerabatan). Hadis ini tidak disertai dengan ancaman (wa’id), juga indikasi yang menjelaskan wajibnya menjaga hubungan tersebut. Karena konteks hadis tersebut adalah ketaatan kepada orangtua (birr), yang merupakan perintah syariah, maka ia bisa menjadi indikasi (qarînah) yang menguatkan (tarjîh) sehingga hukumnya sunah (mandub).

Ini berbeda dengan sillah ar-rahim yang hukumnya memang wajib, karena Nabi saw. menyatakan:

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

Siapa saja yang ingin dilapangkan rezekinya dan dilanggengkan peninggalannya, hendaknya menyambung hubungan dengan kerabatnya (HR al-Bukhari dan Muslim).

Nabi saw. juga menyatakan:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ

Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan hubungan kekerabatan (HR Muslim dan Abu Dawud).

Nabi saw. pun bersabda:

إنَّ أَعْمَالَ أُمَّتِيْ تُعْرَضُ عَشِيَّةَ الْخَمِيْسِ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ، فَلاَ يُقْبَلُ عَمَلُ قَاطِعِ رَحِمٍ

Sesungguhnya amal umatku akan diajukan (kepada Allah) pada petang hari Kamis, malam Jumat. Namun, amal orang yang memutuskan hubungan kekerabatan tidak akan diterima (oleh Allah).

Hadis-hadis ini menjelaskan sillah ar-rahm, yang disertai pujian (madh) sekaligus ancaman (wa’id) sehingga menjadi indikasi (qarinah), bahwa tuntutan tersebut merupakan tuntutan yang tegas (thalab jâzim); artinya hukumnya wajib. Jadi, silaturahmi hukumnya wajib, dan memutuskannya haram. Apalagi ada nash yang juga menunjukkan larangan memutuskan silaturahmi dengan larangan yang tegas.

Karena itu, silaturahmi konteksnya adalah menjaga hubungan baik dengan kerabat yang berstatus mahram (rahim mahram), seperti bibi dari ibu, dan bukan kerabat non-mahram (rahim ghayr mahram), seperti anak perempuan paman (saudara ayah). Konteks silaturahmi ini sebenarnya khusus untuk menjaga hubungan baik dengan rahim yang mahram, bukan rahim yang non-mahram. Karena itu, menjaga hubungan baik dengan anak perempuan paman (saudara ayah), dan anak perempuan paman (saudara ibu) hukumnya tidak wajib, karena mereka bukan mahram.

Mengenai dalil yang menyatakan hal di atas ada dua: Pertama, bahwa orang yang bukan mahram, haram hukumnya ber-khalwat dengannya; haram melihat, selain wajah dan kedua telapak tangannya; juga haram melakukan ikhtilâth dengannya. Padahal ini bertentangan dengan aktivitas silaturahmi; yaitu mengunjungi, memberi hadiah, bergaul (mukhâlathah) dan duduk bersama. Adanya perbedaan fakta silaturahmi dengan hubungan dengan orang yang bukan mahram-nya membuktikan, bahwa silaturahmi khusus untuk konteks rahim yang mahram. Kedua, Nabi saw. melarang menikahi wanita dengan bibi (saudara ayah)-nya, atau wanita dengan bibi (saudara ibu)-nya. Nabi saw. juga menjelaskan, bahwa menikahi wanita dengan bibinya dianggap memutuskan hubungan kekerabatan. Ini membuktikan, bahwa rahim adalah siapa saja yang tidak boleh dinikahi.

Dengan demikian, istilah silaturahmi digunakan oleh syariah Islam untuk menyebut aktivitas menjaga hubungan baik dengan kerabat yang berstatus mahram, bukan yang lain. Hukum wajibnya silaturahmi dan haramnya memutuskannya juga hanya berlaku dalam konteks menjaga hubungan baik dengan mereka.

Adapun bentuk-bentuk aktivitas silaturahmi itu bisa bermacam-macam, antara lain kunjungan pada Hari Raya; momen-momen penting, seperti pernikahan, kelahiran, khitanan dan sebagainya. Memberi hadiah pada kedua Hari Raya dan momen-momen penting tadi juga merupakan bentuk menjaga silaturahmi; termasuk membela mereka dan anak-anak mereka serta memenuhi kebutuhan dan hak-hak mereka. Dalam konteks ini, Nabi saw. bersabda:

الصَّدَقَةُ عَلَى الْمِسْكِيْنِ صَدَقَةٌ، وَعَلىَ ذِي الرَّحِمِ ثِنْتَانِ: صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ

Sedekah kepada orang miskin itu bernilai satu, yaitu sedekah saja; sementara sedekah kepada kerabat itu ada dua: satu bernilai sedekah, kedua bernilai menjaga hubungan baik (sillah) (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan ad-Darimi).

Dengan kata lain, orang yang memberikan hadiah kepada kerabat yang berstatus mahram mendapatkan dua pahala: pahala sedekah tathawwu’ (sunnah) dan kedua pahala silaturahmi.

Sebaliknya, orang yang memutuskan silaturahmi adalah orang yang tidak mementingkan kerabatnya, juga orang yang tidak mau diperhatikan kerabatnya, baik dengan kunjungan, hadiah maupun yang lain. Jadi, orang yang memutuskan silaturahmi adalah orang yang menistakan kerabat, sekecil apapun bentuk penistaan tersebut. Itulah bentuk pemutusan silaturahmi. Kepada mereka, Nabi saw. mengancam:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ

Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan hubungan kekerabatan (HR Muslim dan Abu Dawud).

Wallâhu a‘lam. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*