Seperti yang kita ketahui bersama, per 1 September 2008 ini, LPG 12 kg dan 50 kg naik dari Rp 63.000 pertabung ke 69.000 pertabung (Rp 5.750/kg), sedangkan elpiji 50 kg dari Rp 343.900 pertabung menjadi Rp 362.750 pertabung (Rp 7.255/kg). Alasannya, selain mengikuti harga pasar internasional yang sudah mencapai Rp 11.400/kg ataupun harga keekonomian yaitu Rp 7.200 perkilogram, juga untuk menutup kerugian Pertamina selama ini yang ditaksir Rp 2-2,5 triliun pertahunnya dalam tingkat penjualan LPG. Namun, LPG 3 kg tidak akan naik harga dengan pertimbangan bahwa LPG tersebut digunakan oleh masyarakat kalangan bawah.
Semula Pertamina akan menaikkan secara otomatis harga LPG 12 kg dan 50 kg setiap bulan hingga meraih harga keekonomian ini. Namun kemudian, Presiden SBY membatalkan rencana ini, yang oleh lawan-lawan politiknya dianggap sekadar manuver politik karena dikhawatirkan akan mengganggu agenda Pemilu 2009.
Faktor Penyebab Mahalnya Gas
LPG atau Liquid Petroleum Gas adalah salah satu hasil pengilangan minyak bumi dengan unsur kimia propana dan butana. Ini berbeda dengan LNG atau Liquid Natural Gas (Gas Alam Cair) dengan unsur kimia metana dan etana. Kalau LPG didistribusikan dalam tabung gas 3 kg, 12 kg dan 50 kg oleh Pertamina, maka LNG didistribusikan dengan pipa oleh PGN atau lewat stasiun BBG pada kendaraan-kendaraan yang telah dimodifikasi (misalnya Busway Transjakarta koridor 2 dan 3).
Indonesia adalah penghasil LNG yang cukup besar, yaitu setara dengan 700 ribu barel minyak bumi perhari. Namun, dalam soal minyak bumi, Indonesia yang membutuhkan 1,3 juta barel perhari saat ini hanya memproduksi sekitar 900 ribu barel perhari.
Karena LPG dibuat dari minyak bumi maka kelangkaan LPG berasal dari dua sumber. Pertama: bahan baku minyak bumi memang tidak mencukupi. Rendahnya produksi minyak bumi ini berasal dari rendahnya kegiatan eksplorasi dan jeleknya perawatan sumur-sumur yang ada, yang kini sudah tua dan menjadi tidak efisien. Rendahnya kegiatan di sektor hulu ini antara lain berasal dari lebih menggiurkannya bisnis impor minyak mentah daripada eksplorasi sendiri yang masih penuh risiko. Kedua: kapasitas kilang minyak kita tidak cukup lagi untuk memenuhi kebutuhan LPG kita sehingga kita lebih banyak mengirim minyak mentah ke Singapura untuk diolah menjadi LPG.
Kebijakan konversi minyak tanah ke LPG rupanya tidak memperhatikan kapasitas kilang LPG ini. Dalam waktu singkat ia berdampak pada kenaikan harga, apalagi harga minyak mentah di pasar dunia naik tajam. Akibatnya, jasa pengilangan LPG yang memakai prosentase harga minyak mentah juga otomatis naik.
Kesalahan Politik Energi
Kondisi ini semua berawal dari kesalahan politik energi. Produksi energi kita dari minyak, gas dan batubara bersama-sama sebenarnya setara dengan 4,2 juta barel. Apalagi kalau ditambah dengan potensi panas bumi yang dipastikan sekitar 27.000 MW. Dengan panas bumi saja niscaya kita akan mampu memenuhi kebutuhan energi primer untuk produksi listrik PLN yang saat ini hanya sekitar 22.000 MW. Perlu diketahui panas bumi ini, seperti juga energi air, angin atau surya: tidak dapat diekspor!
Namun, politik energi di negeri ini memang tidak berwawasan luas. Pertama: masyarakat dipaksa mengkonsumsi jenis energi yang mahal, yaitu BBM (termasuk LPG) daripada LNG yang jauh lebih murah dan ramah lingkungan; malah LNG ini justru diekspor habis-habisan ke Cina, Singapura atau Korea dengan harga amat murah. Kontrak LNG Tangguh ke Cina yang sedang dihebohkan saat ini harga efektifnya lebih murah daripada LPG 3 kg yang bersubsidi. Jadi, kita mensubsidi Cina! Kontrak ini berjangka waktu 25 tahun sehingga kalau dipenuhi kita ditaksir akan rugi Rp 700 triliun!
Kedua: tidak ada pemihakan pada kebutuhan pasar dalam negeri (Domestic Market Obligation). UU 22/2001 tentang Migas, meskipun beberapa pasalnya yang sangat liberal telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, tetap saja belum menjadi UU yang mewajibkan pemenuhan kebutuhan pasar dalam negeri. Akibatnya, pabrik Pupuk Iskandar Muda dan Pabrik Pupuk Aceh-Asean, yang keduanya ada di Aceh, harus ditutup karena tidak mendapat pasokan gas. Demikian juga PLN yang tidak mendapat jaminan pasokan batubara 200 juta ton/tahun sehingga sekarang ada pemadaman bergilir.
Ketiga: kita tidak mengembangkan infrastruktur agar masyarakat menikmati energi secara baik dan efisien. Pipa gas alam dari Natuna justru dibangun ke Singapura. Rencana pembangunan pipa gas dari Kaltim ke Jawa untuk memasok energi bagi pembangkit listrik di Jawa ditunda-tunda. Walaupun perlu dibangun dengan dana 30 triliun, kalau pipa ini ada, ia dapat dinikmati 100 tahun. Kota-kota besar yang padat seperti Jakarta sebenarnya sangat tepat untuk dicatu dengan gas.
Infrastruktur listrik juga tidak dipersiapkan menghadapi pertumbuhan ekonomi. Di Jawa banyak PLTA yang tidak lagi berfungsi optimal karena hutan yang menjaga tataair sungai yang masuk ke waduknya tidak dijaga. PLN menyalahkan Perhutani. Namun intinya, Pemerintah secara umum kurang peduli sehingga tidak melakukan koordinasi. Beberapa wilayah kaya energi seperti Kaltim atau Sumsel pun listriknya akhir-akhir ini byar-pet karena batubara dari sana lebih banyak diekspor.
Membantah Logika Liberalisasi Gas
Para ekonom neoliberal memberikan logika sebagai berikut: karena harga gas di pasar dunia lebih mahal,maka lebih menguntungkan dijual di luar; toh kita kekurangan modal dan teknologi dalam membangun infrastruktur gas. Logika ini keliru secara mendasar.
Pertama: menjual komoditi mentah seperti gas hanya memberikan nilai tambah yang rendah. Jika gas itu dipakai untuk menyediakan energi bagi industri barang jadi dengan kualitas yang dapat diterima pasar dunia, tentu nilai tambahnya jauh lebih tinggi. Inilah yang menyebabkan mengapa industri di Cina atau Korea saat ini sangat bersaing – antara lain karena mendapatkan bahan mentah energi murah, seperti misalnya dari Indonesia. Logika neoliberal ini dulu pernah mereka terapkan ketika mengkritisi pesawat terbang buatan IPTN yang “ditukar” dengan beras ketan dari Thailand. Pola dagang seperti ini sama sekali tidak salah karena kita membuat produk dengan kandungan teknologi lebih tinggi dan berarti lebih mahal dengan bahan mentah dari Thailand yang kita butuhkan. Semua negara-negara maju seperti Jepang atau Jerman juga “menukar” produk teknologi mereka dengan bahan mentah dari negeri kita.
Kedua: Ketahanan sosial ekonomi suatu negara tidak sepenuhnya dapat dikaitkan secara langsung dengan mekanisme pasar. Ekspor gas ke luar negeri memang memberikan pemasukan devisa yang besar, namun pada saat yang sama juga membuat ekonomi di dalam negeri menjadi lesu, pengangguran bertambah, dan potensi gangguan sosial ekonomi meningkat. Keterkaitan ini tidak dapat langsung terukur dari awal. Suatu demonstrasi yang berakhir rusuh dapat bernilai jauh lebih mahal daripada devisa yang didapatkan negara dari ekspor gas.
Memang, kalau energi di dalam negeri murah, tidak otomatis juga produktivitas dan daya saing industri dalam negeri menjadi lebih kuat. Namun, jika energi tersebut mahal, sudah pasti produktivitas dan daya saing mereka di kancah dunia akan turun.
Konsekuensi Kapitalisme Ekonomi
Dalam sektor energi ini tampak jelas ada berbagai konflik kepentingan. Pasar kita begitu jelas dikuasai para pemburu rente. Contoh: PLN. Jika ada pemasok domestik, selalu dimintai harga murah. Anehnya, pemasok dari luar negeri dibiarkan saja meminta harga mahal. Akibatnya jadi ada yang main-main; pemasok lokal, tetapi dengan bendera asing.
Kita memiliki, tetapi tidak mengelola. Sebesar 85% ladang migas dikuasai asing. Bahkan kontrak-kontraknya tidak masuk akal. Misal: Blok Cepu: Exxon telah bermutasi dari sekadar technical assistance menjadi pemilik (owner). Semua akibat tekanan pemerintah Amerika Serikat, bahkan Menlunya sendiri perlu datang ke Indonesia. Demikian juga lapangan LNG Tangguh. Beyond Petroleum (BP) menjualnya ke Cina dengan rumus: jika harga minyak dunia di atas 25 USD/barel, harganya fixed. Harga gas ini sekarang cuma 3 USD, padahal di pasar sudah 17 USD. Negosiasi diwarnai kepentingan pribadi yang pasti tidak transparan.
Demikian juga di bidang batubara. Perusahaan batubara diributkan karena tidak membayar royalti sehingga direksinya dicekal. Namun, ancaman paksa badan dari Menteri Keuangan ternyata hanya gertak sambal. Andaikata mereka membayar royalti pun, masih banyak manipulasi di sini. Hal ini karena royalti dihitung dengan harga kontrak, bukan harga pasar. Akibatnya, banyak perusahaan yang pura-pura kontrak murah dengan perusahaan asing yang sebenarnya milik dia juga. Inilah yang disebut “transfer pricing”.
Penguasa tampak seperti menikmati carut-marut ini. Ini sudah ada sejak zaman Soeharto, siapapun yang menjadi menteri, presiden ataupun DPR. Dibandingkan dengan APBN kita yang 1000 triliun, uang 10 juta USD (sekitar Rp. 92 Milyar) mungkin tidak begitu berarti (kurang dari 0,1 permil). Namun jika uang itu merupakan gratifikasi (suap) pada sejumlah individu di pemerintahan yang menentukan kebijakan energi, itu tentunya sangat besar, untuk dana politik Pemilu pun masih cukup besar.
Individu-individu yang semacam ini yang tampaknya dipelihara oleh World Bank, IMF dan korporasi-korporasi internasional yang ingin menjaga tambang uangnya di negeri ini. Sekarang makin terbuka bagi kita tentang berbagai skandal yang mengiringi munculnya UU Migas dan perundangan lainnya.
Pandangan Islam
Dalam pandangan Islam, energi seperti migas, batubara, panas bumi dan sebagainya adalah termasuk hal-hal yang harus diatur negara. Dari sisi sumber energi, jikaa di suatu negeri berbagai sumber energi itu tersedia dalam jumlah melimpah, maka ladang-ladang energi itu harus dikuasai oleh negara. Negara boleh saja mengkontrakkan pengusahaannya kepada swasta, namun dalam skema kontrak kerja (âjir-musta’jir), bukan dalam sekema konsesi bagi hasil.
Selain itu, negara juga perlu mengurus energi ini sebaik-baiknya dalam kerangka mengurusi pemenuhan kebutuhan umat/rakyat sehingga tak perlu ada satupun warga yang kesulitan mendapatkan energi. Jadi, andaikata tidak ada sumber energi yang melimpah di negeri itu, pemerintah wajib mendatangkan energi dari luar dengan cara yang paling efisien agar tidak ada warga yang sampai tidak sanggup menjalankan kewajiban syariahnya karena kelangkaan energi.
Adapun perusahaan-perusahaan energi apakah gas, minyak, batubara, panas bumi atau yang lain seperti air, angin, nuklir dan biofuel untuk dijadikan listrik atau bahan bakar, semua harus didorong agar tumbuh, terus kreatif, dan beroperasi secara syar’i. Tentu saja pemahaman bagaimana mensyariahkan politik ekonomi energi secara lengkap ini perlu pendalaman tersendiri. Hal ini juga menyangkut bagaimana persoalan tanah, hubungan kerja, perbankan, kekayaan intelektual, jaminan dan sebagainya, yang semuanya harus disyariahkan. [Dr. Fahmi Amhar; Ketua Lajnah Maslahiyah Hizbut Tahrir Indonesia]