HTI

Dunia Islam (Al Waie)

Kebutuhan Akan Khilafah Makin Mendesak (Pelajaran dari Kasus Dr. Aafia Shiddiqui)

Kasus Dr. Aafia Shiddiqui benar-benar membuat hati serasa terkoyak, perut terlilit, dan kemarahan terbangkit bagi siapapun yang masih memiliki harga diri. Pengalaman buruk yang dialami ibu dari tiga orang anak kembali menjadi catatan tragedi “Perang melawan Teror” (“War on Terror”), atau “Perang terhadap Islam”. Kasus ini harus membuat siapapun atau pemerintah manapun yang menganggap diri mereka sebagai pejuang hak asasi manusia di dunia untuk menjadi malu.

Dr. Aafia Siddiqui adalah ilmuwan biologi jaringan saraf dan dididik sebagai ahli genetik. Setelah belajar 10 tahun di Amerika Serikat (AS) dan menyabet gelar doktor di bidang Neurosains Kognitif, Dr. Siddiqui yang berkewarganegaraan Pakistan lalu pulang ke negeri asalnya. Lima tahun lalu pada bulan Maret 2003 ia menghilang bersama 3 anaknya yang berumur 7 tahun, 5 tahun, dan 6 bulan ketika ia berkunjung ke rumah ibunya di Karachi. Banyak yang menduga bahwa ia telah ‘dijemput’ dalam perjalanannya menuju ke airport oleh dinas rahasia Pakistan, yang lalu menyerahkannya ke FBI atas instruksi pemerintahan Musharraf  yang menerima imbalan uang atas dukungannya terhadap AS. Penahanan Dr. Siddiqui dikonfirmasi oleh jurubicara kementerian dalam negeri Pakistan dan dua orang pejabat AS yang tidak disebut namanya dalam media massa Pakistan berbahasa Urdu. Anehnya, hanya berselang beberapa hari saja, rezim Pakistan dan AS menarik pernyataan mereka dan menyangkal memiliki pengetahuan perihal penahanan dan letak penahanan Dr. Siddiqui.

Selama 5 tahun, keberadaan Dr. Siddiqui dan tiga anaknya tidak diketahui hingga perwira kepolisian Afganistan di propinsi Ghazni menyatakan pada bulan Juli 2008, bahwa Dr. Siddiqui ditangkap dengan tuduhan terorisme. Ia sekarang disekap di penjara di Brooklyn, New York. Dr. Siddiqui yang memiliki dual kewarganegaraan AS dan Pakistan kini menghadapi pengadilan AS dengan tuduhan usaha pembunuhan terhadap personil angkatan bersenjata AS di Afganistan. Keberadaan tiga anaknya hingga kini belum diketahui.

Pengacaranya dan berbagai organisasi HAM (hak asasi manusia) meyakini bahwa setelah menghilang, Dr. Siddiqui disekap di pangkalan militer AS Bagram di Afganistan. Organisasi tersebut dan keluarganya mengklaim bahwa selama itu dia telah disiksa hingga kehilangan pikiran. Mereka percaya bahwa dia adalah ‘Tahanan 6502 di Bagram, sebagaimana diceritakan oleh tahanan lainnya yang berhasil melarikan diri dari atau dilepaskan dari penjara. Sebagai wanita yang disekap dalam tahanan secara sendirian, jeritan dan teriakannya kerap menghantui tahanan lainnya. Anggota parlemen Lord Nazir Ahmed yang mengangkat isu tentang kondisi Tahanan 650 di House of Lord, saat identitas tahanan 650 itu belum diketahui, berkata bahwa dia telah disiksa dan kerap diperkosa oleh sipir penjara. Lord Nazir juga mengatakan bahwa Tahanan 650 tidak diberikan toilet yang terpisah, bahkan tahanan yang lain pun bisa melihat tubuhnya ketika mandi.

Penistaan terhadap saudara perempuan kita ini tidak berhenti di Bagram. Kini ia ditahan di Pusat Penahanan Metropolitan Brooklyn, dan dipaksa untuk diperiksa dengan melepaskan seluruh pakaiannya setiap kali ia hendak bertemu dengan pengacaranya, diplomat Pakistan, dan anggota keluarganya. Ini semua dilakukan bahkan ketika kantor penjara sudah melarang adanya kontak fisik antara dia dengan siapapun. Saudara perempuan kita ini menolak penistaan semacam ini dan akibatnya harus melepaskan haknya untuk bertemu dengan pengacaranya dalam banyak kesempatan.

Kini Aafia Siddiqui menghadapi prosesi “Pengadilan Kanguru” dan “Pengadilan Politik” di AS, suatu prosesi untuk menghindarkan malu bagi AS, bukan tentang terorisme. Pengacaranya, Elaine Whitfield Sharp, berkomentar bahwa kliennya ditahan karena alasan politik dan semua tuduhan padanya ‘terbukti salah dan tidak bermakna’. Sangatlah aneh bahwa seorang perempuan yang digambarkan FBI selama 5 tahun sebagai wanita yang paling dicari dalam Perang melawan Teror dan diduga ditahan oleh pemerintah Afgan dengan tuduhan membawa instruksi membuat bom dalam tasnya dan menyimpan bahan kimia berbahaya dalam botol, kini akan menghadapi pengadilan dengan tuduhan kriminal biasa (percobaan pembunuhan dan penyerangan), yang tidak berhubungan dengan terorisme.

Tuduhan kriminal tersebut berasal dari cerita pemerintah AS, bahwa selama diinterogasi di Afganistan Dr. Siddiqui merebut senapan interogatornya dan menembaki perwira AS. Ia lalu ditembak di dada dan dilumpuhkan, namun sempat menendang tentara AS yang berusaha untuk menahannya. Kalau terbukti, Dr. Siddiqui akan menghadapi 20 tahun penjara untuk setiap tuduhan.

Namun, ada banyak ketidakcocokan terhadap cerita ini dan polisi Afganistan yang hadir dalam peristiwa interogasi tersebut memberi versi lain. Beberapa di antaranya mengatakan kepada Reuters bahwa tentara AS memaksa supaya Dr. Siddiqui ditransfer ke AS dan ketika polisi Afgan menolak, mereka dilucuti senjatanya. Mereka juga mengklaim bahwa tentara AS-lah yang menembak Dr. Siddiqui dengan alasan bahwa ia adalah pembom bunuh diri.

Ini menimbulkan banyak pertanyaan, bagaimana mungkin seorang perempuan yang memiliki berat badan sekitar 45 kg, ditembak di dada—dan digambarkan sebagai lemah dan renta hingga harus dituntun untuk masuk ke ruang pengadilan di AS—mampu meronta dan menyerang sekelompok perwira AS yang menahannya. Pengacara Dr. Siddiqui, Elizabeth Fink menyatakan bahwa anggapan terhadap ‘perempuan 45 kg’ yang diduga mampu menimbulkan kekerasan sebagaimana dituduhkan oleh pemerintah AS sangatlah ‘absurd’. IA Rehman, direktur Hak Asasi Manusia Pakistan, organisasi independen berkata bahwa cerita pemerintah AS adalah “kebohongan terbesar di abad 21.”

Tanggapan pemerintah dunia Barat dan penguasa Muslim, terutama pemerintah Pakistan, terhadap peristiwa yang menimpa Dr. Siddiqui yang sangat memilukan ini sungguh memalukan. Banyak sekali pertanyaan yang tidak bisa terjawab: Siapa sebenarnya yang bertanggung jawab terhadap penculikannya? Mengapa dia ditahan dalam waktu yang sangat lama di Bagram tanpa tuduhan dan tanpa pengacara; mengapa dia diekstradisi ke AS tanpa prosedur? Dimana 3 anak-anaknya? Banyak sekali pertanyaan; sementara pemerintah Barat, AS, dan Pakistan terkesan tidak peduli untuk mencari tahu jawabannya.

Ketidakpedulian dan penggunaan standar ganda oleh Barat, yang mengklaim sebagai penyeru hak asasi manusia diseluruh dunia, ternyata menutup mata terhadap perlakuan keji dan pelanggaran secara serius terhadap hak Dr. Siddiqui sebagai individu. Tampaklah bahwa slogan-slogan dunia Barat tentang hak asasi manusia (HAM), supremasi hukum, transparansi keadilan, prosedur hukum hanyalah sekadar alat yang digunakan pemerintah Barat—yang sewaktu-waktu bisa dicampakkan begitu saja—demi kepentingan politik dan penaikan pamor di dunia internasional. Berani-beraninya pemerintah Barat berlagak suci, padahal pada saat yang sama, bau busuk mulai menyebar dari wilayah mereka sendiri? Sangat kurang ajar pemerintah semacam itu yang dengan seenaknya merendahkan perlakuan Islam terhadap wanita, padahal kasus Dr. Siddiqui justru menunjukkan tradisi Abad Pertengahan dalam sejarah mereka saat memburu dan menyiksa wanita penyihir masih melekat dalam diri mereka dan tampak di dalam perilaku mereka sendiri. Lalu siapa sebenarnya yang masih sangat kuno dalam perilakunya?

Keterlibatan pemerintah Pakistan dan ketidakpeduliannya terhadap perlakuan keji yang menimpa saudara perempuan seiman ini adalah suatu tindakan kriminal. Sangatlah memalukan bahwa pemerintah Pakistan telah menyerahkan kedaulatan dan warga negaranya sendiri ke Amerika. Sangatlah memalukan bahwa mereka telah menukar kehormatan saudara kita demi seonggok kertas dolar. Sungguh memalukan bahwa mereka telah menjual putri umat ini kepada mereka yang telah menebar kebencian terhadap Islam.

Pengkhianatan para penguasa Muslim pun tidak mengenal batas. Mereka telah mengenyampingkan kebutuhan dan perlindungan hak-hak umat dengan berdiam diri tanpa melakukan apa-apa. Bagaimana pemerintah rezim Musharaf bisa menerima fakta bahwa warganegaranya sendiri dilarikan ke Amerika dan menghadapi persidangan di sana tanpa mempertanyakan keabsahannya sama sekali? Pemerintah semacam ini hanya peduli bagaimana mempertahankan kedudukan mereka saja.

Mereka sudah kebal terhadap penderitaan, airmata dan jerit kesakitan umatnya, dan lebih menyibukkan diri mereka dalam urusan kekuasaan dan keuntungan pribadi. Pemerintahan macam apa yang membiarkan anak-anak perempuannya untuk disiksa hingga kehilangan nalar? Pemerintah macam apa yang membiarkan tiga anak kecil kehilangan ibunya; satu di antaranya baru berumur 1 bulan yang hanya tahu kehangatan dari pelukan ibunya? Sungguh, kisah pengkhianatan dan sifat pengecut para penguasa Muslim tidak akan pernah terlupakan.

Kasus Aafia Siddiqui menunjukkan urgensi yang semakin penting untuk mengembalikan kembali institusi negara Khilafah. Para wanita Muslimah telah merindukan kepemimpinan Islam yang akan melindungi kehormatannya, mengembalikan hak-haknya, menghilangkan perasaan takut dan menegakkan keamanan di tanah tumpah darah mereka sendiri. Mereka menginginkan negara yang akan menghapus kesengsaraan, penderitaan, dan air mata dari penghinaan, menuju ke era baru yang penuh dengan harapan, kekuatan, dan keadilan bagi umat ini. Benar-benar, apabila ini terjadi, akan membuka era baru yang mengantarkan dunia pada makna sejati kehidupan manusia, perlindungan terhadap martabat dan hak-haknya.

Anak-anak perempuan umat ini sedang menunggu untuk membaiat seorang khalifah yang benar-benar akan memenuhi kebutuhan mereka dan melindungi yang lemah di antara mereka; seorang khalifah yang akan mengirim anak-anak muda pemberani dari umat ini untuk membebaskan wanita Muslimah dari penjara penindasan. Ia adalah pemimpin anak muda seperti Muhammed ibn Qasim yang di abad ke-8 diutus Khalifah dengan memimpin 6 ribu pasukan kavaleri untuk membebaskan wanita Muslimah yang dipenjara oleh Raja Delhi India. Dalam perjalanannya, ia dan pasukannya harus menghadapi musuh yang jumlahnya berlipat dari mereka, namun ia masih mampu untuk menundukkannya.

Karena itu, wahai para hamba Allah, mari tiap-tiap kita bekerja secara sungguh-sungguh, menyebarkan seruan kita, dan memberikan segala daya untuk mengembalikan keberadaan Khilafah yang akan menghilangkan penderitaan saudara-saudara perempuan kita menuju harapan, menghilangkan kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Allah Swt. berfirman:

وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Allah telah menjanjikan orang-orang yang beriman dan beramal salih dari kalangan kamu (wahai umat Muhammad) bahwa Dia akan menjadikan mereka para khalifah yang memegang kuasa pemerintahan di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka para khalifah yang berkuasa; Dia akan menguatkan dan mengembangkan agama mereka (agama Islam) yang telah Dia ridha untuk mereka; dan Dia akan menggantikan bagi mereka keamanan setelah mereka mengalami ketakutan (dari ancaman musuh). Mereka terus beribadat kepada-Ku tanpa mempersekutukan sesuatu yang lain dengan-Ku. Siapa saja yang kufur sesudah itu, mereka itulah orang-orang yang durhaka (QS an-Nur [24]: 55).

[Dr. Nazreen Nawaz, Perwakilan Media Perempuan–Hizbut-Tahrir Inggris]

One comment

  1. May Allah bless her with jannah
    and forgive us for being lazy and ignorant

    Amin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*