Keberadaan suatu negeri salah satunya ditentukan oleh aktivitas para politisinya. Kalau justru para politisi itu sendiri yang mengalami krisis, bagaimana nasib negeri ini?
Seorang ibu rumah tangga tiba-tiba didatangi oleh seorang anggota dewan di sebuah daerah. Kebetulan suami wanita tersebut adalah pengusaha biro perjalanan. Kedatangan anggota dewan yang terhormat tersebut tidak hendak memesan tiket, tetapi menawarkan kursi empuk. Tanpa tedeng aling-aling, anggota sebuah partai ini mengajak dan sedikit membujuk agar si ibu itu mau dijadikan calon anggota legislatif alias caleg untuk Pemilu 2009 mewakili partainya. Kontan si ibu ini bingung. Maklum, selama hidupnya ia tidak pernah bersenggolan dengan dunia politik. Pengetahuannya tentang dunia ini sangat awam. Di sisi lain, tawaran itu tentu menggiurkan. Karena itu, ia tidak langsung mengambil keputusan terhadap tawaran tersebut. Ia lebih memilih menyerahkan pinangan caleg itu kepada suaminya.
Tanpa basa-basi, sang suami, begitu mendengar cerita istrinya itu, langsung menolak. Ia sama sekali tak mengizinkan istrinya menjadi caleg. “Seandainya saya izinkan, mungkin istri saya akan menerima tawaran tersebut. Namun, setelah saya menjelaskan bahwa nantinya seorang caleg akan diminta untuk menyediakan sejumlah uang setoran untuk kepentingan partai dan para anggotanya, baik pada masa pencalonan maupun setelah menduduki jabatan sebagai anggota dewan dan juga nantinya akan menjadi “boneka” partai di dewan, akhirnya istri saya memahaminya dan bahkan takut memasuki dunia politik,’’ kata sang suami ini dalam blog-nya.
Perhelatan demokrasi yang akan menyedot banyak uang itu bagi sebagian orang bak ajang judi. Mereka bermimpi mendapatkan kekayaan yang lebih besar dengan mempertaruhkan sedikit hartanya pada masa-masa awal Pemilu. Sebuah kasus di Kabupaten Malang bisa menjadi contoh. Segerombolan pengurus partai A tiba-tiba pindah ke partai B. Kedua partai tersebut memang partai kecil. Alasannya, partai yang baru ikut Pemilu itu lebih menjanjikan baik dari sisi dana maupun suara. Harapan tinggi digantungkan di partai baru ini. Namun begitu, mendengar bahwa kepengurusan partai A di pusat sekarang solid, mereka ramai-ramai lagi kembali ke partai A.
Yang lebih nekad lagi, di beberapa daerah ada partai yang berani memasang caleg anak di bawah umur. Tampaknya mereka sudah kebingungan mencari orang yang mau menjadai calon wakil rakyat. Belum lagi, waktu itu, 19 Agustus, pendaftaran calon anggota legislatif memasuki masa penutupan. Partai-partai seperti dikejar target untuk memasukkan nama calon, karena kalau tidak, partai bisa kehilangan kesempatan untuk berebut kursi wakil rakyat.
Itu bagi yang kepepet. Bagi beberapa partai yang mulai pudar kredibilitasnya, mereka mencoba mendongkrak image-nya dengan orang-orang yang dianggap telah punya nama. Pilihannya adalah para artis. Partai-partai yang lain kembali menghidupkan nepotisme. Beberapa nama anak para pejabat negara, anak para pemimpin partai, bahkan anak presiden pun dicalonkan sebagai wakil rakyat, tanpa memandang sejauh mana kemampuan yang bersangkutan sebagai tali penyambung lidah rakyat ke depan.
Miskin Kader
Fenomena sulitnya mencari calon anggota legislatif untuk mewakili suatu partai adalah aneh dan janggal. Bagaimana tidak, partai itu biasanya merupakan suatu kumpulan orang yang memiliki visi dan misi perjuangan—entah benar atau salah. Ia bukanlah papan nama yang hanya dipampang menjelang perhelatan akan dimulai. Seharusnya memang mereka telah siap dengan sumberdaya manusia dan seluruh sarana yang dibutuhkan. Ketika itu semua tidak bisa dipenuhi, dapat dipastikan, memang partai-partai yang ada sebenarnya hanyalah partai papan nama. Tidak ada proses kaderisasi di dalamnya. Partai hanya menjadi kendaraan bagi orang-orang yang punya peran kunci di dalamnya. Mereka membawa siapa saja yang mau ikut serta tanpa ada embel-embel apapun yang harus disatukan.
Kalaupun ada proses kaderisasi, sifatnya hanyalah kaderisasi semu, misalnya bagaimana menjadikan partai itu menjadi tempat yang nyaman bagi semua anggota untuk mencapai cita-cita. Kaderisasi bukan pada nilai-nilai apa yang diperjuangkan ke depan dan tidak boleh lekang oleh zaman. Yang terjadi, partai mengkader anggotanya menjelang masa Pemilu tiba dengan hal-hal artifisial. Kaderisasi melahirkan sosok-sosok yang fanatik pada kelompok dibandingkan pada nilai.
Ideologisasi tidak terjadi di tubuh partai, kecuali di sebagaian kecil partai. Kader-kader partai tidak memiliki ideologi yang jelas. Dasar perjuangan hanya didasarkan pada pragmatisme dan tidak bersandar pada sebuah paradigma berpikir yang telah menjadi platform. Belum lagi sebagian besar partai baru lahir dengan mendadak karena desakan kepentingan dan iming-iming kedudukan. Praktis, platform mereka akhirnya sekenanya.
Tidak dapat diingkari, memang saat ini tidak ada ideolog-ideolog partai. Para ideolog partai telah hilang bersamaan dengan meninggalnya mereka. Bahkan beberapa partai yang dulu terkenal punya ideologi yang jelas kini telah berubah menjadi partai yang abu-abu. Yang lahir adalah orang yang menggunakan baju partai untuk memperjuangkan kepentingannya kendati hal itu tidak sejalan lagi dengan niat awal ideolog partai tersebut mendirikan partai.
Kondisi ini kian berat ketika para kader partai adalah mereka yang tidak memiliki pengalaman politik. Jangankan pengalaman, mereka banyak yang miskin pendidikan. Modal dasarnya hanya nekad dan popularitas. Di sinilah posisi para artis berada. Sayangnya, ini justru mendapat angin dari para politisi yang ada. Mungkin mereka berharap bisa ‘ngerjain’ para artis dan orang-orang populer tetapi miskin pengalaman dan pendidikan tersebut. Inilah jebakan-jebakan maut bagi berkuasanya orang-orang tertentu yang ingin meraup keuntungan berlipat. Suara bisa terdongkrak dengan keberadaan mereka. Sebaliknya, mereka bisa ditundukkan di bawah ketiak politisi-politisi berpengalaman.
Yang sangat kasatmata, beberapa waktu belakangan, para kader partai yang ingin menjadi calon wakil rakyat harus menyerahkan sejumlah uang kepada partai yang bersangkutan. Bahkan untuk secarik kertas pendaftaran, ada partai yang memungut uang sebesar Rp 1 juta. Malah ada satu partai yang konon kabarnya mengharuskan kadernya atau orang lain membayar Rp 1 miliar jika ingin memperoleh urutan pertama daftar sementara caleg. Uang menjadi standar penentuan posisi wakil rakyat. Mereka yang mampu menyetor lebih banyak akan menjadi calon-calon jadi, minimal di nomor urut awal. Mereka yang tidak bisa membayar tersingkir.
Dalam posisi seperti ini, bisa diduga, mereka nanti akan menjadi politisi yang mengejar pamrih. Bagi mereka tidak ada perjuangan yang hakiki melainkan hanya sekadar main-main untuk membesarkan hati rakyat atau berpura-pura peduli dengan nasib rakyat. Politisi seperti ini otaknya kosong oleh nilai-nilai, tetapi penuh dengan impian kekayaan dan status. Ini adalah suatu yang wajar karena mereka masuk ke dunia politik dengan modal yang tidak sedikit. Berdasarkan hitungan dagang, mereka harus mampu mengembalikan investasi yang telah ditanamkan dengan hasil yang lebih besar. Lagipula, fakta menunjukkan, amat sedikit politisi yang rela menjadi wakil rakyat karena semata-mata perjuangan. Kebanyakan mereka mengejar gaji yang lumayan wah untuk ukuran masyarakat—sekitar Rp 40 juta untuk anggota biasa, tidak memegang jabatan fungsional lain—serta kedudukan di tengah masyarakat karena wakil rakyat setara posisinya dengan penguasa.
Munculnya politisi karbitan dan kacangan tidak lepas pula dari kondisi partai politik yang mengalami krisis kepercayaan diri. Partai-partai politik mulai ditinggalkan oleh konsituennya, sementara para pemilih baru pun enggan menjatuhkan pilihannya pada partai-partai tersebut. Masyarakat mulai tak percaya dengan jargon-jargon yang disodorkan. Fenomena golput di beberapa daerah menunjukkan indikasi ke arah tersebut.
Merugikan Rakyat
Negeri ini butuh politisi yang handal di tengah kondisi bangsa yang amburadul. Hanya mereka yang memiliki visi jauh ke depan dan ideologi yang jelas yang bisa membawa bangsa ini bangkit dari keterpurukan. Namun, saat ini keinginan itu tampaknya hanya utopia belaka. Kebanyakan politisi tidak memiliki kredibilitas secara politis maupun ideologis.
Para politisi lama adalah para pengusung status quo yang tidak menginginkan adanya perubahan total. Para politisi baru adalah orang-orang yang sedang mabuk euphoria politik pasca reformasi. Kedua-duanya sama, berebut kue kekuasaan demi kepentingan pribadi dan kelompok. Sangat sedikit, mungkin tidak ada, yang murni untuk perjuangan Islam.
Kemunculan para politisi tersebut bisa jadi pula ditopang oleh para pengusaha. Mana ada sih sekarang aktivitas politik yang bebas uang? Hampir semua kegiatan politik butuh uang dari mulai sedikit, untuk kegiatan RT, hingga kegiatan nasional yang memakan dana triliunan. Pertanyaannya, dari mana uang itu berasal? Dari kantong sendiri? Mungkin saja, tetapi itu tidak banyak. Justru yang banyak dari para pengusaha. Terjadi simbiosis dengan para kapitalis. Kompensasinya, para pemilik modal itu meminta balas jasa berupa ajang bisnis yang menguntungkan dan terjamin keamanannya. Kolaborasi politisi kacangan dengan pengusaha ini melahirkan sistem korporatokrasi. Sistem inilah yang kini berkuasa di berbagai belahan dunia, termasuk di negeri ini.
Sistem ini memunculkan tirani pengusaha atas rakyat. Para penguasa dan politisi mengabdi bagi kepentingan pengusaha. Rakyat hanya menjadi obyek kekuasaan dan ajang bagi pengusaha mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya demi kantong pribadi. Ini sebenarnya yang amat berbahaya bagi cita-cita rakyat mewujudkan kesejahteraannya.
Dengan karakter politisi tersebut negeri ini sangat mudah terkooptasi oleh kepentingan asing. Tanda-tanda ke arah itu sudah banyak. Hadirnya berbagai undang-undang pro-asing menjadi bukti yang tak terelakkan.
Dampak lebih jauh, politisi-politisi pesanan akan semakin gampang bergentayangan di jagad politik Indonesia. Mereka tidak hanya yang memang hobi bertualang politik dan menerima order, tetapi juga antek-antek asing yang mengabdi bagi kepentingan luar negeri. Tidak ada lagi filter yang bisa menyaring keberadaan mereka. Walhasil, negeri ini bukannya tambah pulih dari berbagai persoalan, sebaliknya akan tambah carut-marut dengan persoalan baru.
Fenomena krisis politisi ini tidak lain sebenarnya hanyalah hasil dari sebuah sistem yang rusak. Bagaimana tidak, para ahli Barat sendiri menyatakan bahwa demokrasi adalah mahal dan hanya bisa berjalan baik di negara dengan pendapatan perkapita tinggi. Di negeri miskin seperti Indonesia, demokrasi justru akan menjadi parasit yang menggerogoti harta kekayaan negara yang seharusnya menjadi bagian rakyat.
Demokrasi dipoles sedemikian rupa sehingga menarik dan menghilangkan karakter hakiki dari demokrasi itu sendiri. Tak pernah ditampakkan betapa jahatnya orang-orang yang mengatasnamakan demokrasi dengan seenaknya mempermainkan berbagai peraturan demi tujuan-tujuan sesaat. Bahkan suara rakyat yang tak menginginkan suatu keputusan—misalnya kenaikan harga BBM—bisa dikalahkan oleh suara 500 orang yang mengatasnamakan wakil rakyat. Bukankah ini suatu tirani? Secara sistematis rakyat dibodohi, dininabobokkan dan diberi angan-angan.
Faktor negara adidaya dengan ideologi global tak dapat dikesampingkan. Tentu mereka tidak ingin lahir di negeri ini orang-orang yang berani mendobrak kemapanan dan status quo yang kini ada di tangan antek-anteknya, apalagi berani melawan tuannya. Kooptasi dan intervensi pemikiran menjadi senjata ampuh untuk melemahkan secara sistematis seluruh sendi-sendi kehidupan. Para politisi dibuat tak punya nyali, bahkan untuk membela kepentingan rakyat banyak sekalipun. Tentu semua itu dengan imbalan.
Walhasil, saatnya ada perubahan total dan mendasar! Jika tidak, kita akan tetap menjadi budak di negeri sendiri. Wallâhu a’lam. [Mujiyanto]
bagud ulasanya.terimakasih ilmunya semoga lahir caleg yangjujur amanah dan bertanggung jawab.