Jika majalah ini tiba di tangan para Pembaca, tentu semuanya tengah menikmati meriahnya suasana lebaran. Memang, Indonesia adalah negeri yang lebarannya selalu berlangsung gembira. Ada acara takbiran, ada acara saling kunjung atau temu keluarga, ada hidangan khas lebaran berupa ketupat atau lontong dengan aneka sayur atau lauk. Yang paling heboh tentu saja adalah acara mudik (menuju udik) yang membuat Pemerintah sibuk bukan main karena jutaan orang bergerak pada waktu yang hampir bersamaan dari satu kota ke kota lain. Spanduk dan poster, iklan di tivi dan radio serta sajian berbagai acara makin membuat suasana lebaran begitu terasa.
Tidak demikian halnya dengan Jepang. Tak tampak sedikit pun suasana keriangan seperti itu saat lebaran. Tidak ada lontong atau ketupat (tentu saja ya); tidak ada takbiran; tidak ada juga acara saling kunjung apalagi gelombang mudik seperti yang terjadi di Indonesia. Tidak ada itu semua. Bahkan bahwa ada puasa dan lebaran juga tidak tampak sama sekali atau malah mungkin tidak terpikir oleh mereka. Begitulah suasana yang dijumpai oleh Jubir HTI M. Ismail Yusanto ketika berkunjung ke kota Kyoto, tepat satu hari sebelum lebaran pada tahun 2006 lalu untuk menghadiri acara workshop internasional yang diselenggarakan oleh CISMOR (Center for Interdisciplinary Study of Monotheistic Religions), Doshisha University, Kyoto.
Maklum, ini negeri dengan jumlah pemeluk Islam yang sangat minim. Menurut Professor Hassan Ko Nakata (47), Presiden Asosiasi Muslim Jepang, jumlah Muslim di Jepang diperkirakan hanya sekitar 70.000. Jumlah terbesar adalah Muslim dari Indonesia, sekitar 20.000 orang. Muslim asli Jepang sendiri diperkirakan hanya 7000 orang. Anggap saja jumlah Muslim di Jepang 100.000. Itu berarti hanya kurang dari 0,1% dari total penduduk Jepang yang sekarang diperkirakan sekitar 130 juta orang. Dengan jumlah sekecil itu, tentu saja umat Islam di sana nyaris tak terdengar. “Jadi, Muslim Jepang benar-benar minoritas mutlak. Keberadaannya di tengah-tengah masyarakat Jepang nyaris tak terperhatikan dan diabaikan,” kata Prof Nakata kepada Jubir HTI di sela-sela acara workshop.
Tepat di hari lebaran, kami, para peserta workshop yang Muslim ditambah sejumlah warga yang beragama Islam, baik yang asli Jepang maupun para pendatang yang umumnya berwajah Arab atau India-Pakistan, melakukan shalat Id di sebuah masjid, tidak jauh dari kawasan Istana Kaisar. Jangan dibayangkan masjid itu seperti yang biasa kita lihat di Tanah Air. Tempat itu lebih tepat disebut aula kecil bawah tanah, karena memang tempatnya di ruang bawah tanah sebuah gedung. Kabarnya, untuk mendapatkan ruangan macam itu saja tidak mudah. Dewan Kota Kyoto tidak langsung begitu saja memberikan ijin. Harus ada lebih dulu persetujuan dari penghuni di kanan-kirinya. Akhirnya, ijin didapat, dengan syarat, tidak boleh ada suara bising. Karena itulah, tidak pernah terdengar ada suara azan karena memang loudspeaker tidak boleh dipasang di luar masjid. Tidak boleh juga ada keramaian sehingga begitu para jamaah keluar ruangan harus langsung pergi. Tidak boleh bergerombol di depan bangunan itu.
Meski kecil, masjid ini tampak cukup fungsional. Di samping untuk ibadah, juga dipakai untuk training atau pengajian-pengajian. Ada sebagian ruangan dipakai untuk menjual makanan halal. Maklum, di negeri musyrik seperti Jepang, tidak mudah mendapat hewan sembelihan yang halal. Nah, di masjid itu, dijual daging sapi dan ayam halal.
Begitu acara shalat Id dan khutbah selesai, dilanjutkan salam-salaman, peserta langsung bubar. Usai sudah yang disebut perayaan lebaran, yang kalau di Tanah Air masih bisa berlangsung berhari-hari bahkan berminggu-minggu dengan aneka ragam acara.
Maju tapi Tidak Rasional
Saat Jubir HTI berada di sana, baru saja diumumkan kepada publik temuan mutakhir berupa robot resepsionis. Ini generasi robot terbaru yang bisa bertindak bagaikan resepsionis beneran. Ia bisa menjawab telepon, menyalurkannya ke nomor ekstensi yang dituju, menanyakan keperluan tamu, bahkan bisa juga tunduk menghormat jika ada tamu datang persis seperti yang sering dilakukan oleh orang-orang Jepang. Pendek kata, hampir tak ada bedanya antara resepsionis manusia dan robot itu baik dari segi kemampuan maupun postur “tubuhnya”. Tidak jelas, apakah robot resepsionis itu bisa juga diajak guyon, bisa juga marah atau berkelahi.
Yang paling spektakuler adalah kloset cerdas. Ini cerita tentang kloset elektronik serba bisa yang cukup banyak dipakai oleh orang kaya di sana. Bentuk luarnya tak beda dengan kloset duduk yang ada di sini. Bedanya, banyak tombol di sana-sini, yang semuanya ditulis dengan huruf kanji khas Jepang sehingga tidak mudah buat Penulis untuk membacanya. Ternyata tombol-tombol itu untuk mengatur seluruh fungsi yang dimiliki kloset cerdas ini. Kalau Anda merasa kedinginan duduk di kloset itu, tekanlah tombol penghangat. Sesaat kemudian, kloset itu akan terasa menghangat. Mau analisis BAB (buang air besar), tekan saja tombol. Tak berapa lama akan keluar analisis kandungan tinja. Mau cebok? Tersedia dua pilihan: untuk lelaki dan perempuan.
Demikianlah, kemajuan teknologi yang dicapai oleh Jepang. Itu baru di bidang teknologi robotik, otomotif dan elektronik. Belum lagi di bidang teknologi bahan, infrastruktur, transportasi dan sebagainya. Semuanya tampak sangat menonjol. Di bidang transportasi, dengan sistem komputasi, Jepang berhasil mengatur seluruh perjalanan kereta api dengan ketepatan yang luar biasa. Jika di jadwal disebut kereta bakal datang 11.57, persis di menit itu, kereta benar datang. Padahal kereta bersilang-silangan ruwet. Di sebuah stasiun saja, jalur kereta bertumpuk empat. Dua di bawah tanah dan dua di atas.
Jika secara ekonomi sangat makmur dan secara teknologi demikian maju, masihkah masyarakat Jepang menghadapi problem? Mengejutkan, ternyata iya. Apa problem itu? Prof. Nakata menjawab pendek, “Problem terbesar adalah kenyataan bahwa secara mental orang Jepang takluk pada Barat dan menjadi budak mereka. Sayangnya, fakta ini tidak disadari.”
“Juga tingginya angka bunuh diri, sekitar 30.000 orang pertahun, akibat himpitan dan tekanan dari pola kehidupan masyarakat Jepang serta akibat tingginya tuntutan standar hidup,” tambahnya.
Kalau begitu, bisakah disimpulkan bahwa masyarakat Jepang hidup sangat makmur tapi tidak bahagia? Prof Nakata menjawab tegas, “Ya, benar. Orang Jepang hidup tidak bahagia.”
Bukan hanya secara sosial psikologis, secara spiritual orang Jepang juga bermasalah. Bukan hanya agama Islam, di Jepang semua agama menghadapi nasib yang sama. Tidak laku. Agama buat orang Jepang sudah out of mind (berada di luar semesta pemikiran). Karena itu, berdakwah kepada orang Jepang, kata Prof Nakata, bagaikan mendakwahi batu. Nyaris tak bergeming.
Meski orang Jepang tampak begitu skeptis terhadap semua agama, mereka sesungguhnya haus spiritual dan sangat doyan takhayul yang membuat mereka tampak seperti orang ’dungu’. Tengoklah apa yang terjadi setiap hari di kuil tertua di Jepang, Asakusa. Kuil ini sangat terkenal. Ia menjadi tujuan utama turis dari mancanegara yang berkunjung ke Jepang. Balai utama kuil ini didirikan tahun 645. Di depan kuil, terdapat semacam perapen besar yang berasap bakaran dupa. Burung merpati jinak bertebaran di tanah sekitar kuil. Semua pengunjung yang hendak memasuki kuil tampak mengipaskan asap ke arah tubuh dan kepalanya.
Ke sanalah orang-orang Jepang kerap datang untuk meluapkan dahaga spiritualnya. Cuma caranya aneh. Percaya atau tidak, orang Jepang yang di bidang teknologi terlihat sangat rasional, ketika sudah sampai persoalan spiritual menjadi tidak rasional. Di antaranya, di kuil itu mereka paling tidak seminggu sekali membeli kertas ramalan seharga 300 yen (Rp 25.000-an) tentang nasib mereka seminggu ini. Kertas itu lantas dimasukkan ke dalam tungku yang dibakar dengan dupa. Mereka sangat percaya pada yang terbaca di situ. Itu menjadi pegangan selama seminggu kehidupan mereka. Setelah itu, mereka lantas melanjutkan ritualnya dengan menyembah patung Budha yang berwarna kuning mengkilat tidak jauh dari tempat penjualan kertas ramalan. Sebelum menyembah, mereka mengelus-elus kepala dan paha patung Budha itu.
Terakhir, mereka melempar uang logam ke dalam tempat yang sudah disediakan di bawah patung. Setelah agak banyak, tempat itu terbuka secara otomatis dan tumpukan uang itu meluncur ke bawah. Jadi, rupanya tempat itu memang didesain untuk menampung uang “jamaah”. Lucunya, setelah uang menumpuk, sebelum terbuka, seorang gelandangan yang kelihatannya setengah gila, yang selalu menunggu di dekat patung, sudah lebih dulu mengambil uang itu. Jadi, siapa sebenarnya yang waras?
Dahaga spiritual itulah yang mungkin membuat di Jepang bertumbuhan berbagai sekte keagamaan. Kini ada lebih dari 18.000. Di antaranya yang paling terkenal adalah sekte Aum Sinkriyo yang dipimpin Otto Asahara. Sungguh aneh, sekte yang sangat tidak bermutu ini karena di antaranya mengajarkan penyerahan semua harta para pengikut dan dipimpin oleh seorang bekas tukang asongan yang gagal berbisnis, ternyata laku keras.
Kenyataan ini semestinya menyadarkan siapa saja, bahwa pembangunan yang tidak berlandaskan nilai-nilai transendental (Islam), mungkin saja memberikan keberhasilan material luar biasa seperti yang telihat di Jepang. Namun, di sisi lain, semua itu ternyata justru memurukkan mereka ke lembah penderitaan; bukan penderitaan fisik, tetapi penderitaan sosial dan spiritual yang membuat mereka menjadi kehilangan arah dalam meniti kehidupan yang fana ini. Menyedihkan. [Kantor Jubir HTI-Jakarta]