Beberapa waktu lalu Hizbut Tahrir Indonesia me-launching program baru bagi pencerdasan umat. Program yang diberi titel, “Halqah Pemikiran dan Peradaban Islam” itu diselenggarakan pada hari Selasa, 16 September 2008, di auditorium LKBN Antara, Jakarta. Acara ini sedianya menghadirkan HM Taufik Kiemas (Ketua Dewan Penasehat Pusa PDIP), Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra (ketua Dewan Syura PBB), Dr. Fachri Ali, (Pengamat Politik) dan tidak ketinggalan, MR Kurnia (Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia). Acara ini sekaligus me-launching hasil survei nasional yang dilakukan oleh SEM Institute Jakarta, Maret 2008 yang lalu.
Yang menarik antara lain adalah tema dan pembahasan yang diangkat di dalamnya: “Syariah, Masa Depan Politik Indonesia: Membaca Trend Survei Syariah.”
Pertanyaannya, benarkah syariah merupakan masa depan politik Indonesia? Jawaban untuk pertanyaan ini memang tidak mudah, dan masih membutuhkan pembuktian. Meski dari kecenderungan hasil survei yang menjaring suara publik membuktikan hal itu. Sayang, kecenderungan tersebut tidak mendapatkan respon yang memadai dari partai-partai politik, termasuk yang mengatasnamakan partai politik Islam sekalipun. Bahkan tidak jarang mereka justru termakan provokasi agar tidak cenderung ke kanan, untuk tidak menyebut lebih islami. Malah, ada yang berhasrat ingin sekalian menjadi partai terbuka, dengan target sekadar untuk menang dan berkuasa.
Kecenderungan dukungan publik yang mayoritas Muslim pada syariah memang menggembirakan. Hasil survei Gerakan Mahasiswa Nasionalis di kampus-kampus utama di Indonesia tahun 2006 membuktikan, bahwa 80% mahasiswa menginginkan syariah Islam diterapkan. Survei SEM Institute tahun 2008, juga membuktikan hal yang sama, bahkan meningkat menjadi 83%. Tren ini ternyata bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi hampir terjadi di seluruh negeri Islam.
Jika ini menjadi tren global, pertanyaannya apa yang menjadi pemicunya? Jawabannya tentu bisa dikembalikan pada sikap umat yang sudah muak dengan praktik Kapitalisme dan sekularisme dengan berbagai dampak yang selama ini harus mereka alami. Fenomena golput yang terus meningkat dalam Pilkada juga membuktikan hal yang sama. Rakyat sudah paham betul, bahwa proses-proses perubahan yang terjadi melalui pemilihan langsung, baik legislatif maupun eksekutif, nyatanya tidak mengubah sedikit pun nasib mereka. Umat sudah sadar, bahwa pergantian orang tidak akan mengubah apa-apa. Kini mereka menuntut, agar sistem sekular yang selama ini membuat sengsara hidup mereka juga harus diganti. Gantinya adalah sistem syariah. Itulah kesimpulan yang bisa kita baca dari hasil survei tersebut.
Pertanyaannya, kalau betul rakyat menginginkan syariah, mengapa partai-partai Islam suaranya selalu kalah? Seharusnya, jika rakyat memang menginginkan syariah, partai-partai Islam itu pasti menang. Dari fenomena ini, kita bisa menarik dua hal. Pertama: hasrat rakyat untuk bersyariah memang sudah membuncah, tetapi ketika hendak disalurkan, mereka belum melihat adanya partai politik, termasuk partai Islam, yang meyakinkan mereka. Pada titik ini, mereka berdiri di persimpangan jalan; antara tidak memilih, karena memang tidak ada yang bisa dipilih, dan memilih yang ada dengan mengorbankan hasrat mereka, dengan pertimbangan: daripada tidak memilih. Kedua, partai politik yang ada memang tidak pernah melakukan edukasi kepada umat sehingga antara hasrat bersyariah dengan pilihan mereka pada akhirnya tidak sama.
Namun, apapun kenyataannya, umat jelas tidak bisa disalahkan, karena memang mereka hanyalah obyek. Yang harus disalahkan adalah partai politik dan para politikusnya, karena mereka tidak melaksanakan tugasnya sebagai agen perubahan. Sebagai entitas pemikiran (kiyân fikri), seharusnya partai politik dan politikusnya tahu problem yang dihadapi umat, berikut solusi dan langkah-langkahnya; bukan menjadi bagian dari masalah. Politik juga tidak identik dengan kursi dan kekuasan, tetapi melayani dan mengurus urusan umat. Menjadi partai politik dan politikus seharusnya adalah menjadi pelayan dan pengurus urusan umat, bukan minta diurus dan dilayani oleh umat. Itulah inti dari politik dalam pandangan Islam; ri’âyah syu’ûn al-ummah (mengurus dan melayani urusan umat).
Jadi wajar jika wajah politik identik dengan wajah kotor dan haram. Itulah kalau filosofi politiknya adalah kursi dan kekuasaan. Akibatnya, satu-satunya pertimbangan yang sah adalah maslahat dan kepentingan. Asal dapat kursi, siapapun bisa diajak berkoalisi. Soal prinsip dan ideology, itu belakangan, yang penting kursi. Kalau sudah begitu, jangan berharap mereka akan mengurus dan memperjuangkan kepentingan umat—meski ungkapan itu selalu mereka kemukakan. Sebab, sejatinya yang mereka perjuangkan dan mereka urus adalah kepentingan mereka sendiri. Bukti real adalah lolosnya UU Migas, no 22 tahun 2001. Undang-undang yang nyata-nyata menyengsarakan rakyat, yang mengakibatkan naiknya harga BBM, langkanya minyak tanah, dan hilangnya gas di pasaran; itulah hasil karya mereka. Kalau sudah begitu, wajar jika umat menilai, bahwa tidak ada bedanya partai Islam dengan partai sekular. Jadi, kalau akhirnya mereka kalah, bukan karena kesalahan mereka semata, tetapi karena mereka dihukum oleh rakyat.
Belum lagi perselingkuhan partai politik dan politikusnya dengan kekuasaan, yang menyebabkan fungsi partai sebagai check and balance, atau muhâsabah, sama sekali tidak berjalan. Jikalau ada yang vokal, seolah-olah memperjuangkan kepentingan rakyat, ujung-ujungnya adalah kepentingan dan kesejahteraan mereka sendiri. Untuk melakukan fungsi kontrol pun tidak berani, apalagi mengatakan tidak, dan menyuarakan syariah sebagai solusi.
Karena itu, wajar jika ada sejumlah tokoh yang menyarankan, agar kekosongan ini segera diisi oleh partai politik Islam ideologis dan juga politikus Islam ideologis yang berani, ikhlas dan benar-benar berjuang untuk melayani dan mengurus umat. Itulah partai politik dan politikus yang bukan sekadar bermodalkan semangat, tetapi para pengemban ideologi Islam sejati, dengan gagasan dan metode praksisnya. Mereka bukanlah para pedagang asongan, apalagi pecundang.
Kini umat membutuhkan generasi baru, dengan harapan baru. Itulah generasi Islam idoelogis. Bukan generasi baru sekular dan pragmatis. Wallâhu Rabb al-Musta’ân, wa ilayhi at-tâkilân. []