Siapa Politisi Sejati?
Apa gerangan politisi? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa politisi sama dengan politikus. Keduanya bermakna ahli politik, ahli kenegaraan dan orang yang berkecimpung dalam bidang politik. Namun, benarkah politisi sekarang ahli sesuai dengan makna tersebut?
Saat sekarang politisi sering dimaknai sebatas orang-orang yang bergelut dalam kekuasaan. Mulai dari kepala negara hingga para anggota dewan disebut sebagai politisi. Dalam kenyataannya, mereka yang memproklamirkan diri sebagai politisi lebih beraktivitas dengan memasang iklan di televisi yang menelan biaya ratusan miliar rupiah, menengok rakyat di pasar hanya pada saat menjelang Pemilu atau Pilkada. Di gedung parlemen, bukan merupakan rahasia umum amplop bertebaran di mana-mana. Pengakuan seorang mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sangat mencengangkan. Menurutnya, bertebarannya amplop Rp 5 juta atau Rp 10 juta di lembaga perwakilan tersebut seperti sang ayah memberi jajan anaknya Rp 1000 sehari. Sudah biasa. Pengakuan anggota DPR Agus Chondro tentang adanya suap untuk mengegolkan Miranda Gultom menjadi pejabat teras Bank Indonesia (BI), terbongkarnya sogok dalam masalah hutan lindung, terungkapnya suap demi meloloskan undang-undang sesuai pesanan, dll merupakan pemandangan sehari-hari. Belum lagi, rame-rame artis dan pelawak masuk parlemen. Para mantan aktivis yang dulu berteriak lantang, kini membagi diri ke dalam berbagai partai. Para politisi hanya menyapa rakyat saat Pemilu/Pilkada sudah merupakan rahasia umum.
Padahal dalam Islam, politik bermakna ri’âyah syuûni an-nâs, yakni mengurusi urusan masyarakat. Berdasarkan hal ini politisi/politikus mestinya adalah orang-orang yang menyibukkan dirinya dalam mengurusi urusan rakyat. Mereka adalah orang-orang yang memiliki cara berpikir untuk mengurusi pemerintahan dan urusan rakyat; memiliki sikap jiwa (nafsiyah) yang baik; memiliki keahlian dan kemampuan untuk menjalankan perkara kenegaraan; menyelesaikan problematika kerakyatan yang tengah dihadapi dan menuntaskannya penuh kebijaksanaan dan keadilan. Mereka juga adalah orang-orang yang mampu mengatur berbagai interaksi dengan masyarakat dan antar anggota masyarakat. Jadi, politisi sejati memokuskan perhatiannya pada urusan rakyat serta berjuang demi kebaikan dan keberkahan rakyat. Berbeda dengan itu, politisi semu hanyalah memikirkan kepentingan dirinya atau kelompoknya.
Penyebab Politisi Semu
Realitas menunjukkan ada beberapa penyebab lahirnya para politisi semu. Pertama: kegagalan ideologisasi partai. Masyarakat paham betul bahwa partai-partai yang ada sama saja. Penelitian Indo Barometer pada 2008 menemukan: mayoritas pemilih (63,1%-72,3%) menyatakan kesulitan mengidentifikasi perbedaan sikap politik dan kebijakan ekonomi partai-partai; alasan terbesar rakyat memilih suatu partai adalah dekat/peduli kepada rakyat (34,1%) dan jujur/tidak KKN (10,8%); 43,3% menyatakan tidak ada bedanya partai Islam dengan partai sekular/bukan Islam. Lalu elit/pengurus partai Islam dipandang sama saja dengan pengurus partai umumnya dinyatakan oleh 34,8%. Semua ini mengindikasikan bahwa tidak ada pembeda antara partai Islam dan partai sekular. Padahal mestinya pembeda utamanya adalah ideologinya. Dengan kata lain, kegagalan melahirkan politisi sejati dan justru melahirkan politisi semu disebabkan kegagalan ideologisasi partai.
Partai berideologi Islam akan berupaya untuk mengubah keadaan sesuai dengan arah ideologi yang diemban partai. Tawaran-tawaran program dan strategi dilandaskan pada Islam. Partai tegas mengatakan yang benar sebagai benar dan salah sebagai salah. Partai yang tidak ideologis hanyalah partai kepentingan yang kehilangan ruh.
Konsekuensi dari hal tersebut adalah lahirnya kecenderungan pragmatisme. Langkah-langkah yang diambil dilihat semata dari realitas dan kepentingan. Sekadar contoh, dalam kasus kenaikan BBM. Hampir semua partai diam, termasuk partai Islam. Alasannya serupa: harga BBM dunia naik. Begitu juga dalam kasus hak angket atau interpelasi BBM. Ada partai yang mengaku mempersilakan para wakilnya untuk memilih secara bebas: setuju hak angket ataukah interpelasi, tergantung pasar. Demikian juga, ada partai yang mengharamkan presiden perempuan. Herannya, ketika pimpinannya menjadi wakil presiden, ia berubah pendapat menjadi membolehkan perempuan sebagai kepala negara.
Dari realitas seperti ini tidak akan mungkin lahir kader yang ideologis, melainkan pragmatis. Wajar belaka jika kelak yang diperjuangkan bukanlah kepentingan rakyat, apalagi Islam, melainkan kepentingan pribadi.
Kedua: kegagalan pengkaderan. Politisi yang sekadar menjadikan politik sebagai tempat mencari makan adalah cerminan dari gagalnya pengkaderan. Alih-alih bermunculan para politisi yang memperhatikan rakyat, membela akidahnya, menjaga akhlaknya dan memperjuangkan hukum-hukum Allah, justru lahir politisi apa adanya. Perekrutan pun bukan berasal dari sebuah proses pembinaan, melainkan dari popularitas. Tidaklah mengherankan, tolok ukur pemilihan hanyalah keterkenalan. Artis dan pengusaha menjelma menjadi politisi. Para pengamat pun mentransformasi diri menjadi politikus.
Ketiga: berpolitik untuk materi. Menyedihkan, banyak orang menjadi politisi hanya sekadar mengejar materi. Siapapun yang mengamati realitas akan tahu bahwa banyak sekali para politisi rebutan jabatan kekuasaan, bagi-bagi proyek, dan menerima uang sogokan. Pikirannya hanyalah bagaimana menang dalam Pemilu/Pilkada. Berbagai sumberdaya dikerahkan ke sana. Politisi pun menjelma menjadi pelaku industri politik.
Politisi Sejati
Perubahan memerlukan politisi. Namun, bukan sembarang politisi, melainkan politisi sejati. Siapa mereka itu?
Pertama: politisi yang memperjuangkan Islam sebagai ideologi (mabda’), yakni memperjuangkan Islam sebagai akidah dan sistem kehidupan (nizhâm) untuk menyelesaikan masalah keumatan. Allah Swt. menegaskan bahwa tugas partai/gerakan adalah memperjuangkan penerapan syariah Islam secara kâffah. Allah Swt. berfirman:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan kebajikan dan melakukan amar makruf nahi mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung (QS Ali Imran [3]: 104).
Kedua: politisi yang memberikan kemaslahatan dan berjuang bagi umat. Seperti disebutkan, politik merupakan pengurusan urusan umat/rakyat. Karenanya, seorang politisi, ketika berkecimpung dalam dunia politik, berarti dia telah mengurbankan dirinya (tadhiyah) demi rakyat. Ketika akidah umat dicabik-cabik oleh kristenisasi dan aliran sesat Ahmadiyah, dia berteriak lantang. Saat BBM dan barang tambang lainnya sebagai harta umat diserahkan penguasa kepada asing, dia membongkarnya. Ketika negara digadaikan dan dijadikan budak negara kafir penjajah, dia melawannya. Demikian seterusnya. Lalu ia menyodorkan solusinya yang berasal dari syariah Islam. Walhasil, dia memperjuangkan kepentingan rakyat dan menentang kezaliman penguasa.
Suatu ketika Rasulullah saw. pernah ditanya tentang jihad apa yang paling utama. Beliau menjawab, “Kalimat yang benar di hadapan penguasa yang zalim.” (HR Ahmad).
Ketiga: politisi yang berpolitik tanpa pamrih, semata-mata untuk meraih ridha Allah Swt. Sosok politisi paling tepat sebagai teladan adalah Rasulullah saw. dan para Sahabat. Mereka berjuang dan berpolitik sejak di Makkah tanpa pamrih. Dorongannya hanyalah akidah.
Keempat: memperkuat partai ideologis. Politisi sejati mendudukkan aktivitas politiknya sebagai perjuangan untuk memperbaiki masyarakat dengan syariah. Disadari, tidak mungkin berjuang itu sendirian. Perjuangan perlu dilakukan bersama-sama dalam kelompok. Namun, bukan sembarang kelompok, melainkan kelompok yang secara terbuka, sungguh-sungguh dan konsisten memperjuangkan tegaknya hukum Allah Swt. demi kebaikan rakyat. Karenanya, ia akan mendukung dan memperkuat barisan partai yang benar-benar memperjuangkan Islam secara kâffah. Allah Swt. memerintahkan ada di antara umat Islam yang menyatu dalam kelompok/partai seperti itu sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan kebajikan dan melakukan amar makruf nahi mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung (QS Ali Imran [3]: 104).
Imam Ibnu Katsir memaknai, “Ayat ini memerintahkan agar ada sebagian dari umat ini yang melaksanakan tugas tersebut (menyerukan kebajikan (al-khayr), melakukan amar makruf nahi mungkar).”
Beliau pun mengatakan, saat Rasulullah membaca ayat ini beliau menjelaskan bahwa, “menyerukan kebajikan (al-khayr)” adalah menyeru orang untuk mengikuti al-Quran dan as-Sunnah.
Kelima: memperkuat konsistensi tharîqah (metode perjuangan) partai. Perjuangan baru akan berhasil kalau menapaki jalan yang ditempuh Rasulullah Muhammad saw. dan para Sahabatnya. Karenanya, selain gagasan/ide/solusi digali dari syariah Islam, metode perjuangannya pun harus mencontoh Beliau. Nabi saw. menempuh perjuangan politik dengan dasar pembinaan (tatsqîf). Lalu Beliau bersama para Sahabatnya berjuang di tengah-tengah masyarakat bukan hanya duduk-duduk di belakang meja. Mereka menyatu dengan masyarakat. Mereka berjuang bersama. Akhirnya, dengan dukungan berbagai pihak, termasuk para pemilik kekuatan (ahl al-quwwah), Allah Swt. memberikan kemenangan dan kesuksesan. Begitu juga, dalam perjuangannya mewujudkan masyarakat Islam, beliau memegang prinsip tanpa kekerasan fisik (ghayru ’unfiyah) serta tidak bekerjasama menerapkan dan mempertahankan sistem kufur. Politisi sejati konsisten dalam menetapi tharîqah partai yang diadopsi dari Rasulullah saw. tersebut.
Keenam: membangun sikap jiwa (nafsiyah). Selain cara berpikir, politisi sejati memiliki sikap jiwa islami (nafsiyah islâmiyyah). Ridha dan bencinya, senang dan susahnya didasarkan pada Islam. Banyak disebutkan dalam berbagai hadis bahwa tidaklah seseorang beriman hingga hawa nafsunya tunduk pada Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw.; lebih mencintai Allah Swt. dan Rasul-Nya daripada mencintai orang tuanya, keluarganya, hartanya, bahkan dirinya sendiri. Dengan demikian, politisi sulit tergiur oleh kemaksiatan apapun, termasuk suap dan politik uang.
Ketujuh: memperkuat edukasi umat tentang syariah dan Khilafah. Berbicara tentang politik dalam Islam berarti berbicara tentang bagaimana mengatur berbagai urusan rakyat dengan Islam. Apa sistem yang diterapkan dan siapa yang menerapkan dan menjamin pelaksanaannya? Lalu bagaimana agar terbebas dari cengkeraman Kapitalisme global yang dijejalkan oleh negara besar? Sistemnya adalah syariah Islam. Lalu institusi yang ditetapkan syariah sebagai pelaksana untuk menerapkan hukum-hukum tersebut dan menyatukan umat adalah Khilafah. Dengan hal tersebut umat dibangkitkan hingga tidak lagi terlena diam dalam pelukan penjajahan asing dan para pengekornya.
Jelaslah, politisi sejati akan terus melakukan edukasi tentang syariah dan Khilafah di tengah-tengah umat. Kesadaran bahwa ada yang salah dalam mengelola negeri Muslim terbesar ini perlu ditumbuhkan dalam jiwa masyarakat seraya dipaparkan solusi-solusinya yang digali dari syariah. Semua ini dilakukan sebagai wujud tanggung jawab besar terhadap kebaikan negeri khatulistiwa ini.
Kedelapan: last but not least, perlu memiliki pengalaman dan pengetahuan politik. Pengalaman dan pengetahuan politik bukan berarti harus menjadi pejabat atau wakil rakyat. Pengalaman politik ditempuh melalui terjun langsung di tengah masyarakat, bergaul dengan masyarakat dan turut menyelesaikan problematika mereka. Selain itu adalah langsung mengoreksi kebijakan penguasa yang menzalimi rakyat. Namun, tentu sebagai pengetahuan minimal, konstelasi global, cara berpikir politik Islam, dan analisisnya perlu dipahami. Hal tersebut diberikan dalam proses pengkaderan.
Jika para politisi Muslim seperti itu keadaannya, insya Allah kemenangan hanya tinggal masalah waktu saja. Dunia pun akan semakin tahu bahwa masa depan adalah milik umat Islam. []