HTI

Telaah Kitab (Al Waie)

RUU Pers Negara Khilafah

Pengantar

Media massa (wasâ’il al-i’lâm) bagi negara Khilafah dan kepentingan dakwah Islam mempunyai fungsi strategis, yaitu melayani ideologi Islam (khidmat al-mabda’ al-islâmi) baik di dalam maupun di luar negeri (Sya’rawi, 1992: 140). Di dalam negeri, media massa berfungsi untuk membangun masyarakat islami yang kokoh. Di luar negeri, ia berfungsi untuk menyebarkan Islam, baik dalam suasana perang maupun damai, untuk menunjukkan keagungan ideologi Islam sekaligus membongkar kebobrokan ideologi kufur buatan manusia. (Masyru’ Dustur Dawlah al-Khilâfah, pasal 103).

Mengingat fungsi strategis ini, dapat dimengerti mengapa Hizbut Tahrir dan para ulamanya menaruh perhatian serius dalam masalah ini. Karena itulah, dalam kitab Ajhizah Dawlah al-Khilâfah (2005: 143), Hizbut Tahrir telah menambahkan satu departemen terkait media massa dalam struktur negara Khilafah, yaitu Departemen Penerangan (dâ’irah al-i’lâm).

Para ulama Hizbut Tahrir juga terus memikirkan dengan serius bagaimana pengaturan media massa kelak dalam negara Khilafah. Syaikh Ziyad Ghazzal adalah salah satunya. Beliau telah menulis kitab setebal 77 halaman dengan judul, Masyrû’ Qânûn Wasâ’il al-I’lâm fî Dawlah al-Khilâfah (RUU Media Massa dalam Negara Khilafah) (2003). Kitab inilah yang akan kita telaah pada kesempatan ini.

Syaikh Ziyad Ghazzal sendiri adalah seorang mujtahid dari Hizbut Tahrir Palestina. Beliau telah menghasilkan karya-karya berharga berupa sejumlah RUU untuk negara Khilafah yang akan segera berdiri, insya Allah. Karya beliau lainnya adalah Masyrû’ Qânûn al-Ahzâb fî Dawlah al-Khilâfah (2003). (Lihat RUU Parpol Negara Khilafah; majalah Al-Waie, No 92, April 2008).

Merinci RUUD Khilafah

Dalam kitab Masyrû’ Dustûr Dawlah al-Khilâfah (RUUD Negara Khilafah) edisi revisi mutakhir (mu’tamadah) yang dikeluarkan Hizbut Tahrir terdapat dua pasal yang mengatur penerangan (i’lâm) dan alat penerangan umum (wasâ’il al-i’lâm), yaitu pasal 103 dan 104. Pasal 103 menerangkan keberadaan Departemen Penerangan (dâ’irah al-i’lâm) serta tugas pokoknya di dalam dan di luar negeri. Pasal 104 menerangkan bahwa keberadaan suatu media massa tidaklah memerlukan izin (tarkhîs) dari negara; cukup menyampaikan pemberitahuan kepada Departemen Penerangan. Pasal ini juga menerangkan pihak yang harus bertanggung jawab terhadap segala isi media, yaitu pemimpin redaksi.

Dua pasal tersebut jelas masih bersifat global. Sebagai ketentuan dasar dalam Undang-Undang Dasar, bolehlah dua pasal itu dianggap mencukupi. Namun, untuk pengaturan media massa dalam kehidupan sehari-hari yang sangat kompleks, tentu harus ada ketentuan perundang-undangan yang lebih rinci. Di sinilah kitab Syaikh Ziyad Ghazzal menemukan tempatnya. Kitabnya merupakan rancangan undang-undang islami yang digagas untuk merinci lebih lanjut dari dua pasal tersebut.

Rincian Syaikh Ghazzal terwujud dalam 32 pasal yang terdiri dari 2 (dua) bagian: Pertama, pasal 1-19 menjelaskan bagaimana pengaturan media massa dalam negara Khilafah. Kedua, pasal 20-32 menjelaskan tindak pidana yang dilakukan media massa.

Pengaturan Media Massa

Syaikh Ghazzal mendefinisikan pengertian alat penerangan umum (wasâ’il al-i’lâm) sebagai alat-alat untuk menyampaikan sesuatu secara terbuka dan terang-terangan. Alat-alat ini meliputi: stasiun TV baik di bumi maupun di luar angkasa, stasiun radio, terbitan berkala (al-mathbû’ât ad-dawriyah), dan bioskop serta panggung pertunjukan (pasal 1 & 2).

Setiap individu rakyat berhak untuk menyampaikan sesuatu kepada publik melalui alat-alat tersebut. Hak ini diakui syariah berdasarkan dalil-dalil yang mewajibkan atau mensunnahkan menyampaikan sesuatu secara terbuka dan terang-terangan. Banyak dalil dikemukan oleh Syaikh Ghazzal, misalnya tindakan Ibnu Abbas yang secara terang-terangan mengkritik Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Diceritakan oleh Ikrimah bahwa Ali bin Abi Thalib telah membakar orang-orang zindiq yang murtad sebagai hukuman atas mereka. Berita ini sampai kepada Ibnu Abbas, lalu dia berkata, “Kalau aku, tidak akan membakar mereka, karena ada larangan Rasululah saw., ‘Janganlah kamu menyiksa dengan siksaan Allah!’ Niscaya aku hanya akan membunuh mereka karena sabda Rasululah saw., ‘Siapa saja yang mengganti agamanya, bunuhlah dia!’” (HR al-Bukhari) (h. 5) (Al-Maliki, 1990: 83).

Hadis ini menunjukkan adanya hak untuk menyampaikan sesuatu kepada publik secara terbuka lewat media massa. Namun, hak ini diatur dengan sejumlah kewajiban dan syarat tertentu. Orang yang mau menerbitkan majalah atau mendirikan stasiun TV dan radio, misalnya, memang tidak disyaratkan meminta izin (tarkhîs) kepada negara, karena izin sudah diperoleh secara langsung dari syariah. Dia hanya diwajibkan menyampaikan pemberitahuan (i’lâm) kepada institusi negara yang terkait. Pemberitahuan ini hanya berupa sejumlah penjelasan yaitu tentang: (1) jenis media massa, alamatnya, dan bahasa yang akan digunakan; (2) nama pemilik media, kewarganegaraan, dan alamatnya; (3) nama pemimpin redaksi, kewarganegaraan dan alamatnya. (pasal 3 & 4). Pemilik media dan pemimpin redaksi ini haruslah warga negara Khilafah. Sebab, kewarganegaraan (tâbi’iyah) itulah yang melahirkan hak dan kewajiban sebagai warga negara, termasuk hak menerbitkan media massa (pasal 5 & 6).

Jika kemudian hak ini disalahgunakan untuk menyebarkan ide batil seperti nasionalisme dan demokrasi, siapa yang bertanggung jawab? Syaikh Ghazzal menerangkan dalam pasal 7, yang bertanggung jawab terhadap seluruh isi media adalah pemimpin redaksi dan wartawan atau penulis artikelnya secara langsung (h. 10). Jadi, wartawan kedudukannya sama dengan warga negara lain. Kalau memang bersalah ia harus diadili dan dihukum. Tidak diistimewakan atau mempunyai privilege tertentu yang membuatnya berbeda dengan warga negara biasa (pasal 9, h. 13). Ini sangat berbeda dengan wartawan Barat, yang sering tidak mau bertanggung jawab dengan dalih “kebebasan pers” atau merasa kebal hukum karena media massa sudah dianggap pilar keempat dalam sistem demokrasi. (Sya’rawi, 1992: 142).

Namun, andaikata pemimpin redaksi atau wartawan suatu media diadili dan dipenjara, tak berarti medianya otomatis dibekukan atau dihentikan. Sebab, media hanya dapat dibekukan atau dihentikan dalam satu keadaan, yaitu jika pemilik media bukan lagi warga negara Khilafah (pasal 12). Pihak yang berhak memberi peringatan, membekukan, atau menghentikan operasional suatu media pun bukanlah pihak penguasa (al-hukkâm), melainkan peradilan saja (pasal 13).

Kantor berita asing (seperti Reuter, AFP) atau perwakilan media asing (seperti perwakilan BBC) harus mendapat izin dari Departemen Dalam Negeri. Departemen ini juga yang berhak membekukan atau mencabut izin suatu kantor berita atau perwakilan media asing (pasal 10). Produk cetak dari luar negeri yang masuk lewat jalur perdagangan seperti majalah atau koran, harus mendapat izin Qadhi Hisbah (pasal 11).

Yang tak kalah menariknya, dalam RUU ini Syaikh Ghazzal menjelaskan pengaturan seni peran (drama), film, musik dan nyanyian dan lawak (tasliyah). Jadi, jangan dibayangkan media massa dalam negara Khilafah nanti isinya ngaji melulu. Ngaji jelas ada, tetapi seni yang halal tetap dibolehkan dalam negara Khilafah.

Seni peran bagi Syaikh Ghazzal boleh dalam Islam dengan sejumlah syarat. Kebolehannya antara lain didasarkan pada hadis sahih mengenai seorang lelaki Baduwi bernama Zahir bin Hiram. Zahir ini seorang yang buruk rupa, tetapi Nabi saw. mencintainya. Suatu saat Nabi saw. menemui Zahir yang sedang menjual barang dagangannya. Nabi saw. pun memeluknya dari belakang, sedangkan Zahir tak melihatnya. “Lepaskan aku, siapa ini?” kata Zahir. Namun, setelah Zahir menoleh dan tahu siapa yang memeluknya, Zahir terus melekatkan punggungnya pada dada Nabi saw. Nabi saw. lalu berkata, “Siapa yang mau membeli budak ini?” Zahir menjawab, “Demi Allah, jadi Anda menganggap saya barang yang murah?” Nabi saw. menjawab, “Tapi, di sisi Allah engkau mahal harganya.” (HR Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Hibban dan al-Bazzar). (Ath-Thahtahwi, 1997: 125)

Setelah menukilkan riwayat di atas, Syaikh Ghazzal menyimpulkan bolehnya seni peran. Sebab, Nabi saw. telah memainkan peran sebagai pemilik budak, padahal sebenarnya beliau bukanlah pemilik budak (Zahir), dan beliau pun juga mengajak hadirin untuk membeli Zahir, padahal Zahir bukanlah budak yang sedang diperjualbelikan. (h. 18).

Namun, kebolehan seni peran ini dibatasi 5 syarat: (1) tidak adanya ikhtilâth (campur-baur) pria-wanita; (2) tidak adanya laki-laki yang menyerupai wanita atau sebaliknya; (3) tidak memerankan malaikat, para nabi, Khulafaur Rasyidin, istri-istri Nabi saw. dan Siti Maryam; (4) tidak membuat atau menggambar sesuatu yang bernyawa; dan (5) tidak menampilkan kejadian Hari Kiamat atau sesudahnya seperti surga dan neraka (pasal 14, h.16). Yang mirip dengan seni peran adalah lawak (tasliyah /tarfîh) yang juga boleh menurut Syaikh Ghazzal dengan syarat tidak adanya ikhtilâth pria wanita (pasal 17).

Syaikh Ghazzal juga menerangkan bolehnya musik dan nyanyian meski juga dibatasi dengan sejumlah syarat, misalnya: tidak disertai dengan nyanyian dan tarian wanita; tidak disertai tarian laki-laki yang bergerak gemulai; dan tidak adanya ikhtilâth pria-wanita (pasal 18). Beliau menjelaskan pasal ini agak panjang lebar (perlu sekitar 10 halaman), karena masalah ini cukup pelik mengingat banyak perbedaan pendapat sehingga diperlukan penelusuran dan pentarjihan dalil-dalilnya secara mendalam (Al-Baghdadi, 1991; Al-Jazairi, 1992).

Tindak Pidana Media Massa

Pada pasal pasal 20-32 Syaikh Ghazzal menjelaskan berbagai tindak pidana yang dilakukan media massa sekaligus kadar sanksinya. Beliau menyadari bahwa pembahasan ini sebenarnya masuk dalam UU Hukum Pidana (al-qânûn al-jinâ’i). Namun, beliau meletakannya dalam RUU Media Massa dengan maksud untuk memberi gambaran yang jelas mengenai kehidupan media massa dalam negara Khilafah. Semua tindak pidana media massa ini masuk kategori ta’zîr, yakni hukuman yang tidak ditentukan kadarnya oleh syariah, kecuali pidana qadzaf (menuduh berzina) yang termasuk dalam kategori hudûd (h. 55).

Beberapa tindak pidana itu adalah melakukan provokasi (tahrîdh) (pasal 22-25), penghinaan (sabb) (pasal 25-27), memfitnah (iftirâ’) dan menuduh berzina (qadzaf) (pasal 28-29), menyebarkan gambar porno atau gambar aktivitas seksual (pasal 30-31), dan menyebarkan berita bohong (pasal 32). Contoh pasalnya: Siapa saja yang di media memprovokasi publik agar tidak taat kepada Khalifah, dipenjara maksimal satu tahun (pasal 24); Siapa saja yang di media menghina tuhan-tuhan atau akidah kaum kafir dzimmi, dipenjara maksimal enam bulan (pasal 27); Siapa saja yang memfitnah di media, misalnya menuduh si Fulan koruptor atau menerima suap, dipenjara maksimal dua tahun, kecuali ada bukti-buktinya (pasal 28); Orang yang menyebarkan gambar porno di media, yaitu gambar (khususnya wanita) yang menampakkan lebih dari wajah dan dua telapak tangannya, dipenjara maksimal dua tahun (pasal 30).

Inilah gambaran singkat kitab karya Syaikh Ziyad Ghazzal. Dengan membacanya, kita akan dapat membayangkan betapa baiknya suasana dan kehidupan media massa yang ditata dengan syariah di negara Khilafah nantinya. Media massa akan menjadi alat konstruktif untuk memelihara identitas keislaman masyarakat, tanpa melarang unsur hiburan (entertainment) yang sehat dan syar’i. Tidak seperti sekarang, media massa telah menjadi alat destruktif untuk menghancurkan nilai-nilai Islam, dengan mengeksploitasi hiburan yang berlumuran dosa dan membejatkan moral. Na’ûdzu billâh min dzâlik. [KH. M. Shiddiq Al-Jawi]

Daftar Bacaan

  • Al-Baghdadi, Abdurrahman, Seni dalam Pandangan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press), 1991.
  • Al-Jazairi, Abu Bakar Jabir, Haramkah Musik & Lagu? (Al-I’lâm bi Anna al-’Izif wa al-Ghina‘ Harâm), Penerjemah Awfal Ahdi, (Jakarta: Wala‘ Press), 1992.
  • Al-Maliki, Abdurrahman, Nizhâm al-’Uqûbât (Beirut: Darul Ummah), 1990.
  • Al-Qaradhawi, Yusuf, Nasyid Versus Musik Jahiliyah, Penerjemah Achmad Fulex Bisyri dkk, (Bandung: Mujahid Press), 2003.
  • Asy-Sya’rawi, ‘Ayid, at-Talwîts al-Fikri al-I’lâmi fî al-’Alam al-Islâmi (Beirut: Dar an-Nahdhah al-Islamiyah), 1992.
  • Ath-Thahthawy, Ahmad Musthafa Qasim, Senyum dan Tangis Rasulullah (Shifah Dhahki wa Bukâ’ an-Nabi wa Muzahuhu ma’â Ashhabih), Penerjemah Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar), 1997.
  • Ghazzal, Ziyad, Masyrû’ Qânûn Wasâ’il al-I’lâm fî Dawlah al-Khilâfah, (Tanpa Tempat Penerbit: Dar al-Wadhah li an-Nasyr), 2003.
  • Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah (fî al-Hukm wa al-Idârah), (Beirut: Darul Ummah), 2005.
  • Omar, Toha Yahya, Hukum Seni Musik, Seni Suara, dan Seni Tari dalam Islam, (Jakarta: Widjaya), 1983.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*