Penerapan Sistem Pemerintahan Berdasarkan Syariah Islam
Konversi sistem kerajaan menjadi kesultanan memiliki konsekuensi sangat serius terhadap dominasi kekuasaan dan kewenangan yang sebelumnya berada penuh di tangan raja. Penguasa baru yang disebut sultan kini tidak lagi berdaulat melebihi kedaulatan hukum, yang tidak lain adalah syariah Islam, yang menjadi payung bagi penyelenggaraan sistem pemerintahan; sang sultan pun harus tunduk patuh di bawahnya.
Bukti konkret akan hal ini dapat dilihat pada berlakunya dua undang-undang berlandaskan syariah Islam yang telah ditetapkan pada masa Sultan Kartanegara Ing Martadipura Aji Pangeran Sinom Panji Mendapa (1710–1735), yaitu Undang-Undang Dasar Panji Salarin (Panji Salaten) yang terdiri atas 39 pasal dan Undang-undang Beraja Nanti yang terdiri atas 164 pasal. Dalam pasal 1 UUD Panji Salaten tegas disebutkan: “bersyara‘ Islam dengan alim ulamanya”. Undang-undang ini juga menegaskan bahwa Sultan berkewajiban menjamin keamanan dan kesejahteraan rakyat yang berada di wilayah kekuasaannya.
Walaupun Sultan tetap memegang kekuasaan tertinggi di Kesultanan, apabila keputusannya dianggap tidak sesuai dengan syariah Islam atau menzalimi rakyat, maka keputusannya dapat diubah oleh Kemufakatan Majelis Orang-Orang Besar dan Orang-Orang Arif yang diwakili oleh Alim-Ulama. Majelis tersebut memutuskan berdasarkan undang-undang tentang wewenang Sultan.
Dalam melaksanakan tugasnya, Sultan memberikan instruksi kepada Mangkubumi. Selanjutnya, Mangkubumilah yang meneruskan kepada bawahannya, Para Menteri dan Senopati. Selain menerima instruksi Sultan, Mangkubumi, Para Menteri, dan Senopati juga memberikan saran-saran dan pertimbangan kepada Sultan.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Sultan juga dibantu oleh Majelis yang atas mufakat dan persetujuan Sultan bertugas menetapkan peraturan dan hukum yang berlaku di seluruh Kesultanan. Majelis ini beranggotakan kaum bangsawan dan rakyat biasa yang mengerti betul tentang syariah Islam berikut kondisi adat-istiadat rakyat Kutai. Peraturan yang dibuat oleh Majelis ini kemudian disebut ‘Adat Yang Diadatkan’ berdasarkan kesesuaiannya dengan syariah Islam.
Selain bertanggung jawab atas penerapan syariah Islam di dalam negeri, Kesultanan juga bertanggung jawab untuk melaksanakan syiar dakwah Islam ke berbagai penjuru luar negeri yang belum tersentuh oleh cahaya Islam. Ketika Kesultanan Kutai Kartanegara berada di bawah pemerintahan Aji Pangeran Sinom Panji Mendapa, upaya perluasan dakwah Islam menjadi target kebijakannya. Dakwah kepada Kerajaan Kutai Martadipura yang masih bercorak Hindu pun mulai dijalankan. Namun, karena syiar dakwah ini mendapati rintangan dan penolakan keras dari kerajaan yang berkedudukan di Muara Kaman tersebut, maka dengan terpaksa berkumandanglah seruan jihad untuk menghapus rintangan dakwah hingga terjadilah peperangan besar yang akhirnya dimenangkan oleh Kesultanan Kutai Kartanegara.
Seiring dengan takluknya Kerajaan Kutai Martadipura, bekas wilayah kekuasannya menyatu menjadi bagian Kesultanan yang kemudian mengubah nama menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura dengan Sultan bergelar Aji Pangeran Sinom Panji Mendapa Ing Martadipura. Pada masa ini, Islam mulai menyebar di sepanjang Sungai Mahakam dan beberapa wilayah yang dewasa ini berada dalam wilayah Kota Samarinda.
Menurut Kontler J.S. Krom dalam memorinya, sekitar tahun 1720 saat Kesultanan Berau dipimpin Sultan Zainal Abidin I (Sultan Berau ke XIV), nyata sistem syariah Islam telah diterapkan dengan baik. Bahkan sejak abad keenam belas, saat Kesultanan Berau dipimpin oleh Sultan Aji Tumanggung Berani (Sulthân Berau ke VI) syariah Islam telah mulai ditegakkan melalui pemberlakuan Undang-undang Pidana dan Perdata bernama Pematang Ammas, dengan salah satu ketentuan yaitu ancaman terhadap tindak kejatahan pencurian dengan hukuman potong tangan, sesuai prasyarat dan ketentuan syariah Islam.
Mahkamah Islam
Adanya Mahkamah Islam menjadi penyempurna penerapan syariah Islam di wilayah hukum Kesultanan. Melalui lembaga ini berbagai tindak pelanggaran syariah akan diawasi penuh dan diadili. Di setiap tempat dan kota ditunjuk para penghulu sebagai kepanjangan tangan Mahkamah Islam Kesultanan, seperti di Sanga-Sanga yang terkenal dengan Penghulu KH Mohammad Nasheer.
Suatu peristiwa menarik terjadi pada tahun 1928. Seorang yang mengaku lulusan Universitas al-Azhar Mesir, Argub Ishak, diadili dan diusir dari Kutai karena mengajarkan paham yang sesat lagi menyesatkan. Diceritakan, Argub Ishak selama beberapa hari memberikan ceramah kepada sejumlah anak muda. Ia mendakwahkan paham baru yang dibawanya berikut manipulasi dalil-dalil yang memperkuat ajarannya. Ketika disadari ajaran yang didakwahkan sangat menyimpang dari prinsip pokok ajaran Islam, Ishak lalu dilaporkan kepada H. Aji Pangeran Sosro Negoro, Ketua Mahkamah Islam waktu itu (1926-1935). Setelah melalui serangkaian penyelidikan, Ishak diketahui mengajarkan paham Ahmadiyah. Detik itu pula, Argub Ishak dinyatakan bersalah dan diperintahkan untuk segera meninggalkan tanah Kutai demi menjaga kemurnian akidah rakyat Kutai. [Gus Uwik]