HTI

Ibrah (Al Waie)

Tamak

Imam Ali ra. pernah berkata, “Ada dua jenis manusia tamak yang tidak akan pernah merasa puas: pemburu ilmu dan pemburu harta.”

Karena ketamakannya, kedua jenis manusia ini selalu ingin dan selalu berusaha untuk terus menambah apa yang telah mereka raih.

Tentu terpuji seorang Muslim yang tamak terhadap ilmu. Muslim seperti ini senantiasa menginginkan derajat yang tinggi di sisi Allah melalui pencariannya terhadap ilmu. Ia sangat sadar akan firman Allah Swt. (yang artinya): Allah mengangkat orang-orang yang beriman dan berilmu di antara kalian beberapa derajat (QS al-Mujadilah [58]: 11).

Itulah yang selalu dilakukan oleh para ulama Islam pada masa lalu, khususnya pada masa kegemilangan Islam di era Kekhilafahan Islam, selama berabad-abad. Begitu tamaknya terhadap ilmu, tanpa mengenal lelah, para ulama dulu tidak jarang menyusuri berbagai negeri, meski mereka sering harus berjalan kaki bermil-mil jaraknya. Wajar jika pada masa itu, ulama yang mumpuni dengan keilmuannya luar biasa banyaknya. Sebagian mereka banyak yang menjadi mujtahid dan menguasai banyak cabang ilmu.

Para ulama itu pun selalu memanfaatkan segala kesempatan dan waktu luang untuk mengkaji Islam guna ikut memecahkan problem kehidupan umat manusia. Imam Syafii hanyalah salah satu contohnya.

Dalam sebuah riwayat, diceritakan bahwa Imam Syafii pernah bermalam di rumah Imam Malik, gurunya. Saat itu nama Imam Syafii sudah dikenal luas keulamaan dan kesalihannya hingga mengalahkan ketenaran Imam Malik. Penasaran dengan itu, putra Imam Malik mencoba mencari tahu mengapa pamor Imam Syafii nyaris mengalahkan ayahnya, Imam Malik.

Kesempatan pun datang. Saat Imam Syafii bermalam di rumah ayahnya, dan sudah masuk ke peraduannya, diam-diam putra Imam Malik ‘mengintip’ bilik kamar Imam Syafii. Berjam-jam ia mengamati Imam Syafii. Namun, yang ia saksikan hanyalah pemandangan biasa. Imam Syafii hanya tiduran di atas dipannya. Kedua telapak tangannya ia taruh di bawah kepalanya. Lalu pandangan matanya tertuju ke langit-langit kamarnya. Hanya itu yang dilakukan Imam Syafii hingga waktu subuh tiba. Tidak ada yang istimewa. Tidak ada aktivitas membaca/mengkaji kitab atau menulis. Bahkan malam itu tidak ada salat malam yang dilakukan Imam Syafii, sebagaimana yang setiap malam dilakukan oleh Imam Malik, ayahnya. Demikian pikir putra Imam Malik.

Setelah salat subuh, putra Imam Malik menemui ayahnya, dan berkata, “Ayah, saya heran dengan Imam Syafii. Semua orang sepertinya mengagumi keulamaan dan kesalihannya. Ketenaran beliau bahkan sepertinya mengalahkan pamor ayah. Padahal semalaman saya mengamati beliau di kamarnya, tak ada sesuatu yang luar biasa yang beliau lakukan. Bahkan tidak ada salat tahajud seperti yang ayah lakukan setiap malam.”

Mendengar itu, sambil tersenyum Imam Malik menggandeng putranya untuk menemui Imam Syafii. Beliau kemudian bertanya kepada Imam Syafii tentang apa yang dilakukannya semalaman. Imam Syafii menjawab, “Alhamdulillah, semalam, baru saja saya berhasil memecahkan sekaligus meng-istinbâth hukum dalam 15 macam persoalan yang dibutuhkan umat.”

Demikianlah Imam Syafii. Kegiatan keilmuan sepertinya tidak pernah lepas dari setiap napas kehidupan beliau, sekalipun sering menyita waktu tidur dan istirahatnya.

*****

Jika tamak terhadap ilmu sangat terpuji, bagaimana dengan tamak terhadap harta? Tentu tercela. Ketamakan terhadap harta hanya akan menghasilkan sifat buas, laksana serigala yang terus mengejar dan memangsa buruannya, walaupun harta itu bukan haknya. Secara fitrah, manusia memang sangat mencintai harta-kekayaan dan berhasrat keras mendapatkannya sebanyak mungkin dengan segala cara. Allah Swt. berfirman (yang artinya): Katakanlah (Muhammad), “Seandainya kalian menguasai semua perbendaharaan rahmat Tuhan, niscaya perbendaharaan (kekayaan) itu kalian tahan (simpan) karena takut menginfakkannya (mengeluarkannya). Manusia itu memang sangat kikir.” (QS al-Isra’ [17]: 100).

Demikian Allah menggambarkan ketamakan para pencari harta. Kisah tentang Qarun, yang diabadikan dalam al-Quran, hanyalah salah satu contohnya. Bagaimana ketamakan Qarun terhadap harta telah menjadikannya lupa bersyukur kepada Allah, bahkan kufur terhadap-Nya. Akibatnya, Allah membenamkan Qarun bersama seluruh harta yang ia bangga-banggakan ke dalam bumi (QS al-Qashash [28]: 76-81).

Anehnya, ‘Qarun-Qarun’ lain terus bermunculan hingga hari ini. Pada sebagian orang (pada sebagian pejabat dan wakil rakyat, sekadar contoh), sifat ‘qarun’ demikian menonjol. Walau rata-rata mereka sudah kaya-raya, gaji mereka pun sebagai pejabat/wakil rakyat sudah sangat tinggi, korupsi tetap mereka jalani; suap tetap mereka terima; dan cara-cara haram untuk mengeruk kekayaan tetap mereka upayakan. Bahkan keinginan untuk tetap berkuasa—melalui Pemilu atau Pilkada—terus mereka perjuangkan meski harus mengeluarkan dana miliaran rupiah sebagai ‘modal’. Dengan itu, mereka berharap, saat mereka menjadi pejabat atau wakil rakyat, mereka tetap bisa terus menumpuk-numpuk harta-kekayaan; tak peduli halal-haram.

Padahal, sekalipun seseorang kaya-raya, tetap hanya beberapa suap saja makanan yang bisa masuk ke dalam perutnya. Selebihnya, sebesar dan sebanyak apapun hartanya, ia tak akan pernah bisa membawanya saat ia mati dan dimasukkan ke liang lahat.

Karena itu, ada baiknya kita merenungkan kembali petuah Rasulullah saw. Sebagaimana dituturkan Mutharif, ayahnya pernah menemui Rasulullah saw. Saat itu Beliau sedang membaca surah “Alhâkumut-takâtsur”. Beliau kemudian bersabda, “Anak Adam selalu saja berseru, ‘Hartaku! Hartaku!’ Apakah kamu tidak sadar, bahwa hanya tiga hal saja yang menjadi milikmu: (1) apa yang kamu makan sampai habis; (2) apa yang kamu pakai hingga rusak; (3) apa yang kamu sedekahkan dan tetap kekal (dengan mendapat pahala di sisi Allah).” (HR Muslim).

Wamâ tawfîqi illâ billâh. [Arief B. Iskandar]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*