Fenomena koalisi partai seolah sudah menjadi ‘barang dagangan’ yang kerap terjadi tatkala menjelang ‘hajatan politik’. Menjadi pertanyaan yang menggelitik adalah mengapa partai-partai Islam yang berbeda ‘haluan’ dengan parta-partai sekular bahkan basis agamanya bisa berkoalisi dalam hajatan politik tersebut? Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Apa penyebab mendasar sehingga mereka bisa berkoalisi? Apa karena ‘jualan’ syariah islam tidak laku? Mengapa tidak laku? Bagaimana pula agar partai Islam bisa merebut hati umat?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, redaksi al-wa’ie (Gus Uwik) mewawancara Ustadz Haris Abu Ulya (Ketua Lajnah Siyasiyah DPP HTI). Berikut petikannya.
Dalam Pilkada di beberapa daerah dan Pemilu, partai-partai (termasuk partai Islam) yang ‘berseberangan’ ide dan platform berkoalisi. Bagaimana Ustadz melihat fenomena ini?
Itu sih lagu lama. Sebab, partai-partai yang ada ‘jenis kelamin’ ideologinya memang gak jelas. Implikasi di tingkat artikulasi praksisnya juga lebih dikooptasi kepentingan-kepentingan jangka pendek, yakni diraihnya kekuasaan. Saya melihat, partai-partai Islam juga kehilangan pakem politik yang bisa mengekspresikan ideologi dan platform-nya. Ranah politik dalam sistem demokratik sekular telah mereduksi atau memudarkan logika dan persepsi para politikus Muslim. Akibatnya, ya…apapun bisa dilakukan, seperti dalam kaidah, “Siyasah itu fann al-mumkinah.” Artinya, politik itu seni yang serba mungkin. Yang menjadi perkara pokok bagi mereka adalah tujuan yang hendak diraih.
Karena itu, bagi mereka, masalah langkah atau strategi itu perkara yang tidak perlu mengikuti kaidah-kaidah tertentu, apalagi harus diukur dengan kacamata syariah. Padahal seharusnya, jangan sampai seperti kelompok-kelompok sosialis, yang menghalalkan segala cara asal tercapai tujuannya. Dalam Islam diajarkan kaidah, “Al-Ghâyah lâ tubararrir al-washîlah (Tujuan itu tidak boleh menghalalkan segala cara).”
Jika pun ada dari politikus yang masih tersisa spirit Islamnya, biasanya langkah-langkahnya tanpa pakem. Setelah itu, dicarikan dalih-dalih pembenaran agar kesannya legitimated menurut tuntunan Islam.
Bagaimana pandangan Islam tentang koalisi?
Kalau kita mengelaborasi nash-nash syariah kita mendapatkan ada beberapa ketentuan yang mujmal (global) dalam al-Quran, lalu Rasul memberikan tafsîl (rincian) dengan qawl dan af’âl (praktik langsung) bagaimana mendudukkan masalah koalisi ini.
Ada perkara yang bisa kita jadikan parameter untuk memformulasikan pandangan Islam tentang hal ini. Yang perlu digarisbawahi, kita perlu membedakan antara wala’ (loyalitas) dan ta’âwun (kerjasama), sekalipun dua kata ini saling terkait. Simpelnya, ta’âwun itu salah satu bentuk wujud wala’ dari seorang atau kelompok. Kalau kita memperhatikan dalam al-Quran surah al-Maidah ayat 2, Allah berfirman (yang artinya): Tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa dan janganlah kalian tolong menolong dalam hal dosa dan permusuhan. Ini hujah nyata dan kaidah bagaimana ta’âwun itu harus terjadi. Kita didorong dan diperintah untuk saling membantu, mendukung dan tolong-menolong dalam kebaikan dan perkara-perkara yang bisa mendekatkan diri kepada Allah Swt. Rasulullah mempertegas, “Siapa saja yang menyediakan bekal untuk orang yang berperang di jalan Allah, berarti ia ikut berperang. Siapa saja yang tidak ikut berperang, lalu menjaga baik-baik keluarga yang ditinggalkan orang yang berperang, berarti ia ikut berperang.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Namun, kita dilarang tolong-menolong, saling dukung dan semacamnya dalam hal kemungkaran, kemaksiatan dan perbuatan yang makin jauhkan diri kita atau umat dari Allah Swt., sebagaimana firman Allah dalam surah Hud ayat 113 (yang artinya): Janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka.
Kita diperintahkan untuk teguh pendirian di atas kebenaran…ya sekalipun akan menanggung berbagai fitnah dan intimidasi, dengan resiko seperti ini. Jadi, jelasnya, haram koalisi partai Islam dengan partai apapun, termasuk partai sekular, jika ada sarat atau apapun namanya yang kontra dengan akidah dan syariah Islam.
Jika sudah jelas hukumnya, mengapa partai-partai tersebut berkoalisi?
Karena kepentinganlah yang menjadi sumbu putarnya, bukan parameter benar atau salah. Timbangan baik buruknya dalam suatu aktivitas politik sangat kabur jadinya. Nilai dan kaidah-kaidah perbuatan yang diajarkan Islam yang notebene jadi asas partai atau platform-nya telah mengalami pergeseran sedemikian rupa sehingga manfaat dan kepentingan politik sesaat jadi episentrumnya. Ya…maklum, kalau kemudian banyak pemelintiran hukum, seperti pepatah jawa; esok dele sore tempe…alias plin-plan. Kalau sudah begini, syariah atau dalil-dalil syariah hanya akan menjadi komplementer dan alat pembenar bagi sikap partai atau politikus. Itu pun jika dibutuhkan.
Adakah faktor ideologis yang ‘menyatukan’ mereka dalam koalisi?
Saya belum melihat saat ini ideologi menjadi medium yang disepakati mereka untuk menjadi sebab atau pondasi koalisi. Yang lebih dominan adalah ‘pragmatisme politik’. Artinya, kepentingan masing-masing partai dibawa di pasar ‘kekuasaan’; disana segala ‘transaksi’ terjadi layaknya pedagang saling tawar-menawar dan menjajakan barang daganganya. Prinsip di ‘pasar kekuasaan’ adalah untung dan rugi. Gak pernah lagi di singgung halal haram. Apalagi dilihat lebih jauh menyangkut nasib umat dan ideologinya.
Mengapa bisa terjadi seperti ini?
Inilah suksesnya sekularisme. Dari rahim sistem sekular lahir para politikus yang paradigma dan tindak-tanduknya tidak lagi perlu dikaitkan dengan keyakinan atau agama yang ia miliki. Jadi, ideologi menjadi perkara yang absurd (rusak, red). Tidak ada relevansinya keyakinan dia dengan perilaku pada ranah sosial politik. Walhasil, jika orang-orang seperti ini bertemu dan berkumpul kemudian menelurkan kelompok atau partai, sudah barang tentu rumusan platform, metode dan tujuannya mengantarkan pada kelompok opunturir, partai yang egois. Kepentingan dan kemaslahatan sesaat dari individu atau partai tersebutlah yang akan mengendalikan semua. Rakyat akhirnya hanya menjadi obyek eksploitasi dan ruang publiknya menjadi panggung akrobat dari syahwat kekuasaan dan kepuasan materi dari para politikus dan partai .
Benarkah partai-partai Islam yang mengusung syariah Islam ‘pasti’ tidak laku?
Itu kan asumsi. Persoalan utamanya bukan laku atau tidak laku. Ini adalah masalah kewajiban sebagai seorang Muslim terhadap syariahnya. Toh fakta sebagian menunjukkan banyak partai yang tidak mengusung syariah Islam di tengah masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim ternyata juga gak semua laku. Iya, kan? Ada partai yang nasionalis, partai nasionalis religius, moderat dan apalagi? Beginilah sikap-sikap politikus dan partai Islam kebanyakan, tidak percaya diri dengan syariah Islam yang seharusnya mereka usung; sampai harus menjadi partai terbuka dan mereduksi konsistensi sebagai politikus Muslim dan sebagai partai Islam dengan asas dan tujuan-tujuan yang hendak diraihnya. Sayang, kan? Sekiranya sama-sama tidak laku, mengusung kebenaran dengan mengusung kebatilan, bagi seorang Muslim ya lebih baik kalah atau mati berkalang tanah mengusung dan memeluk kebenaran. Ini perjuangan, ya ikhwah… Selama masih dalam konteks politik maka semua masih serba mungkin untuk terjadinya perubahan. Yang penting pertaruhannya diproses.
Memang benar. Mengusung syariah itu banyak tantangan dan berat, tetapi jangan lupa, mereka yang mengusung kebatilan juga banyak tantangan. So, jika sama-sama berat dan penuh tantangan, ya kita pilih yang benar. Allah SWT kan menilai usaha atau ikhtiar kita, bukan menilai hasilnya. Kita juga tidak dimintai pertanggungjawaban dari sisi hasil kok, tapi prosesnya itu lho…
Saat ini, politikus yang berdiri di atas kesadaran eksatologis/keakhiratan sulit didapat jika mereka lahir dari ‘comberan’ sekularisme.
Kalaupun ‘tidak laku’, mengapa bisa terjadi?
Ini bisa karena banyak faktor, di antaranya: Pertama, masih banyak umat Islam yang awam terhadap agamanya, dan sulit bagi mereka untuk memahami korelasi agama dengan kehidupan politiknya. Akibatnya, rasa kebutuhan mereka kepada syariah seutuhnya sangat minim. Kebutuhan mereka masih terbingkai dalam ruang kelezatan spiritualitas yang masih tidak menemukan relevansi agama dan kehidupan dunianya. Sekularisme telah tertanam sedemikian rupa dalam diri umat. Akhirnya, jika ada tawaran partai yang mengusung syariah Islam tidak begitu menarik bagi masyarakat, daya beli masyarakt sangat rendah dan bahkan melahirkan salah paham dan kontraksi.
Kedua, sebagian umat yang telah melek politik dan agama menjadi dasar spirit pembacaan mereka, ternyata banyak merasa dikecewakan. Partai-partai yang diharapkan tidak bisa mengartikulasikan keinginan umat Islam, yakni kesejahteraan dan keadilan yang berdiri di atas dasar iman dan jalan syariahnya. Wajar saja jika kemudian umat jumud alias skeptis terhadap partai Islam dan logika masyarakat begitu mudahnya membaca tarian-tarian pragmatis partai dan politikusnya yang ujung-akhirnya adalah kepentingan keumatan dipinggirkan bahkan diabaikan sama sekali.
Ketiga, partai-partai Islam minim memberi pembelajaran politik atau edukasi pada masyarakat. Mereka hadir musiman. Musim Pemilu atau Pilkada atau jika ‘pasar kekuasaan’ mereka baru menyapa umat dengan berbagai cara. Dari cara yang mubah, subhat sampai yang haram pun dilakukan. Karena kepentingan yang menjadi ideologi, eksistensi partai dalam konteks edukasi terhadap masyarakat tidak terjadi dan umat menjadi tidak paham apalagi butuh pada syariah yang diusung.
Keempat, umat disibukkan dan dipusingkan dengan jargon dan tawaran-tawaran yang mengaburkan hakikat problem yang mereka hadapi. Misal: pemimpin harus muda atau tua, seolah-olah ini menjadi akar masalah atau akar solusi. Sebenarnya ini manuver politik yang membodohi masyarakat. Jika yang melakukan partai Islam maka pertanyaannya adalah; bukankah sarat pemimpin dalam Islam sudah jelas, dan syariah memberikan tuntunan karena ini menyangkut hukum wad’i dalam aspek kepemimpinan. Umat dilupakan terhadap kebutuhan mereka, yakni sistem politik yang bisa mengentaskan mereka dari problem komplek ini.
Sekularisme sudah terbukti menyengsarakan rakyat. Mengapa partai mengusung hal yang tidak substantive, tetapi sangat partikular? Ini contoh. Bagi umat Islam yang melek politik, fenomena ini makin membuat mereka apatis dan nglirik aja enggan. Hanya orang yang pendek pikiran yang mudah terpengaruh. Padahal Rasul bersabda, “Tidak layak seorang Muslim, pantatnya disengat oleh ular/kelajengking di lubang yang sama sampai dua kali.”
Lantas apa yang harus dilakukan oleh partai-partai Islam agar bisa merebut ‘hati rakyat’?
Pertama: Ideologi Islam harus terintegrasi dengan baik pada diri anggota partai; dari pimpinan hingga para pejuang dilapang. Tidak pernah sirna keyakinan dan optimisme mereka, bahwa masa depan adalah milik Islam dan umatnya.
Kedua: Partai mampu menerjemahkan ideologi pada tataran konsep-konsep operasional sebagai solusi dalam kehidupan sosial politik masyarakat.
Ketiga: Partai harus senantiasa hadir di tengah umat untuk menjadi teladan dan mendidik mereka agar terkulturasi dengan syariah Islam dan menjadikan kepemimpinan berpikirnya adalah Islam. Ini harus dijaga secara kontinu dan simultan dengan berbagai wasilah dan strategi yang memungkinkan selama tidak diharamkan Islam.
Keempat: bermain cantik untuk meraih kepemimpinan dengan komunikasi yang elegan dan syar’i terhadap orang-orang yang menjadi penyangga perubahan yakni para ahlun-nushrah, jurnalis media, mufakkir dan para ulama atau tokoh masyarakat.
Kelima: Menciptakan iklim politik yang menjadikan umat siap dengan perubahan ke arah Islam.
Keenam: Konsisten dengan prinsip-prinsip perjuangan partai, agar umat percaya bahwa yang diinginkan adalah; demi kepentingan Islam, demi keselamatan dan kepentingan umat, dan demi meraih keridhaan Allah Swt.[]
bi,q dah sampe’…
Tolonglah agama Allah, Niscaya kemenangan milik kita