Al-Hadhânah berasal dari kata hadhana– yahdhunu–hadhnan wa hidhânah wa hadhânah. Secara bahasa hadhânah memiliki dua arti pokok. Pertama dari al-hidhnu (dada), yaitu anggota tubuh antara ketiak dan pinggang. Dari sini jika dikatakan, Ihtadhana al-walad, artinya mendekapnya, yaitu merengkuh dan meletakkannya di dalam dekapan (pelukannya). Kedua, al-hidhnu adalah jânib asy-syay’i (sisi sesuatu). Jika dikatakan, Ihtadhana asy-syay’a, artinya meletakkan sesuatu itu di sisinya dan berada dalam pemeliharaannya serta memisahkannya dari pihak lain. Hal itu seperti seekor burung yang mengumpulkan telurnya dan mengeraminya selhingga telur itu berada di sisinya dan di bawah pemeliharaannya.1
Kata hadhânah selanjutnya lebih dominan digunakan berkaitan dengan anak-anak, yaitu berkaitan dengan penjagaan, pengasuhan, perawatan dan pemeliharaan anak serta semua aktivitas yang berkaitan dengan hal itu.
Dr. Sa’di Abu Habib mengartikan al-hadhânah sebagai perwalian atas anak-anak untuk mendidik dan mengatur urusan-urusannya. Al-Jurjani, Ibn ‘Abidin dan Prof. Rawas Qal’ah Ji mengartikan hadhânah sebagai tarbiyah al-walad (pemeliharaan dan pendidikan anak).
Secara syar’i, menurut al-Anshari, al-hadhânah adalah tarbiyah anak-anak bagi orang yang memiliki hak pengasuhan. Menurut ulama Syafiiyah, al-hadhânah adalah tarbiyah atas anak kecil dengan apa yang menjadikannya baik. Menurut ulama Hanabilah, al-hadhânah adalah: menjaga jiwa anak-anak; membantu dan memenuhi makanan, pakaian dan tempat tidurnya; dan membersihkan badannya. Dr. Sa’di Abu Habib memilih definisi syar’i al-hadhânah dengan batasan: pemeliharaan dan pendidikan siapa saja yang tidak bisa mengurus dirinya sendiri, dengan apa yang bisa menjadikannya baik dan melindunginya dari apa saja yang membahayakannya, meski orang itu sudah besar tapi gila. 2
Abu Yahya Zakaria al-Anshari3 mengatakan, “Al-Hadhânah itu berakhir pada anak kecil dengan kemampuannya melakukan pembedaan. Adapun setelahnya sampai balig maka disebut kafâlah. Begitulah yang dikatakan al-Mawardi. Namun, yang lain berkata bahwa itu juga disebut hadhânah. Al-Hadhânah adalah menjaga (merawat) orang yang tidak bisa mengurus urusannya sendiri dan mendidiknya dengan apa yang bisa menjadikannya baik.”
Hukum Hadhânah/Kafâlah
Hadhânah/kafâlah (pengasuhan) anak-anak hukumnya wajib karena menelantarkan mereka akan menyebabkan mereka binasa.
Selain wajib, (hadhânah/kafâlah) juga berkaitan dengan hak kerabat anak karena kerabat anak itu memiliki hak atas pengasuhannya. Jadi, pengasuhan (hadhânah/kafâlah) itu berkaitan dengan hak sekaligus kewajiban. Pengasuhan itu adalah hak setiap anak dan setiap orang yang telah diwajibkan oleh Allah untuk mengasuhnya.
Hak pengasuhan itu tidak diberikan kepada orang yang dapat menelantarkan anak, karena hal itu secara pasti akan membahayakan anak tersebut. Karena itu, pengasuhan anak tidak diberikan kepada kepada anak kecil atau orang yang kurang akalnya atau idiot (al-ma’tûh). Sebab, mereka sendiri memerlukan orang lain yang mengasuh mereka.
Pengasuhan anak juga tidak diberikan kepada orang yang dengan itu bisa menyebabkan anak terlantar, karena pengabaian/kelalaian, atau karena kesibukannya tidak memungkinkan dirinya mengasuh anak tersebut.
Pengasuhan anak juga tidak diserahkan kepada orang yang memiliki sifat-sifat buruk, seperti fasik, misalnya. Sebab, sifat-sifat buruk semacam itu dapat mengakibatkan anak yang diasuhnya tumbuh dengan sifat-sifat dan pertumbuhan yang rusak. Kerusakan itu sendiri dapat dipandang sebagai suatu kebinasaan. Pengasuhan anak juga tidak dapat diberikan kepada orang kafir, kecuali pengasuhan anak oleh ibu atas anaknya yang masih memerlukan pengasuhan.
Hak Pengasuhan
Jika anak itu masih kecil, yakni belum balig dan belum bisa mengurus dirinya sendiri, tetapi ia sudah bisa memikirkan banyak hal dan bisa membedakan perlakuan ibunya dengan perlakuan ayahnya, maka anak itu diberi hak untuk memilih di antara kedua orang tuanya. Abdul Hamid bin Ja’far meriwayatkan dari bapaknya, dari kakeknya, yaitu Rafi’ bin Sinan, yang mengatakan bahwa ia telah masuk Islam, sedangkan istrinya menolak masuk Islam. Istrinya lalu datang kepada Nabi saw. dan berkata, “Ini adalah anak perempuanku. Ia telah disapih atau serupa itu.” Rafi‘ berkata, “Ini adalah anak perempuanku.” Lantas Nabi saw. berkata kepada Râfi‘, “Duduklah di sebelah sana.” Nabi saw. juga berkata kepada istri Rafi’, “Duduklah di sebelah sana.” Nabi saw. lantas mendudukkan anak itu di antara keduanya. Setelah itu, Nabi saw. berkata, “Coba panggil anak ini oleh kalian berdua.” Si anak ternyata condong kepada ibunya. Nabi saw. pun berdoa, “Ya Allah, berilah anak itu petunjuk.” Lalu si anak pun condong kepada ayahnya sehingga diambillah ia oleh ayahnya (HR Ahmad dan Abu Dawud).
Jika anak itu belum disapih, belum bisa memikirkan banyak hal serta belum bisa membedakan perlakuan ibu dan perlakuan bapaknya, maka anak itu tidak diberi pilihan, tetapi langsung diberikan kepada ibunya. Hal itu sesuai mafhûm (konotasi) hadis di atas.
Hal yang sama juga berlaku jika terjadi perceraian. Jika anak itu sudah bisa berpikir dan membedakan perlakuan ibu-bapaknya, tetapi ia masih memerlukan pengasuhan atau perawatan, maka anak itu diberi pilihan untuk memilih ikut ibu atau bapaknya. Abu Hurairah menuturkan:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيَّرَ غُلاَمًا بَيْنَ أَبِيهِ وَأُمِّهِ
Sesungguhnya Nabi saw. telah memberi seorang anak hak untuk memilih antara (ikut) ibu dan bapaknya. (HR Abu Dawud, Ibn Majah, al-Baihaqi dan Abu Ya’la).
Jika anaknya masih kecil, belum disapih, belum bisa berpikir sempurna dan belum bisa membedakan perlakuan ibu dan ayahnya, maka hak pengasuhannya langsung ditetapkan untuk ibunya. Abdullah bin Amru bin al-‘Ash berkata:
أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ : يَا رَسُولَ اللهِ إنَّ ابْنِي هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءً وَثَدْيِي لَهُ سِقَاءً وَزَعَمَ أَبُوهُ أَنَّهُ يَنْزِعُهُ مِنِّي فَقَالَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ أَنْتِ أَحَقٌّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِيْ
Seorang wanita berkata, “Ya Rasulullah, anakku ini, perutkulah yang menjadi tempatnya; tetekkulah yang menjadi air minumnya; dan pangkuankulah yang menjadi tempat berlindungnya. Namun, ayahnya menceraikan diriku dan ingin mengambilnya dari sisiku.” Rasulullah saw. lalu bersabda, “Engkau lebih berhak atas anak itu selama engkau belum menikah lagi.” (HR Ahmad dan Abu Dawud).
Ibn Abi Syaibah meriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab bahwa ia menceraikan istrinya, Ummu ‘Ashim. Umar lalu mendatangi mantan istrinya, sementara ‘Ashim, anaknya, sedang berada di pangkuannya. Umar kemudian berusaha mengambil anak itu dari ibunya. Lalu terjadi tarik-menarik di antara keduanya sampai anak itu menangis. Keduanya lalu mendatangi Abu Bakar ash-Shiddiq. Abu Bakar berkata kepada Umar, “Belaiannya, pangkuannya, dan kasih sayangnya lebih baik bagi anak itu ketimbang engkau sampai ia beranjak dewasa hingga dapat menentukan pilihan untuk dirinya sendiri.” (HR Ibn Abi Syaibah)
Jika terjadi perselisihan atas hak pengasuhan maka ditetapkan sesuai dengan prioritas berikut (jika nomor di atasnya tidak ada atau bukan ahl al-hadhânah berpindah ke nomor berikutnya)4:
- Ibu, lalu nenek (ibunya ibu), terus ke atas dari yang terdekat. Mereka semua berkedudukan sebagai ibu.
- Ayah, lalu nenek (ibunya ayah), kemudian kakek (ayahnya ayah), lalu nenek buyut (ibunya kakek), dan seterusnya, meskipun mereka bukan ahli waris.
- Saudara-saudara perempuan; mulai saudara perempuan seayah-seibu, lalu seayah, kemudian seibu.
- Saudara laki-laki seayah-seibu, lalu seayah, kemudian anak-anak laki-laki dari keduanya (saudara seayah-seibu dan saudara seibu). Al-hadhânah tidak boleh diserahkan kepada saudara laki-laki seibu.
- Para bibi dari pihak ibu (al-khalat). Lalu para bibi dari pihak ayah (al-’amat).
- Paman dari ayah ibu, lalu paman dari pihak ayah. Al-hadhânah tidak boleh diserahkan kepada paman dari pihak ibu.
- Para bibi (al-khalat)-nya ibu dari pihak ibu, lalu para bibi (al-khalat)-nya ayah dari pihak ibu, kemudian para bibi (al-’amat)-nya ayah dari pihak ayah. Al-hadhânah tidak diserahkan kepada bibi (al-’amat)-nya ibu dari pihak ibu, karena mereka semua mengalir dari pihak ibu, dan tidak berhak mengasuh anak.
Batas usia anak berkaitan hak memilih ini dikembalikan kepada hakim sesuai pendapat ahli. Itu berbeda-beda sesuai dengan kondisi anak. Al-Hadhânah berakhir hingga anak itu sudah tidak lagi memerlukan pengasuhan dan perawatan. Pada kondisi demikian, kondisinya berubah menjadi perwalian. Dalam kondisi ini, perwalian hanya menjadi hak kerabat yang Muslim. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]
Catatan kaki:
- Liha: Az-Zamakhsyari, Asâs al-Balâghah, bab ha dha na; al-Azhari, Tahdzîb al-Lughah; bab hadhana; Zain bin Ibrahim, Bahr ar-Râi’, 1/179, Dar al-Ma’rifah, Beirut, tt. Bab al-hadhânah.
- Lihat: Dr. Sa’di Abu Habib, al-Qâmûsh al-Fiqhî, ; al-Jurjani, at-Ta’rifât, al-hadhânah; Ibn Abidin, Syarh Ibn ‘Abidin, bâb al-Hadhânah; Prof. Rawas Qal’ah Ji, Mu’jam Lughah al-Fuqahâ’, 1/181, dar an-Nafais, Beirut. Tt.
- Lihat: Abu Yahya Zakaria al-Anshari asy-Syafii, Syarh al-Bahjah al-Wirdiyah, bâb al-Hadhânah.
- Lihat: An-Nabhani, Nizhâm al-Ijtimâ’î fî al-Islâm, 170-174, min mansyurat Hizb at-Tahrîr, Dar al-Ummah, Beirut, cet. mu’tamadah, 2004. Lihat perincian masalah ini dalam berbagai kitab fikih.