Sambil bermuka masam Abdul Moqsit Ghazali (AMG) menjawab, “Menurut saya hanya iman”. Demikianlah jawaban AMG ketika ditanya modal apa yang dimiliki HTI dalam memperjuangkan Khilafah pada acara Today’s Dialogue Metro TV. Ust. HM Ismail Yusanto pun membenarkan bahwa iman memang menjadi modal bagi HTI, tentu sambil menambahkan beberapa modal lainnya di antaranya khasanah tsaqâfah Islam.
Demikianlah, kita sebagai pejuang Islam memiliki modal yang sangat berharga, yakni iman, sebagai “bahan bakar” untuk memperjuangkan Islam. Khasanah tsaqâfah Islam masa lalu dan spirit perjuangan nenek moyang kita yang inspiratif ketika memperjuangkan Islam hingga sampai ke negeri kita ini, juga menjadi modal yang tak ternilai harganya.
Mereka telah lupa bahwa keimananlah yang membedakan seorang Muslim dengan orang kafir, orang yang memuliakan dengan orang yang menghinakan Islam, bahkan antara orang yang dimuliakan di surga dengan orang yang dijebloskan dan disiksa di neraka. Keimanan pula yang menyebabkan orang rela mengorbankan apa saja demi kemuliaan Islam. Masih terekam segar dalam ingatan kita, meski sudah berlalu ribuan tahun silam, bagaimana seorang Bilal mampu bertahan atas siksaan majikannya demi mempertahankan apa yang ia yakini, bahwa Allah itu adalah Ahad (Satu). Begitu pula keluarga Yasir. Tak terbayangkan, mungkinkah orang-orang yang menyangsikan keistimewaan Islam mampu berkorban demikian? Jangankan di ancam nyawanya, diiming-imingi kucuran dana dan beasiswa saja keyakinan mereka sudah rontok!
Khasanah tsaqâfah keislaman yang telah diwariskan kepada kita juga telah mengajarkan bagaimana metode dan cara berdakwah yang membangkitkan. Ja’far bin Abi Thalib ketika di Habsyah, misalnya, menjelaskan apa adanya atas pertanyaan Raja Negus (Najasy) tentang isu yang paling sensitif di wilayah itu, yaitu tentang agama Nasrani yang dipeluk Raja Negus dan iman kepada Nabi Isa as. Ja’far menjawab sesuai dengan apa yang disebutkan dalam al-Quran dan penjelasan Nabi tanpa rasa takut. Argumentasi Ja’far tidak saja sanggup menguraikan air mata Raja Negus, tetapi juga meyakinkan Raja Negus agar melindungi mereka. Dua orang utusan kaum kafir yang terpandai kala itu pun dihinakan dan diusir pergi. Akhirnya sepulang dari Habsyah, Ja’far beserta rombongan disambut Nabi saw. dengan haru.
Lihat juga Abu Dzar al-Ghifary, yang dengan ringan hati diperintahkan Nabi saw. kembali ke kaumnya untuk berdakwah meski hanya beberapa saat bersama Beliau. Hasilnya, Abu Dzar tidak saja berhasil membawa kaumnya (suku Ghifar), tetapi juga tetangga kaumnya (suku Aslam) masuk Islam dan bergabung bersama Rasulullah di Madinah.
Lihat pula Mush’ab bin Umair, seorang pemuda tampan dari golongan terpandang, kaya-raya, dan cerdas yang lebih memilih Islam ketimbang agama Jahiliah. Mush’ab dengan keikhlasan dan keahliannya dalam berdakwah tak saja mampu mendamaikan dua suku Aus dan Khazraj yang telah bermusuhan turun-temurun lamanya, tetapi juga memasukkan mereka ke dalam Islam, menyiapkan Yatsrib (Madinah) untuk menerima Nabi saw. dan menjadi negara yang menerapkan Islam untuk pertama kalinya.
Semua modal telah kita miliki: keimanan, khasanah Islam dan tsaqâfah, figur-figur panutan, janji Allah, dan sistem Islam itu sendiri. Apa yang kita nanti dan tunda lagi? Mari kita berlomba menjadi da’i terbaik generasi saat ini, yang dimuliakan Allah kelak di akhirat, karena kita menjadi da’i pembangkit! Wallahu a’lam bi ash-shawâb. [Pujo Nugroho; PNS, Tinggal di Banjarbaru Kalsel]