يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ، هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, sementara Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukainya. Dialah Yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (al-Quran) dan agama yang benar untuk Dia menangkan atas segala agama walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai (QS at-Taubah [9]: 32-33).
Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Yurîdûna an yuthfiû nûr Allâh bi afwâhihim (mereka berkehendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut). Dhamîr wâwu al-jamâ’ah pada kata yurîdûna merujuk pada ayat-ayat sebelumnya. Mereka—sebagaimana diterangkan Qatadah, Fakhruddin al-Razi, dan al-Khazin—adalah kaum Yahudi dan Nasrani.1
Diberitakan dalam ayat ini, mereka berusaha memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka. Menurut al-Kalbi, yang dimaksud dengan an-nûr di sini adalah al-Quran.2 Penafsiran ini sejalan dengan QS asy-Syura (42): 52 yang menyebut al-Quran sebagai nûr.
Penafsiran lebih luas dikemukakan al-Khazin, al-Jazairi, dan as-Sa’di yang memaknai nûr Allâh sebagai dîn Allâh yang dibawa Rasulullah saw., yakni Islam.3 Sebagaimana cahaya yang menerangi kehidupan, Islam pun menerangi kehidupan manusia. Dengan Islam, manusia bisa mengetahui dan membedakan dengan jelas perkara yang haq dan batil, halal dan haram, baik dan buruk, terpuji dan tercela, serta yang menunjukkan kepada manusia jalan menuju kebahagiaan dan kesengasaraan.
Ketika Islam disebut sebagai cahaya, maka cara melenyapkannya adalah dengan cara memadamkannya. Namun dalam konteks ayat ini, upaya untuk memadamkan cahaya itu dipastikan berakhir dengan sia-sia. Betapa tidak! Cahaya yang hendak dipadamkan itu adalah cahaya Allah. Disandarkannya kata nûr (cahaya) kepada Allah Swt. menunjukkan besar dan agungnya cahaya itu.4 Oleh karena itu, tepat sekali penjelasan beberapa mufassir, seperti Ibnu Athiyah dan Abu Hayyan al-Andalusi, yang menyatakan bahwa ungkapan dalam ayat ini menggambarkan betapa kecil dan lemahnya upaya mereka itu.5 Ibnu Katsir juga menegaskan, tindakan mereka itu ibarat memadamkan sinar matahari atau cahaya bulan dengan sebuah tiupan. Tentu mustahil berhasil.6
Memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka juga memberikan pengertian bahwa upaya yang mereka tempuh adalah dengan melontarkan berbagai perkataan. Akan tetapi, perkataan mereka itu sekadar membantah dan mengada-adakan kedustaan.7
Alhasil, berbagai tipudaya mereka itu pun gagal. Cahaya-Nya sama sekali tidak berkurang, pudar, apalagi padam. Sebaliknya, cahaya-Nya kian membesar, kuat dan sempurna. Allah Swt. berjanji kepada Nabi Muhammad saw. untuk menambah pertolongan, kekuatan, ketinggiaan derajat, dan kesempurnaan martabatnya dengan firman-Nya: wa ya’bâ Allâh illâ an yutimma nûrahu (Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya). 8
Kata ya’bâ di sini bermakna nafiyy (menegasikan); bisa berarti lâ yurîdu (tidak menghendaki) sebagai lawan dari kata yurîdûna (mereka berkeinginan); bisa pula bermakna lâ yardhâ (tidak ridha). Sebab, irâdah (kehendak) untuk menyempurnakan cahaya-Nya itu merupakan kehendak khusus, yakni kehendak dalam bentuk keridhaan. Kesimpulan ini didasarkan pada indikasi frasa berikutnya: walaw kariha al-kâfirûna (walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai).9Frasa ini memberikan pengertian bahwa yang dikehendaki dan diridhai Allah Swt. justru kesempurnaan cahaya-Nya, yakni dengan meninggikan agama-Nya, memenangkan kalimat-Nya, dan menyempurnakan kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad saw. sekalipun orang-orang kafir tidak menyukainya.10
Kehendak Allah Swt. itu ditegaskan dengan firman berikutnya: walaw kariha al-kâfirûna (walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai). Frasa ini semakin mengukuhkan kegagalan kaum kafir itu dan kesempurnaan Islam. Sekalipun mereka membenci realitas itu, namun kebencian mereka sama sekali tidak berpengaruh terhadap kehendak Allah Swt untuk menyempurnakan cahaya-Nya. Apa pun upaya yang mereka lakukan, sebesar apa pun upaya yang mereka kerahkan, dipastikan akan berakhir dengan kegagalan.
Selanjutnya Allah Swt. berfirman: Huwa al-ladzî arsala Rasûlahu bi al-hudâ wa dîn al-haqq (Dialah Yang telah mengutus Rasul-Nya [dengan membawa] petunjuk dan agama yang benar). Yang dimaksud dengan Rasûlahu di sini tidak lain adalah Nabi Muhammad saw.11 Beliau diutus dengan membawa dua perkara kepada manusia. Pertama: al-hudâ. Menurut an-Nasafi, al-Alusi, dan al-Jazairi kata al-hudâ menunjuk pada al-Quran.12 Asy-Syaukani memaknainya sebagai barâhîn (bukti-bukti kebenaran), berbagai mukjizat, dan hukum-hukum yang disyariahkan Allah kepada hamba-Nya.13
Kedua: dîn al-haqq, yakni Islam.14 Sebab, memang hanya Islam yang diridhai-Nya (lihat QS Ali Imran [3]: 19, al-Maidah [5]: 3); juga satu-satunya yang boleh dipeluk oleh seluruh manusia setelah diutusnya Rasulullah saw. Siapa pun yang mencari selain Islam sebagai agamanya tidak akan diterima oleh-Nya. Di akhirat kelak pelakunya akan menjadi orang yang merugi (lihat QS Ali Imran [3]: 85). Siapa pun yang keluar darinya, amalnya terhapus dan diancam dengan neraka Jahannam (lihat QS al-Baqarah [2]: 217).
Allah Swt. berfirman: liyuzhirahu ‘alâ al-dîn kullihi (untuk Dia menangkan atas segala agama). Kata ad-dîn di sini memberikan makna li al-jinsi, mencakup seluruh jenis dîn. Kata kullihi makin menegaskan bahwa yang dimaksudkan adalah seluruh agama. Dengan demikian, sebagaimana dipaparkan para mufassir, ad-dîn kullihi berarti sâir al-adyân, seluruh agama.15 Seluruh agama itu akan kalah, bahkan musnah dikalahkan Islam. Sebab, kata liyuzhirahu ‘alâ al-dîn kullihi berarti tidak ada satu pun agama lain yang masih tersisa selain Islam. Bisa pula bermakna, Islam berada di atas semua agama lainnya sekalipun agama-agama itu masih ada di bawahnya.16
Janji Allah Swt. kemudian dikukuhkan dengan firman-Nya: walaw kariha al-musyrikûna (walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai). Allah Swt. pasti mewujudkan janjinya itu sekalipun kaum musyrik membencinya.
Terdapat perbedaan di kalangan para mufassir mengenai dhamîr al-ghâyb (kata ganti pihak ketiga) pada kata liyuzhirahu. Ada yang berpendapat, kata ganti pihak ketiga tersebut kembali kepada Rasulullah saw. karena itu bercerita tentang Beliau. Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu ‘Abbas dan Abu Hayyan al-Andalusi. Abu Hayyan memaparkan, Allah Swt. memenangkan Beliau atas semua pemeluk agama lainnya. Umat Beliau telah mampu mengalahkan dan mengusir kaum Yahudi dari negeri Arab, mengalahkan kaum Nasrani di negeri Syam hingga ke Romawi dan Maghrib, mengalahkan kaum Majusi atas kerajaan mereka serta mengalahkan para penyembah berhala di berbagai negeri mereka, seperti di Turki dan Hindia. Demikian pula semua agama-agama lainnya.17
Pendapat lainnya mengatakan, kata ganti pihak ketiga itu kembali pada Islam. Abu Hurairah menyatakan, ini merupakan janji Allah bahwa Dia akan menjadikan Islam sebagai pemenang atas seluruh agama. Kesempurnaan janji itu terwujud ketika keluarnya al-Mahdi dan turunnya Isa.18 Sejalan dengan Abu Hurairah, as-Sudi juga mengatakan bahwa ketika al-Mahdi keluar, tidak ada seorang pun kecuali dia masuk Islam atau membayar jizyah.19
Ibnu Katsir juga menyebut beberapa hadis yang mengukuhkan penafsiran tersebut. Di antaranya adalah hadis dari Tsauban, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
إِنَّ اللهَ زَوَى لِي اْلأَرْضَ فَرَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا وَإِنَّ أُمَّتِي سَيَبْلُغُ مُلْكُهَا مَا زُوِيَ لِي
Sesungguhnya Allah telah menghimpunkan kepadaku bumi. Aku pun telah melihat sebelah Timur dan Baratnya. Sungguh kekuasaan umatku akan sampai pada bumi yang dihimpunkan kepadaku itu (HR Muslim, Abu Daud, at-Tirmidzi dan Ahmad).
Islam Pasti Menang
Terdapat banyak pelajaran penting yang dapat diambil dari ayat ini. Pertama: kebencian dan makar yang dilakukan kaum Ahlul Kitab. Telah maklum, mereka adalah kaum yang mengingkari kebenaran Islam. Mereka tidak ridha kepada Rasulullah saw. dan para pengikutnya hingga mengikuti agama mereka (lihat QS al-Baqarah [2]: 120). Kebencian mereka juga telah nyata dari mulut-mulut mereka. Bahkan yang mereka sembunyikan lebih besar lagi (lihat QS Ali Imran [3]: 118). Lebih dari itu, mereka juga menempuh berbagai upaya untuk melemahkan, menghadang, dan melenyapkan Islam. Upaya yang mereka tempuh pun beraneka ragam, mulai dari cara yang halus hingga cara yang kasar. Sebagaimana diberitakan ayat ini, di antara upaya mereka adalah melalui berbagai perkataan batil yang keluar dari mulut mereka.
Faktanya, perkataan itu kadang berupa isu, opini, atau propaganda yang mereka ciptakan untuk menohok Islam. Isu ‘perang melawan terorisme’ yang dikomandani Amerika dan sekutunya bisa dimasukkan dalam kategori ini. Siapa pun tahu, terorisme yang mereka maksud tidak lain adalah Islam. Demikian juga berbagai tuduhan dusta tentang Islam; seperti tuduhan bahwa hukum Islam adalah kejam, kuno, barbar, diskriminatif, merendahkan wanita, memecah belah, dan sebagainya. Yang lainnya adalah berbagai pelecehan dan penghinaan terhadap Islam, Rasulullah saw., al-Quran, dan berbagai yang disucikan Islam.
Kadang perkataan itu berupa ide-ide sesat yang mereka kemas sedemikian rupa sehingga tampak tidak bertentangan dengan Islam, bahkan seolah berasal dari Islam. Demokrasi, misalnya, adalah ide kufur yang terpancar dari Sekularisme. Agar diterima kaum Muslim, ide itu dipropagandakan seolah sejalan dengan prinsip syûrâ yang disyariahkan. Padahal di antara keduanya terdapat perbedaan yang mendasar. Demokrasi menjadikan rakyat sebagai sumber hukumnya, sementara syûrâ menjadikan syariah sebagai sandaran hukumnya. Demikian pula berbagai ide kufur lainnya yang disematkan kata Islam, seperti feminisme Islam, Islam Liberal, Islam Pluralis, Islam Moderat, Islam Inklusif, dan sebagainya. Semua itu adalah ide kufur yang dikemas dengan bungkus Islam. Ide-ide ini dapat menjauhkan, bahkan mengeluar-kan, pelakunya dari Islam.
Kedua: kepastian gagalnya semua upaya yang dikerahkan kaum kafir. Dengan cara-Nya, Allah Swt. menggagalkan tipudaya mereka. Berbagai opini yang mereka propagandakan, akhirnya terkuak kebohongannya. Isu terorisme, misalnya, meskipun telah menghabiskan miliaran dolar AS, tak berhasil menjauhkan umat Islam dari agamanya. Sebagaimana disitir Steven Kull, Direktur University of Maryland, berdasarkan hasil survei, Amerika dan sekutunya gagal dalam kampanye ‘Perang Melawan Terorisme’ (Eramuslim.com, 30/9/08).
Demikian juga stigma dan tuduhan dusta terhadap syariah. Dari waktu ke waktu, tren menunjukkan dukungan terhadap syariah terus meningkat. Berbagai survei lembaga terpacaya menyimpulkan demikian. Sebaliknya, kepercayaan terhadap demokrasi kian luntur. Di negeri ini, bukti paling jelas adalah kemenangan golput pada hampir semua pilkada.
Ketiga: kepastian kemenangan Islam atas seluruh agama dan ideologi yang lain. Telah maklum, Islam adalah agama yang dibangun atas dasar yang kokoh. Oleh karena itu, dengan mudah Islam dapat melibas dan membungkam semua argumentasi, dalil, atau alasan semua agama selainnya.
Islam juga dijanjikan akan mengalahkan semua agama dan pemeluknya itu secara fisik dan real. Bagi Allah Swt., Pencipta alam semesta, tentu hal itu amat mudah. Semua urusan digenggaman-Nya.
Rasulullah saw. pernah bersabda:
إِنَّهُ سَيُفْتَحُ لَكُمْ مَشَارِقُ اْلأَرْضِ وَمَغَارِبُهَا
Sesungguhnya akan ditaklukkan untuk kalian timur dan barat bumi. (HR Ahmad).
Patut dicatat, penaklukan itu sulit dibayangkan jika umat Islam tidak memiliki Daulah Khilafah Islamiyah yang menaungi dan menyatukan mereka. Dengan demikian, janji kemenangan ini sejalan dengan beberapa hadis lain yang memberitakan akan tegaknya kembali Khilafah ‘alâ minhâj al-nubuwwah. Jika pertolongan-Nya telah datang, siapa pun tidak ada yang mampu menghadangnya. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []
Catatan kaki:
- Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 454; al-Razi, at-Tafsîr al-Kabîr, vol. 16 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990), 31; Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 353.
- Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 242.
- Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl, vol. 2, 353; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 3 (Madinah: Nahr al-Khair, 1993), 360; Abdurrahman al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân,vol. 2 (Beirut: ‘Alam al-Kutub, 1993), 251.
- Al-Qasimi, Mahâsin at-Ta’wîl, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 396
- Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 26; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 34.
- Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 2 (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1997), 432. Penjelasan senada juga dikemukakan oleh Nizhamuddin al-Naisaburi, Tafsîr Gharâ’ib al-Qur’ân, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996), 458.
- Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 2, 432
- Al-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr, vol. 16, 32
- Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994), 277. Makna lâ yardhâ ini juga dipilih oleh al-Baiqai, Nazhm ad-Durar, vol, 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 304 dan al-Kirmani, lihat Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 5, 34.
- Al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl, vol. 2, 353
- Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 6 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), 356; al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân,vol. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 78; Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 5, 277; Al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 2, 242; Al-Baiqai, Nazhm ad-Durar, vol, 3, 304; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 5, 34; Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr,vol. 2, 360; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 5 (Qathar: Idarah Ihya’ al-Turats al-Islami, 1989), 289
- An-Nasafi, Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq at-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 494; ; Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 5, 277; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr,vol. 2, 361
- Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 3, 453.
- Al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 6, 356; Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 2, 242; Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 3, 453; Al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl, vol. 2, 353; Al-Ajili, Al-Futûhât al-Islâmiyyah, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, ), 256; Al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 5, 289; Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr,vol. 2, 361.
- Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 2, 242; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 2, 433; Al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 5, 289; Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl, vol. 2, 353.
- Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 3, 26.
- Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 5, 34.
- Nizhamuddin an-Naisaburi, Tafsîr Gharâib al-Qur’ân, vol. 3.
- Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân,vol. 8, 78.