Pengantar Redaksi:
Kelompok liberal dan feminis sering memutarbalikkan dalil bahkan ’memperkosa’ tafsir nash al-Quran sekehendaknya sendiri dengan dalih kontekstual dan faktual terkait dengan hukum-hukum Islam seputar wanita. Bagaimana sebenarnya logika mereka? Bagaimana kesalahan fatal mereka? Benarkah mereka membela Islam atau justru sebaliknya; menjadi penghancur ’Islam’? Bagaimana hubungan mereka dengan para agen kapitalis? Bagaimana pula modus operandinya?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, redaksi al-wa’ie mewawancarai Juru Bicara Muslimah HTI, Ustadzah Febrianti Abassuni. Berikut petikannya.
Kelompok liberal dan aktivis feminis sering menolak sebagian hukum Islam terkait dengan wanita, dengan alasan, hukum tersebut diskriminatif dan menomorduakan wanita. Pendapat Ustadzah?
Mari kita memperhatikan kaki dan kepala kita. Menurut Anda, mana yang lebih mulia, kaki atau kepala? Apakah ketika Allah memberikan tugas yang berbeda pada kaki dan kepala berarti Allah diskriminatif dan menomorduakan kaki?
Ketika ada penetapan hukum atau pembagian tugas dari Allah yang tidak sama antara laki-laki dan perempuan, harusnya itu dilihat sebagai bentuk pengaturan demi kebaikan masyarakat manusia sebagai satu tubuh, bukan karena Allah menomorduakan—atau diskriminatif terhadap—wanita.
Laki-laki ditugaskan oleh Allah untuk menjadi pemimpin dalam keluarganya; melindungi, menafkahi, dan mendidik istri dan anak-anaknya. Wanita ditugaskan untuk taat kepada kepemimpinan suaminya selama suaminya tidak menyuruhnya melanggar ketentuan Allah Swt. Agar laki-laki bisa menjalankan tugasnya melindungi istrinya, istrinya diberi kewajiban untuk taat kepada suaminya, meminta izin keluar rumah dari suaminya. Bagaimana suami bisa melindungi istrinya kalau ia tidak tahu istrinya ada di mana? Demikian juga, karena suami yang harus menafkahi keluarganya, wajar saja kalau dalam pembagian waris, laki-laki mendapat bagian lebih daripada perempuan. Tidak berarti di hadapan Allah laki-laki lebih mulia karena ia ditunjuk sebagai pemimpin, sementara wanita dinomorduakan karena ia ditunjuk sebagai orang yang dipimpin dalam keluarganya. Baik laki-laki maupun wanita dianggap mulia di hadapan Allah pada saat mereka patuh menjalankan semua ketetapan yang digariskan Allah pada diri mereka masing-masing, baik sebagai pemimpin maupun sebagai orang yang dipimpin. Sesungguhnya yang paling mulia dari kalian di hadapan Allah adalah yang paling bertakwa. (TQS al-Hujurat []: 49).
Tapi, saat ini kan banyak laki-laki yang tidak bisa menafkahi keluarganya karena tidak punya pekerjaan. Ada juga laki-laki yang berperilaku buruk, bukannya melindungi istri dan anak-anaknya, justru dia berkata kasar atau memukuli istri dan anak-anaknya.
Ketika terjadi masalah di dalam keluarga sebagaimana yang Anda sebutkan tadi, Islam memberikan solusi untuk mendorong laki-laki kembali menjadi pemimpin yang baik dalam keluarganya. Demikian pula ketika yang bermasalah itu istri; ia didorong untuk kembali menjadi istri yang baik. Apabila suami tidak menjalankan kewajibannya sebagai pemimpin keluarga, hal pertama yang dilakukan istri adalah menasihati suami dan membantunya untuk bisa kembali menjadi pemimpin yang baik. Jika masalah tidak bisa diselesaikan oleh pasangan suami-istri, Islam mengajarkan untuk meminta bantuan kepada keluarga terdekat yang dipercaya bisa membantu menyelesaikan masalah. Kalau yang dibutuhkan adalah nasihat maka pihak keluarga inilah yang membantu menasihati. Kalau yang dibutuhkan adalah pekerjaan maka keluarga inilah yang juga membantu mendapatkan pekerjaan. Keluarga juga bisa langsung meminta bantuan negara untuk mendapatkan pekerjaan, kalau yang dibutuhkan adalah pekerjaan. Untuk masalah lain bisa juga diminta bantuan penyelesaian oleh negara apabila keluarga tidak bisa menyelesaikan masalah pasangan suami-istri.
Seorang istri yang sering dipukuli oleh suaminya, misalnya, sementara keluarganya sudah tidak bisa lagi menasihati suaminya, bisa melapor kepada polisi. Polisi harus mengawali langkah penyelesaian masalah dengan nasihat terlebih dulu, dengan mengingatkan suami bahwa ia akan mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Allah. Kalau nasihat tidak bisa membuatnya sadar maka kasus ini dibawa kepada hakim. Hakim akan mempelajari bagaimana penyelesaian terbaik dalam kasus ini. Bisa jadi perceraian adalah solusi dalam hal ini. Kalau istrinya menginginkan perceraian maka hakim bisa memaksa suaminya menjatuhkan talak. Kalau dipandang kasus ini terjadi karena penyimpangan psikologis pada suami maka suami diberi terapi psikologis. Kalau sanksi pidana yang diketahui umum yang akan membuat pelakunya jera maka bisa dijatuhkan ta’zîr untuk itu.
Demikian gambaran penyelesaian masalah sesuai dengan syariah Islam. Paling tidak, ada dua poin penting yang ada dalam penyelesaian masalah yang ditetapkan dalam syariah Islam: 1) Pihak yang menentukan apakah masalah masih bisa diselesaikan secara internal antara suami-istri saja, atau dalam keluarga saja, atau sudah harus menyertakan aparat negara adalah istri, bukan pihak lain yang tidak tahu persis kondisi suami-istri yang bermasalah. 2) Semua pihak yang terkait dalam penyelesaian masalah suami-istri harus mengedepankan semangat melakukan ishlâh (mendamaikan) antara suami dan istri serta menutupi peluang orang luar memperkeruh masalah.
Dua poin penting inilah yang tidak ada atau dilanggar oleh UU KDRT yang berlaku saat ini. Ketiadaan dua poin penting inilah yang menjadikan kasus-kasus KDRT yang dilaporkan berakhir dengan perceraian dan permusuhan antara suami dan istri. Kasus-kasus yang harusnya cukup diselesaikan dalam keluarga akhirnya menjadi konsumsi publik, yang justru semakin mendorong perpecahan keluarga. Hal ini tentu tidak baik bagi anak-anak, keluarga, juga bagi pasangan suami-istri.
Begitulah, upaya penyelesaian masalah yang bertentangan dengan syariah, selain tidak akan diridhai Allah, pasti akan mendatangkan masalah lain yang sama atau bahkan lebih sulit diatasi.
Lalu bagaimana dengan pengaturan peran wanita dalam kehidupan publik menurut Islam?
Islam membuka peluang sangat besar bagi wanita untuk berperan bagi kemaslahatan masyarakat dalam kehidupan publik. Wanita diwajibkan menuntut ilmu dan berdakwah. Wanita, sebagaimana laki-laki, memiliki kewajiban kifayah untuk menjadi guru, dokter, perawat, ahli pertanian, ahli telekomunikasi, pegawai pemerintahan dan profesi-profesi lain yang dibutuhkan untuk kesejahteraan kehidupan masyarakat. Wanita, sebagaimana laki-laki, disunahkan untuk aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial seperti menyantuni anak yatim, mendidik masyarakat, dan lain-lain. Wanita juga dibolehkan untuk aktif dalam kegiatan perdagangan dan perindustrian.
Banyak sekali peluang yang dibuka bagi perempuan untuk berkiprah dalam kehidupan publik, termasuk dalam politik. Hanya saja, ada larangan atas wanita untuk menduduki posisi kekuasan seperti menjadi kepala negara atau kepala daerah, atau menduduki posisi legislasi dalam perwakilan rakyat. Adapun posisi atau peran memberi nasihat dan kritik terhadap pemerintah dalam perwakilan rakyat dibolehkan bagi wanita. Larangan duduk dalam jabatan kekuasan merupakan bagian dari rambu-rambu agar peran wanita dan laki-laki dalam kehidupan domestik serasi dengan kehidupan publik. Keserasian kehidupan di sektor domestik dan publik ini mutlak ada demi kelanjutan generasi manusia yang berkualitas, terpeliharanya kemuliaan kehidupan manusia dan terwujudnya kesejahteraan manusia pada saat yang sama.
Selain larangan di atas, rambu-rambu lain yang harus diperhatikan ketika wanita berkiprah di kehidupan publik adalah:
- Wanita tetap taat kepada suami atau walinya.
- Peran utama wanita adalah sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Jika ada peran lain yang mengganggu peran utamanya maka waktu untuk peran lain harus dikurangi. Bahkan peran yang bukan termasuk kewajiban bagi wanita, yang mengganggu peran utamanya, selayaknya ditinggalkan.
- Peran perempuan di sektor publik tidak menghancurkan kemuliaan moral masyarakat.
Kalau kita mau berpikir jernih dan mendalam, sebenarnya rambu-rambu yang ada berkaitan dan saling menguatkan satu sama lain. Dengan akal kita yang terbatas, sebagian kebaikannya dapat kita pahami. Secara umum, misalnya, sangatlah sulit bagi wanita Muslimah yang bertakwa untuk menjadi pemimpin pemerintahan yang independen dan siap melayani kepentingan rakyatnya kapan saja jika pada saat yang sama ia harus taat pada suami atau walinya, dan mengutamakan peran ibu dan pengatur rumah tangganya.
Kalaupun ada beberapa wanita yang bisa, bukan berarti hukum keharaman wanita menjadi penguasa berubah. Kita tetap meyakini sabda Rasulullah saw. bahwa tidak akan pernah beruntung kaum yang memberikan kekuasaan pemerintahannya kepada wanita. Akal kita saja yang belum mampu memahami keburukan yang akan terjadi ketika wanita menjadi penguasa. Kita tetap tunduk pada larangan wanita menjadi penguasa, sebagaimana wanita tunduk pada larangan menjadi imam shalat bagi laki-laki, walaupun banyak wanita punya kemampuan yang sangat baik menjadi imam shalat.
Dengan rambu-rambu tersebut, seorang wanita bisa saja punya pola keserasian kehidupan publik dan domestik yang berbeda dengan wanita lain, namun semuanya tidak melanggar rambu-rambu yang digariskan dalam Islam. Ada wanita yang karena kemampuannya tidak bisa berkiprah di luar rumah, suaminya juga tidak banyak bisa membantu tugas membimbing anak di rumah, wanita tadi jadi lebih banyak mengurus rumahnya, tetapi tetap tidak meninggalkan kewajiban dakwah dan menuntut ilmu. Ada juga wanita yang memang punya kemampuan lebih tinggi untuk berkiprah di dunia publik, suaminya mendukung dengan menyediakan bantuan atau pembantu untuk mengerjakan tugas di rumah, sehingga anak-anak tidak terlantar, rumah juga tetap nyaman sebagai surga bagi anggota keluarga.
Jadi, tidak benar kalau Islam menomorduakan wanita?
Jelas. Tidak ada penomorduaan. Yang ada hanyalah pengaturan dan pembagian yang tepat sesuai dengan keunggulan masing-masing. Justru Islam mengarahkan wanita untuk berkarya dalam kehidupan dengan tetap menjaga kemuliaan dirinya sendiri maupun masyarakat. Dalam masyarakat Islam, wanita terhindar dari beban ekonomi karena ia dinafkahi oleh suami atau walinya. Pada saat ada kesulitan mencari nafkah pada suami atau walinya, negara berkewajiban membantu suami atau walinya sehingga mereka bisa menafkahi wanita. Karena itu, motif dominan peran publik wanita di sektor publik bukanlah motif ekonomi, tetapi motif beramal salih untuk masyarakat. Bargaining position wanita di kehidupan publik dalam masyarakat Islam sangat tinggi sehingga mereka tidak akan rentan menjadi obyek eksploitasi ekonomi. Hal seperti ini bisa dihindari dengan grand design kehidupan berdasarkan syariah Islam.
Mengapa ada tudingan bahwa Islam cenderung mengkriminalkan wanita, seperti dalam masalah pornografi dan pornoaksi, misalnya?
Mereka yang menuding tersebut kurang komprehensif saja pengamatannya. Islam menganggap semua bentuk pelanggaran terhadap syariah Islam sebagai tindak kriminal, baik dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. Laki-laki dan wanita yang membuka aurat di muka umum sama-sama pelaku kriminal. Batas aurat laki-laki dan wanita saja yang berbeda.
Tudingan-tudingan sumir terhadap syariah Islam banyak dilakukan oleh LSM-LSM wanita. Siapa sebenarnya mereka? Apa yang harus dilakukan untuk menghadapi mereka?
Mereka itu pengemban, orang bayaran atau orang yang silau akan ideologi Kapitalisme. Mereka ingin menjadikan kaum Muslim meninggalkan ideologi Islam dan menganut ideologi mereka. Pikiran dan perasaan mereka terhalang untuk melihat kebaikan pengaturan kehidupan dengan syariah yang berasal dari Zat Yang menciptakan mereka dan akal mereka.
Apa yang harus dilakukan? Istiqamah! Jelaskan saja terus bagaimana kebaikan solusi masalah masyarakat berdasarkan syariat Islam serta kebobrokan pengaturan kehidupan dengan ideologi yang mereka agungkan. Ikuti terus dan ungkapkan langkah-langkah yang mereka tempuh untuk menghancurkan dakwah Islam dan kaum Muslim. Insya Allah kita akan memenangkan pertarungan ideologi ini. []