Salah satu tumbal dari sistem ekonomi pasar bebas di putaran kedua krisis keuangan AS adalah raksasa investasi Amerika Serikat, Lehman Brothers, setelah mengumumkan kebangkrutannya dengan kerugian sekitar US$ 3,9 miliar dalam laporan fiskal kuartal ketiganya. Hal tersebut terjadi saat Federal Reserve dan bank global utama melakukan langkah untuk menopang pasar keuangan yang diguncang krisis perumahan dan hipotek (sub-prime mortgage). Lehman Brothers menyatakan pailit guna melindungi aset dan memaksimalkan nilai perusahaan di bursa-bursa Asia, termasuk Indonesia; yang kemudian diikuti Timur Tengah, Rusia dan Eropa sebelum mengguncang pasar-pasar Amerika Utara dan Selatan.
Kebangkrutan Lehman Brothers menimbulkan gelombang besar di pasar-pasar keuangan dunia. Ini karena ia merupakan korban terbesar krisis kredit yang dimulai pada Agustus 2007 yang telah diprediksi oleh ekonom Global Insight, Howard Archer.
Pemilik surat utang Subprime Mortgage bukan hanya perbankan di Amerika Serikat, tetapi juga perbankan di Australia, Cina, India, Taiwan, dan negara-negara lainnya. Dampaknya, harga saham perbankan di seluruh dunia jatuh. Hal ini pun menyulut kekhawatiran para pelaku pasar (spekulan), karena bermasalahnya bank akan berdampak pada melemahnya kegiatan perekonomian.
Pada waktu yang sama, dolar AS turun tajam terhadap Euro, berada pada 1,4168 dolar AS. Sementara itu, harga minyak merosot ke posisi terendah dalam tujuh bulan terakhir hingga di bawah 93 dolar AS. Hal itu karena kekhawatiran bahwa krisis akan memperlambat pertumbuhan dan menahan permintaan energi. Selain itu, segalanya terdorong ke samping karena pasar saham berupaya memperhitungkan apakah yang akan diperbuat pasar saham dan ekonomi menyusul penjualan Merrill Lynch dan kebangkrutan Lehman.
Efek domino yang dihkawatirkan oleh para ekonom itu pun akhirnya terjadi juga. Krisis keuangan AS telah memasuki lingkaran setan yang berpotensi menjadi Great Depression Jilid II. Bola salju krisis keuangan ekonomi AS semakin besar dan menggilas negara-negara lain di berbagai belahan dunia, khususnya negara-negara industri.
Sebagai upaya penyelamatan krisis keuangan yang diakibatkan oleh macetnya kredit perumahan (subprime mortgage), paket dana talangan (bailout) dengan polesan sweetener berhasil disetujui oleh Kongres dengan paket sebagai berikut:
Pertama, pemerintah AS diperbolehkan mengeluarkan dana sampai sebesar USD 700 miliar untuk membeli utang kredit perumahan macet (toxic debt=hutang beracun) secara bertahap. Kedua, Lembaga Penjamin Simpanan AS (FDIC) dimungkinkan untuk menaikkan limit penjaminan dari USD 100 ribu menjadi USD 250 ribu perorang. Ketiga, FDIC dipersilakan untuk meminjam dana talangan sebesar apapun kepada Depkeu AS, jika dibutuhkan.
Paket dana talangan tersebut dinilai tidak efektif untuk mengatasi krisis keuangan di negara tersebut, karena isi paket bailout dianggap tidak manjur untuk menyembuhkan akar permasalahan krisis di AS, yang bahkan bergerak menuju kehancurannya. Sebaliknya, suntikan dana ke bursa justru bagaikan darah segar bagi para spekulan saham di Wall Street.
Terjungkalnya pasar saham AS membuat nilai aset bank dan lembaga keuangan lainnya berjatuhan, ribuan investor di AS stress karena uangnya raib, uang para pensiunan di AS yang diinvestasikan menguap 2 triliun dolar AS, puluhan ribu karyawan tiba-tiba kehilangan pekerjaan melengkapi tingginya tingkat pengangguran di AS, sebanyak 2.5 juta warga Amerika rumahnya disita karena tidak mampu membayar cicilan. Respon negatif oleh pasar diperparah dengan penarikan dana oleh warga AS secara besar-besaran dari perbankan yang mengakibatkan terganggunya likuiditas perbankan. Akibatnya, saluran kredit menjadi macet dan perekonomian pun mandeg. Inilah krisis yang harus dibayar dengan sangat mahal, yang tidak cukup hanya dengan sebuah upaya penyelamatan bernilai USD 700 miliar atau sekitar Rp 6.450 triliun itu.
Selanjutnya, AS memimpin kejatuhan ekonomi negara-negara lainnya. Hampir semua pasar saham di seluruh dunia rontok. Korban pun berjatuhan karena kejatuhan dramatis bank investasi papan atas, Lehman Brothers. Kebangkrutan Lehman memicu penurunan tajam seluruh sektor keuangan. Padahal bank-bank sentral seluruh dunia (khususnya negara industri) telah mengucurkan dana ke pasar miliaran dolar AS.
Bank-bank sentral yang dipimpin oleh Federal Reserve AS telah menyuntikan puluhan miliar dolar AS ke dalam sistem keuangan mereka. Tujuannya adalah untuk mengembalikan kepercayaan publik kepada lembaga keuangan mereka, serta menurunkan tingkat suku bunga, karena dikhawatirkan para investor akan menarik uangnya keluar dari saham dan mencari tempat yang aman. Namun, apa yg terjadi? Krisis kepercayaan terhadap lembaga keuangan AS semakin luas dan mencekam, diikuti dengan penarikan dana besar-besaran (rush) oleh nasabah yang disimpan di lembaga keuangan AS. Inilah buah dari hasil diterapkannya sistem ekonomi pasar bebas.
Anehnya lagi, salah satu perusahaan AS yang ikut bangkrut adalah American International Group (AIG). AIG bangkrut justru tidak lama setelah mendapatkan suntikan dana segar sebesar 86 miliar AS. Anehnya, perusahaan ini malah mengadakan acara di resort paling eksklusif di tepi pantai St Regis di selatan Los Angeles untuk melepas para eksekutifnya dengan jamuan wine dan makan malam, perawatan spa, dan permainan golf yg menghabiskan biaya sebesar 440.000 dolar AS (4.2 miliar rupiah). Tak pelak, aksi foya-foya tersebut membuat berang para anggota Kongres yang tergabung dalam House Oversight and Government Reform Committee (Associated Press, Rabu 8/10/2009).
Dunia tertipu. Setelah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, ideologi pasar bebas yang diyakini selama ini terbukti salah besar. Sistem ini sangat rentan terhadap gejolak dan mengandung kelemahan karena sarat dengan spekulasi. Teorinya mengatakan, bahwa pasar bebas akan membaik, jika asumsi-asumsi seperti informasi yang sempurna, transparansi dan tidak ada hambatan pelaku usaha untuk masuk atau keluar ke atau dari pasar. Ini terbukti bahwa semuanya itu sama sekali tidak berlaku. Justru informasi asimetri merupakan sumber utama ketidaksempurnaan pasar. Bursa saham contohnya, penuh dengan spekulan serta investor yang berani menghadapi risiko tinggi untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Kunci utama faktor kelemahan sistem ekonomi pasar justru berada di sektor keuangan. Tidak aneh jika krisis ekonomi berawal dari sektor ini (sektor keuangan) dan dampaknya sangat luas ke seluruh belahan dunia dalam bilangan hari, bahkan detik. Di sisi lain, disetujuinya dana talangan (bailout) adalah bukti intervensi pemerintah Amerika dalam mengatasi krisis di Wall Street. Padahal salah satu prinsip Kapitalisme adalah negara tidak boleh ikut campur dalam sistem pasar bebas yang dianut Amerika. Ini membuktikan pengingkaran mereka terhadap prinsipnya sendiri dan sekaligus bahayanya sistem ekonomi pasar. [Tun Kelana Jaya, Pakar Politik Ekonomi-Lajnah Siyasiyah DPP HTI]