HTI

Iqtishadiyah

Lehman Bangkrut, Kapitalisme Sekarat?

Senin (15 September 2008), Lehman Brothers Holdings Inc. akhirnya mengajukan pernyataan bangkrut. Lehman Brothers adalah bank investasi terbesar keempat di Amerika Serikat, setelah Citigroup, JP Morgan dan Merrill Lynch. Berita bangkrutnya bank ini tentu merupakan hal yang sangat mengejutkan mengingat keberadaan bank ini sudah teruji selama 158 tahun. Lehman Brothers sendiri memiliki aset sebesar 639 miliar dolar AS. Selain itu, bank ini juga pernah berhasil melewati masa-masa sulit saat terjadi kebangkrutan perusahaan kereta api di AS tahun 1800-an, depresi dunia tahun 1930-an, serta runtuhnya hedge fund Long-Term Capital Management (LTCM) pada tahun 1998. Namun, sekarang ini semua kehebatan itu sudah terkubur (Prasetiantono, 2008).

Pengumuman kebangkrutan perusahaan ini disampaikan oleh CEO Lehman Brothers, Richard S. Fuld. Hutang Lehman Brothers sudah mencapai 613 miliar dolar AS. Jumlah ini sedikit lebih rendah daripada asetnya yang diklaim senilai 639 miliar dolar AS. Ketika pengumuman kebangkrutan itu disampaikan, nilai sahamnya langsung jatuh hingga mencapai 94%. Akhirnya, saham dari perusahaan ini dihapus dari pasar Wall Street. Artinya, 1,2 miliar lembar saham perusahaan yang memiliki riwayat 158 tahun itu berharga nol (Okezone.com).

Direksi Lehman Brothers telah mengajukan petisi kepada United States Bankruptcy Court for the Southern District of New York. Bank ini mencatatkan kerugiannya sebesar US$ 3,9 miliar hingga triwulan ketiga 2008. Lehman dipastikan bangkrut setelah Barclays PLC dan Bank of America Corp membatalkan pembicaraan akuisisi. Barclays PLC sebelumnya sangat berminat untuk mengakuisisi Lehman Brothers. Akan tetapi, rencana ini urung dilakukan karena tidak mendapat jaminan dari Departemen Keuangan AS dan perusahaan di Wall Street untuk melindungi diri dari kerugian aset Lehman (Koran Tempo).

Dampak Kebangkrutan

Runtuhnya Lehman Brothers ibarat deret kartu yang disusun dan jatuh. Imbasnya menjalar ke seluruh penjuru dunia. Eropa, Jepang, Cina, Korea dan masih banyak lagi negara yang mengalami dampak yang cukup parah. Saham-saham di pasar modal mengalami terjun bebas. Krisis juga berpengaruh di sektor perbankan. Memang, hingga saat ini, dampak krisis yang terjadi di negeri Paman Sam itu belum terlalu berimbas di perbankan Asia. Namun, bukan berarti kondisi perbankan di Asia bisa dikatakan aman 100% (Okezone.com).

Dampak paling nyata dari bangkrutnya Lehman Brothers adalah meningkatnya jumlah pengangguran di AS, bahkan di berbagai belahan dunia. Di seluruh dunia, jumlah pegawai jaringan perusahaan Lehman Brothers mencapai 25.000 orang. Pada bulan Agustus 2008, Lehman sudah mengumumkan akan memecat 5 persen dari jumlah pegawainya atau sekitar 1.500 orang. Setelah Lehman Brothers, kebangkrutan masih menghantui perusahaan-perusahaan di Wall Street. Apalagi sejumlah perusahaan finansial yang selama ini dipercaya kuat juga mengalami kesulitan keuangan. Perusahaan pesaing Lehman, Merrill Lynch, misalnya, sudah diambil oleh pemerintah AS. Perusahaan raksasa lainnya, American International Group (AIG)—salah satu perusahaan asuransi terbesar di dunia—saat ini juga sedang mencari pinjaman sebesar 40 miliar dolar (Eramuslim.com).

Kini yang menjadi masalah, banyak yang meyakini bahwa kebangkrutan Lehman Brothers bukan kasus terakhir. Masih ada sejumlah kasus lain yang akan menyusul, yang disebabkan oleh risiko sistemik (systemic risk). Hal itu disebabkan, Lehman Brothers memiliki banyak kewajiban kepada banyak kreditor. Seluruh hutang Lehman Brothers mencapai 613 miliar dolar AS, sedikit lebih rendah daripada asetnya yang diklaim 639 miliar dolar AS. Yang menjadi masalah, apakah angka-angka itu valid? Kalaupun valid, berapa lama aset-aset itu bisa dicairkan? (Prasetiantono, 2008).

Yang menjadi persoalan, hutang itu merupakan kewajiban Lehman kepada sekitar 20 institusi keuangan di manca negara dan paling banyak berasal dari Asia. Para pengamat yakin, bangkrutnya Lehman ini akan menyeret sejumlah lembaga keuangan dunia lainnya. Dengan tutupnya Lehman, kerugian yang akan ditanggung lembaga-lembaga keuangan tadi diperkirakan mencapai US$ 377 miliar. Angka ini jauh di atas modal mereka yang tercatat sebesar US$ 362,4 miliar. Dua kreditor besar Lehman Brothers adalah Citibank dan Bank of New York Mellon, memegang obligasi 138 miliar dolar AS. Jika aset-aset itu tidak tertagih, bank-bank ini akan terkena dampak risiko sistemik. Jika upaya penyelamatan Lehman tidak berhasil, ia akan berpotensi membangkrutkan puluhan institusi keuangan. Akibatnya, perekonomian dunia akan mengalami resesi yang besar (Bastaman, 2008).

Kapitalisme ‘Menjanjikan’ Kebangkrutan

Kita harus memahami, bahwa kebesaran ekonomi Kapitalisme yang sekarang mengangkangi perekonomian dunia ternyata tidak tumbuh dari basis ekonomi riil yang mapan, melainkan dari sektor finansial (non-riil) yang sangat rapuh. Sektor finansial yang menjadi andalannya ada dua, yaitu lembaga perbankan dan pasar modal.

Lembaga perbankan diharapkan dapat dijadikan sebagai mesin penyedot uang dari dana masyarakat. Selanjutnya, dana ini akan digunakan untuk kepentingan perusahaan kapitalis. Sebagai lembaga bisnis, perbankan akan selalu dituntut untuk menghasilkan keuntungan yang bersifat pasti (fix return). Dana yang sudah disedot dari masyarakat tidak boleh menganggur, karena perbankan berkewajiban memberikan bunga kepada para penabungnya. Oleh karena itu, bank harus bekerja keras untuk selalu menciptakan kredit, agar uang dalam brankasnya terus menghasilkan bunga yang lebih besar daripada bunga tabungannya. Dari titik ini, sesungguhnya ekonomi Kapitalisme terlalu berani untuk melawan kodrat. Secara kodrati, dunia bisnis itu tidak ada yang bersifat pasti. Bisnis kadang naik, kadang turun, bahkan tidak jarang yang mengalami kerugian. Dari sinilah malapetaka Lehman dapat diungkapkan. Kredit yang telah digelontorkan Lehman berbuah macet. Siapa yang harus bertanggung jawab?

Mesin andalan kedua adalah pasar modal. Untuk kepentingan pengembangan perusahaannya, kaum kapitalis dapat “menjual kertas”, baik dalam bentuk saham maupun surat berharga lainnya. Namun, dalam perkembangannya, “perdagangan kertas” ini akhirnya terlepas dari akarnya. Mekanisme harga yang terbentuk dalam perdagangan “kertas” ini tidak didasarkan pada kinerja di sektor riil. Harga yang terbentuk hanyalah produk dari permainan para spekulan dengan cara membentuk opini pasar, permainan informasi atau menjual “kredibilitas”. Dengan begitu, harga yang terbentuk hanyalah harga “psikologis” atau artifisial, bukan harga yang riil (Hamid, 2008).

Jika dua lembaga ini digabung, sesungguhnya Kapitalisme telah merajut sarang laba-laba, sangat rapuh. Gubernur bank sentral di negara-negara industri maju kini mulai khawatir melihat perkembangan pasar keuangan yang sudah tidak dapat dikontrol lagi. Mereka baru sadar bahwa sebagian besar dari instrumen hutang saat ini tidak memiliki aturan dan terlalu liar. Calon presiden Partai Republik, McCain, juga mengaku baru sadar kalau Wall Street terlalu serakah dalam mengejar keuntungan. Wall Street tidak hanya serakah, tetapi juga kelewat banyak memainkan hutang. Akibatnya, struktur bisnis di sana gampang runtuh hanya oleh satu kesalahan sepele, mirip rumah kartu yang ambruk hanya oleh satu tiupan. Bayangkan, total nilai transaksi hutang dunia saat ini adalah US$ 700 triliun, yang pusatnya ada di Wall Street. Angka ini 10 kali lipat daripada pendapatan (GNP) seluruh negara-negara di dunia, jika digabungkan. Hutang ini telah melewati batas kemampuan sistem ekonomi untuk menyerapnya. Mungkin inilah yang disebut oleh kearifan masa lalu sebagai besar pasak daripada tiang (La Tanry, 2008).

Demikianlah, sesungguhnya ekonomi Kapitalisme benar-benar tidak menjanjikan apa-apa, kecuali masa depan kebangkrutan.

Solusi Islam

Islam tidak melarang individu untuk menjadi kaya dan mengembangkan kekayaannya. Namun, pengembangan kekayaan itu harus tetap dalam koridor syariah, bukan dengan mekanisme pasar bebas. Pengembangan usaha dengan mekanisme bunga sebagaimana dalam perbankan kapitalis dilarang, sebab dapat dikategorikan sebagai pengembangan praktik riba, sehingga hukumnya adalah haram (QS 2: 275).

Demikian juga dengan penjualan kertas saham di pasar modal. Transaksi ini dapat dikategorikan sebagai transaksi perjudian sehingga hukumnya juga haram (QS 5: 90). Sebab, transaksi di pasar modal tidak dilakukan secara tunai. Kesepakatan harga dapat dilakukan pada hari itu, namun serah-terimanya dilakukan pada hari berikutnya. Dengan begitu, pembeli dan penjual akan masuk dalam permainan untung-untungan (spekulasi) dengan naik-turunnya harga saham di kemudian hari tersebut. Jika ada pihak yang ingin mengeruk keuntungan secara cepat dan besar maka permainan opini, informasi, penyebaran isu, dengan berbagai tipu dayanya akan dilakukan.

Di sisi lain, munculnya kertas saham sesungguhnya hanya merupakan bentuk penawaran penambahan investasi dari sistem perusahaan kapitalis, yang dikenal dengan istilah perseroan terbatas (PT). Sesungguhnya akad pembentukan PT adalah akad yang batil. Pasalnya, dalam PT, akad terjadi cukup dengan bertemunya modal saja, tanpa ada pihak yang bertindak sebagai pengelola. Artinya, akad PT tidak memenuhi persyaratan ijab-qabul sebagaimana yang dikehendaki dalam akad syirkah Islam. Jika akad PT itu batil maka secara otomatis saham yang dikeluarkan juga batil (An-Nabhani, 1990).

Dengan demikian, di dalam ekonomi Islam, segala bentuk pengembangan kekayaan yang keluar dari koridor syariah akan dilarang. Pengembangan kekayaan cara kapitalis memang berpotensi mempercepat terciptanya pertumbuhan ekonomi (baca: penggelembungan ekonomi). Namun, ibarat balon raksasa, hanya dengan sentuhan jarum kecil saja gelembung itu akan mudah pecah dan meledak.

Oleh karena itu, ekonomi Islam hanya mengijinkan pengembangan ekonomi yang bertumpu pada sektor riil saja. Uang tidak boleh dijadikan sebagai alat komoditas (yang dapat dipinjamkan atau diperjualbelikan dalam rangka untuk menghasilkan uang), tetapi harus berfungsi sebagai alat tukar saja. Adapun pengembangan investasi dalam Islam sesungguhnya masih diperbolehkan, asalkan memenuhi kriteria akad syirkah sebagaimana diatur dalam Islam, baik itu syirkah ‘abdân, mudhârabah, inân, wujûh maupun mufâwadhah (An-Nabhani, 1990).

Jika sistem ekonomi Islam ditegakkan, pertumbuhan ekonomi memang tidak akan secepat sebagaimana ekonomi Kapitalisme. Walaupun agak sedikit lambat, pertumbuhannya sehat dan kuat, karena bertumpu pada ekonomi sektor riil.

Meskipun demikian, kita tidak boleh salah paham. Negara yang menerapkan sistem ekonomi Islam bukan berarti tidak akan memiliki perekonomian yang kuat dan besar sebagaimana dalam ekonomi kapitalisme. Justru sebaliknya, perekonomian dalam Islam tetap akan besar dan kuat, karena negara diberi peran untuk mengelola kepemilikan umum dan kepemilikan negara, yang harus diwujudkan dalam rangka memperkuat ekonomi negaranya (dalam bentuk membangun berbagai industri berat) dan dalam rangka memberi sebesar-besar kemakmuran rakyatnya. Insya Allah. []

Daftar Rujukan

Al-Quranul Karim.

“Amerika yang Bangkrut.” Eramuslim.com, 18 September 2008.

“Analisa: Bangkrutnya Lehman Brothers dan Nasib Perekonomian AS.” Eramuslim.com. Ahad, 28 September 2008.

“Deret Kartu Lehman Brothers.” Okezone.com, Senin, 22 September 2008.

“Lehman Brothers Bangkrut.” Koran Tempo, Edisi 16 September 2008.

Agustian, Ary Ginanjar, “Tragedi Lehman Brothers.” Bisnis Indonesia Online, 26 September 2008.

An-Nabhani, Taqiyyudin. 1990. An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm. Beirut: Darul Ummah. Cetakan IV.

Bastaman, “Lehman Runtuh, Dunia Resesi.” Inilah.com, 18 September 2008.

Hamid, Edy Suandy, “Ekonomi Berbasis Kekuatan Lokal.” Kedaulatan Rakyat, 28 September 2008.

La Tanry, “Wall Street Kelewat Rakus Sih.” Inilah.com, 18 September 2008.

Prasetiantono, A Tony. “Ekonomi Global di Tepi Jurang.” Kompas, 16 September 2008.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*